Sejatinya, banyak orang yang sebenarnya belum siap menjadi makhluk kekal atau sebenarnya menolak untuk menjadi makhluk kekal; tidak menerima keberadaannya sebagai makhluk kekal. Kalau kita melihat hewan atau binatang, secerdas-cerdasnya binatang, mereka tetap binatang, mereka tetap hewan. Satu hal yang membedakan manusia dengan hewan adalah hewan tidak menyadari, tidak mampu dan memang tidak diberi komponen untuk bisa menghayati kekekalan. Tetapi ketika titik di mana seseorang harus meninggalkan dunia, namun dia tidak mau, di situ terjadi stagnasi. Untuk menyeberangkan seutuhnya hati kita ke langit baru dan bumi baru, tidak mudah. Sama dengan kalau kita percaya Allah itu ada, tetapi bagaimana kita bisa memiliki kegentaran terhadap Allah, seakan-akan kita ada di hadapan pengadilan-Nya, itu pun tidak mudah.
Mudah mengatakan “Kutaruh Tuhan di mataku,” tetapi faktanya kita tidak sungguh-sungguh menghayati kehadiran Allah. Kita tidak menghayati bahwa Allah itu hidup, mata-Nya melihat seperti candid camera yang selalu mengawasi kita. Buktinya apa? Kita sembarangan berbicara, berpikir, dan bertindak. Apalagi Dia tidak kelihatan. Apalagi dalam pengalaman hidup, kadang-kadang kita terjepit. Tuhan seakan-akan tidak membela. Tuhan memojokkan dan membawa kita di satu situasi yang mana kita direndahkan, dikalahkan, disalahkan, bukan saja oleh orang luar, tetapi juga oleh orang di sekitar kita yang sudah begitu kita kasihi dan percayai. Maka Tuhan luar biasa memproses kita lewat segala kejadian.
Kita mungkin pernah melewati kejenuhan. Kita sendiri bingung, kenapa kita jenuh? Tetapi akhirnya kita tahu. Kita jenuh karena kita mempunyai kesenangan-kesenangan pribadi. Apakah itu kehormatan, nilai diri, keluarga, pelayanan, dsb. Tetapi ketika kita mulai serius meninggalkan dunia, tidak punya kesenangan selain Tuhan dan Kerajaan-Nya, kita seperti mulai dari nol. Tidak ada lagi yang mau kita pertahankan. Kita yakin, Tuhan yang benar adalah Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Israel, Allah Bapa di surga yang mengutus Putra-Nya. Namun yang paling mengerikan adalah banyak orang tidak berpikir bahwa suatu hari harus berhadapan dengan Allah dan harus mempertanggungjawabkan hidupnya. Kalau kita selalu di dalam kesadaran ada Allah yang hidup, di mana kita harus menjaga perasaan-Nya, kita akan bertanggung jawab kepada Allah atas semua yang kita lakukan, kita pasti hati-hati dengan apa yang kita ucapkan dan lakukan.
Banyak orang yang sebenarnya belum siap jadi manusia. Karena filosofinya, “Mari kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Mereka berurusan dengan Tuhan hanya karena mau menyelamatkan nyawa di bumi. Seperti orang-orang Israel di Perjanjian Lama yang orientasinya masih berkat jasmani. Padahal kita yang diberi mandat oleh Tuhan untuk membinasakan pekerjaan Iblis. Jadi orang percaya itu memang hidupnya diproyeksikan untuk itu.
Para pelayan Tuhan biasanya “menyerahkan hidup” untuk pelayanan. Tetapi ini sering sarat dengan agenda pribadi. Namun kita mau belajar memiliki penyerahan yang dewasa. Kita harus memilih, kita mau menyerahkan diri ke siapa: dunia atau Tuhan. Tidak boleh dua-duanya. Karena, Tuhan berfirman di Matius 6:24, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Kalau seseorang menyerahkan hidupnya kepada dunia, enak. Dia boleh berbuat apa saja yang cocok dengan daging dan jiwanya. Di mana daging yang sudah merekam banyak nafsu, dan menuntut untuk dipuaskan. Tetapi kalau kita menyerahkan hidup untuk Tuhan, itu masalah. Karena kita akan dibelenggu.
Kita sudah tidak merdeka lagi. Kita harus menjadi tawanan Tuhan. Seperti yang Paulus katakan, “Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, tetapi penjara dan sengsara menanti aku. Aku sudah menjadi tawanan roh.” Ini adalah ciri dari orang yang menyerahkan diri kepada Tuhan. Kita mesti terbelenggu. Penyerahan diri yang dewasa kepada Tuhan berarti kita tidak punya kepentingan pribadi lagi. Dan kita dapat memulainya ketika berdoa sudah tidak mengatur Tuhan, walaupun kita banyak masalah. Misalnya ada orang yang kita kasihi sakit, Tuhan tahu kalau sampai ada apa-apa, kita bisa susah. Rasanya kita mau minta Tuhan menyembuhkan dia dan panjangkan umurnya. Tetapi sekarang kita sudah belajar, jangan sampai keinginan kita mengganggu kebijaksanaan Tuhan. Kita harus siap melakukan, terserah Tuhan mau apa.
Ketika kita menyerah dengan penyerahan yang dewasa, maka semua masalah yang kita hadapi tidaklah menjadi sesuatu yang kita anggap mencelakai. Kita serius sudah menyerah. Walaupun kita harus belajar terus untuk penyerahan yang benar. Jadi, apa pun yang kita alami, kita percaya itu kebijaksanaan Tuhan. Memang tidak mudah. Maka, Tuhan izinkan segala peristiwa terjadi, karena Tuhan mau mendewasakan kita. Kita tidak akan pernah menyesal memiliki penyerahan yang benar ini. Memang yang membuat kita sering lemah itu karena dunia sekitar kita bisa tidak mengerti kita. Kita dianggap aneh, tetapi inilah kehidupan yang Yesus ajarkan.
Penyerahan diri yang dewasa kepada Tuhan berarti kita tidak punya kepentingan pribadi lagi.