Saudaraku,
Salah satu hal yang menjebak hidup kita yang dapat menggiring kita ke api kekal adalah perasaan aman palsu. Perasaan aman palsu ini bisa tumbuh karena hari demi hari kita bisa menjalaninya seakan-akan tidak akan ada bahaya sama sekali. Kita menjalani hidup dalam rutinitas dan merasa tidak ada bahaya sama sekali. Padahal manusia pasti menghadapi masalah. Mungkin saat ini kita bisa melewati satu masalah ke masalah yang lain. Bisa menyelesaikan dari satu masalah ke masalah yang lain lalu kemudian juga merasa aman. Mungkin kita juga bisa menyelesaikan masalah sakit penyakit, dari satu penyakit ke penyakit yang lain, dari satu pengobatan ke pengobatan yang lain, lalu merasa aman karena sembuh. Tetapi jangan lupa, kita juga menjadi tua. Tetapi karena hidup bisa dijalani secara rutin dan seakan-akan tidak ada bahaya masalah, penyakit bisa dilewati, problem-problem bisa dilewati, lalu kita juga merasa aman, kita lupa bahwa hari tua kita akan berujung kepada kematian. Dan di ujung kehidupan di balik kematian kita ada penghakiman, dan di balik pengadilan ada kekekalan; apakah surga kekal atau neraka kekal.
Perasaan aman palsu inilah yang menjebak banyak manusia sehingga tidak sungguh-sungguh berurusan dengan Allah. Tanpa kita sadari kita juga bisa terbawa oleh suasana seperti itu. Kita tidak membutuhkan Tuhan atau tidak merasa membutuhkan Tuhan, atau tidak sangat membutuhkan Tuhan. Kalau pun membutuhkan Tuhan hanya karena masalah-masalah ekonomi, masalah kesehatan, bukan karena masalah-masalah yang hidup yang prinsip. Maksudnya masalah prinsip itu adalah masalah karakter kita, masalah kesiapan kita masuk kekekalan. Banyak orang menjalani hari hidupnya tanpa mempersoalkan kesiapannya masuk kekekalan. Karena merasa aman semua bisa dijalani sehingga tidak berurusan dengan benar, tidak berurusan secara proporsional dengan Allah. Tidak jarang orang berpikir mumpung masih hidup, mumpung masih ada di bumi, mumpung masih ada jantungnya yang berdetak dan nadinya yang berdenyut lalu melakukan hal-hal yang menyenangkan daging, nafsu, keinginan, ambisi kita sendiri. Dan kita berkata, “wajar-wajar saja itu, yang lain juga melakukan kok.” Ini bahaya sekali!
Saudaraku,
Kalau kita jujur, kita pernah—atau sedang—menjalani hidup seperti ini atau paling tidak kita hidup wajar seperti manusia lain. Memang kita tidak berbuat dosa dalam arti melanggar hukum, kita bukan orang bejad yang tidak bermoral, tetapi kita tidak memiliki hubungan yang sebagaimana mestinya dengan Allah yang adalah Bapa kita, dan sebagai anak yang mestinya memiliki hubungan yang eksklusif, ada intimacy (keintiman). Dan memang untuk keintiman seperti ini harus ada kekudusan, harus ada kesucian yang berstandar Allah. Tidak sadar orang berpikir bahwa kesempatan untuk rekonsiliasi untuk berdamai dengan Allah, untuk memiliki hubungan yang intim eksklusif, bisa dibangun nanti pada saat-saat tertentu apalagi sebelum meninggal. Dia tidak tahu bahwa kalau kita menunda membangun hubungan intim dengan Allah, hati menjadi keras dan tidak pernah bisa memiliki keintiman dengan Tuhan. Sebab untuk memiliki keintiman kita harus memiliki karakter yang bisa mengimbangi keagungan karakter atau sifat Allah. Mari kita memilih hidup untuk ber-Tuhan dengan benar. Begitu kita bangun tidur yang kita pikirkan Tuhan. Segala sesuatu yang kita lakukan harus kita kaitkan dengan Tuhan. Jangan kita memberi peluang untuk memuaskan daging.
Kita harus terus berusaha untuk menyakiti, menyiksa atau tepatnya menyangkali daging kita, supaya kita bisa memanjakan perasaan Allah. Bukan memanjakan daging dan perasaan kita sendiri, tetapi memanjakan perasaan Tuhan. Inilah cara ber-Tuhan yang benar. Pasti hari yang kita jalani ini akan berujung, akan berakhir. Dan bagi kita yang ber-Tuhan dengan benar, kita menantikan ujung perjalanan hidup kita tersebut. Karena ujung perjalanan kita adalah bertemu muka dengan muka dengan Tuhan Yesus. Dan itu menjadi kebahagiaan dan kerinduan kita. Dan sejak kita hidup di bumi ini ketika kita terus belajar memanjakan perasaan Allah, yaitu belajar terus untuk menyenangkan hati Tuhan, sehingga kita bisa menghayati apa artinya bahwa Tuhan satu-satunya harta kita, Tuhan satu-satunya kekayaan kita. Mungkin hari ini kita tidak memiliki uang banyak atau bahkan tidak punya uang sama sekali, atau uang kita sangat sedikit. Mungkin kita tidak memiliki siapa-siapa, tanpa pasangan hidup, tanpa orangtua, tanpa anak; tetapi kita memiliki Tuhan sudah cukup.
Sebaliknya, Saudara yang memiliki uang, harta, pangkat, gelar, keluarga yang baik, rumah tangga yang bahagia di mata manusia, jangan menjadikan itu sebagai harta satu-satunya. Semua itu milik Tuhan yang melengkapi kita untuk mengabdi dan melayani Tuhan. Ayo, kita berubah, Saudaraku. Kita selalu berjaga-jaga, selalu menghayati bahwa hidup kita ini ada di hadirat Allah. Kita berusaha belajar menjadikan Allah sebagai Allah yang hidup. Saudara, kita terus maju! Dari hati saya yang tulus saya mau menyampaikan, saya mengasihi Saudara. Saya mengajak Saudara pulang ke surga, saya mengajak kita hidup tidak bercacat tidak bercela. Jangan menoleh ke belakang melihat catatan hidup kita, jejak rekam hidup kita yang mungkin buruk. Mari kita menatap ke depan ke kehidupan yang berkenan di hadapan Allah.
Teriring salam dan doa,
Erastus Sabdono
Salah satu hal yang menjebak hidup kita yang dapat menggiring kita ke api kekal adalah perasaan aman palsu