Kekristenan dalam kehidupan seseorang menjadi mati atau tidak bernyawa jika tidak disertai pengalaman yang berkualitas dengan Tuhan. Pengalaman riil dengan Tuhan bukan sesuatu yang hanya dinilai sebagai perbuatan tangan Tuhan, melainkan harus sungguh-sungguh dirasakan sebagai perbuatan Tuhan sendiri. Tidak sedikit orang yang mengakui suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidupnya sebagai perbuatan tangan Tuhan, tetapi kejadian itu tidak meninggalkan goresan dalam kehidupan orang tersebut. Goresan tersebut adalah kehidupan yang semakin memberkati orang lain. Sikap hidup yang tidak melukai sesama.
Banyak orang Kristen yang menyaksikan pengalaman kesaksian pertolongan Tuhan dalam hidupnya, tetapi tidak membuat dirinya berubah. Seharusnya dengan pengalaman tersebut, ia semakin mengasihi Tuhan, semakin bersedia melayani Tuhan dan berkorban apa pun juga bagi Tuhan, semakin hidup tidak bercacat dan tidak bercela dan tentu saja semakin menjadi berkat bagi orang lain. Karena memang segala pengalaman hidup tersebut dipakai Tuhan untuk mendewasakannya (Rm. 8:28). Jadi kalau melalui pengalaman hidup seseorang tidak semakin membuatnya dewasa rohani, berarti ia menyia-nyiakan kesempatan.
Padahal setiap peristiwa kehidupan mengandung pelajaran iman yang tidak ternilai harganya. Orang yang mengabaikan pelajaran rohani ini adalah orang-orang yang tidak memedulikan pemeliharaan rohaninya. Biasanya, ia memandang segala peristiwa kehidupan hanya sebuah irama hidup wajar. Orang seperti ini tidak menghargai nilai kekekalan. Pikirannya hanya tertuju kepada perkara-perkara duniawi. Mereka adalah orang-orang yang ingin dunia hari ini menjadi seperti Firdaus. Mereka juga adalah orang-orang yang belum dewasa, yang masih mencari penghargaan.
Kesaksiannya dianggap nilai tambah dirinya, padahal yang memberi nilai (value) adalah buah dari masalah tersebut, yaitu pendewasaan. Mereka hanya melihat nilai pada perbuatan Tuhan yang mengangkat masalah dan memenuhi apa yang mereka anggap sebagai kebutuhan, tetapi mereka tidak menemukan value yang sesungguhnya, yaitu pendewasaan yang diakibatkan oleh masalah tersebut. Tidak heran jika mereka hanya mempersoalkan masalah itu sendiri dan bersyukur atas jalan keluarnya, bukan pada proses pendewasaannya. Pengalaman itu sendiri menjadi tidak berkualitas sama sekali.
Kekristenan menjadi berkualitas bila pengalaman yang dialami orang percaya, bukan hanya berkenaan dengan pengalaman yang menyangkut masalah yang berorientasi pada kepentingan pribadi, tetapi berkenaan dengan kepentingan Tuhan. Memang diawali dengan pengalaman yang berorientasi pada kepentingan pribadi, selanjutnya bila ia bertumbuh dewasa melalui pengalaman tersebut, Tuhan akan membawanya kepada pengalaman dengan Tuhan yang berorientasi pada kepentingan Tuhan atau pekerjaan Tuhan.
Tuhan akan membuat perjalanan hidup kita tidak mulus, yang melaluinya Tuhan hendak mendewasakan kita. Pendewasaan ini sebagai persiapan menjadi “jago” atau “gladiator Tuhan.” Sebagaimana Tuhan Yesus selama 30 tahun dipersiapkan menjadi gladiator Bapa. Selanjutnya, Tuhan juga tidak akan membuat pekerjaan Tuhan atau pelayanan kita berjalan mudah tanpa rintangan. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman para rasul, terutama rasul Paulus. Tuhan mengizinkan perjalanan pelayanannya berat; dari kelelahan fisik, perasaan yang terlukai sampai darah yang harus ditumpahkan (Flp. 2:17; 2 Tim. 4:6).
Pengalaman yang kedua ini akan membuat seseorang benar-benar mengalami Tuhan. Hal ini akan memperkokoh tali persekutuan dengan Tuhan. Ia akan semakin mengasihi Tuhan. Memandang Kerajaan Surga sebagai tujuan yang nyata dan sangat jelas. Ia menjadi kekasih Tuhan dan kesayangan-Nya. Inilah yang dimaksud oleh Tuhan Yesus dengan mengambil bagian dalam penderitaan Tuhan atau bersama-sama dengan Tuhan dalam segala pencobaan atau menderita bersama-sama dengan Tuhan. Tuhan sengaja mengizinkan perjalanan pelayanan kita menjadi berat dan penuh tantangan. Ini bagian dari hukum kehidupan yang harus dialami oleh seorang gladiator Tuhan yang berfungsi sebagai corpus delicti.
Pergumulan ini berat sebab yang dihadapi adalah kuasa kegelapan yang berusaha menghentikan laju pertumbuhan kedewasaan dan perjalanan pelayanan. Penderitaan merupakan ujian apakah seorang anak Tuhan tetap setia sampai akhirnya dan menyelesaikan tugas yang Bapa percayakan kepada orang pilihan-Nya (1 Ptr. 1:3-9). Semakin dalam penderitaan yang dialami seseorang, berarti semakin besar kepercayaan yang Tuhan percayakan kepadanya. Penderitaan itu bukan berarti sesuatu yang menyusahkan hati, tetapi beban yang menggerakkan seseorang menyerahkan segenap miliknya untuk pekerjaan Tuhan; di dalamnya termasuk pikiran, perasaan bahkan nyawa.
Kekristenan dalam kehidupan seseorang menjadi mati atau tidak bernyawa jika tidak disertai pengalaman yang berkualitas dengan Tuhan.