Betapa mudahnya orang berbicara mengenai Allah dari hasil tahun-tahun panjang belajar teologi di Sekolah Tinggi Teologi atau seminari. Sebenarnya orang bisa membuat penjelasan mengenai Allah, tanpa belajar teologi di perguruan tinggi keagamaan. Jadi betapa mudahnya orang berbicara mengenai Alah dari berbagai sumber yang diperolehnya. Tetapi betapa tidak mudahnya benar-benar bersentuhan dengan Allah dan mengenal Allah dari pengalaman langsung dengan Allah yang hidup. Banyak orang berpikir bahwa mengenal Allah itu mudah, dengan belajar tentang Allah, mereka merasa sudah bersentuhan dengan Allah. Sesungguhnya ini adalah suatu kebodohan dan telah menyesatkan banyak orang. Pembodohan ini dimulai dari mereka yang belajar mengenai Allah di perguruan tinggi keagamaan, karena merasa dengan ilmu yang mereka raih di perguruan tinggi tersebut serta gelar disandangnya mereka merasa mendapat legitimasi untuk mengaku sebagai hamba Tuhan, sudah mengenal Tuhan dan berhak mengajar orang lain. Padahal tidak jarang mereka itu seperti orang buta menuntun orang buta. Tuhan Yesus mengemukakan hal ini terkait dengan teolog-teolog Yahudi yang cakap berbicara mengenai Allah, tetapi tidak mengenal Allah secara benar.
Gereja menjadi rusak dan para jemaat tidak pernah menjadi orang-orang Kristen yang rohani, sebab yang menjadi pembicara-pembicara di mimbar Kristen adalah orang-orang yang hanya memiliki pengetahuan teologi tanpa perjumpaan dengan Allah. Hal ini juga terjadi atas para pemimpin gereja, pimpinan sinode dan pimpinan aras gereja. Oleh sebab itu kita tidak boleh kecewa ketika melihat mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak menunjukkan sebagai utusan-utusan Kristus yang agung. Kemerosotan kehidupan jemaat Kristen nampak dalam kehidupan masyarakat Eropa yang memang dikenal sebagai masyarakat Kristen; yang pernah mengutus para misionarisnya ke Asia. Sampai hari ini mereka memiliki seminari-seminari yang sangat baik, memiliki kualifikasi akademis yang sangat tinggi, dan doktor-doktor serta profesor-profesor di lingkungan pendidikan teologi, tetapi ironisnya mereka gagal menyelamatkan masyarakat mereka dari kekafiran.
Sejatinya, Allah yang Mahahadir lebih dekat dari nafas yang kita hirup. Mestinya kita dapat bersentuhan dengan Allah setiap saat. Karena riilnya Allah dalam kehidupan, maka sentuhan itu bisa seperti arus listrik yang menyengat kita. Hal ini tidak harus secara harfiah secara fisik, tetapi dalam jiwa atau batin kita. Dalam hal ini setiap orang dapat memiliki pengalaman pribadi dengan Allah yang sangat khusus atau khas yang tidak bisa dialami oleh orang lain. Pengalaman yang khusus atau khas ini tidak akan bisa diungkapkan kepada orang lain, memang Allah tidak menghendaki pengalaman khusus dengan Allah tersebut menjadi murahan ketika disaksikan secara sembarangan kepada semua orang.
Pengalaman dengan Allah secara khusus dan khas ini membangun kontruksi teologi yang membekali setiap individu untuk berjalan dalam kehendak Allah. Orang yang mengalami Allah belum tentu bisa membuat karya ilmiah atau sebuah tulisan panjang mengenai Allah seperti para teolog yang belajar secara formal di Sekolah Tinggi Teologi atau seminari. Tetapi orang-orang ini dapat memiliki kehidupan rohani yang sesuai dengan maksud keselamatan itu diadakan yaitu menjadi manusia yang serupa dengan Yesus. Yesus adalah model manusia yang dikehendaki oleh Allah. Orang-orang percaya, walau hanya jemaat biasa yang tidak pernah mengenyam pendidikan teologi dan tidak pernah disahkan sinode sebagai pejabatnya, tetapi yang memiliki pengalaman langsung dengan Allah, menerima sengatan Allah, maka hidup mereka menjadi sangat berkualitas. Jadi kualitas kerohanian seseorang tidak terletak pada gelar kesarjanaan teologi atau statusnya sebagai pendeta yang disahkan oleh sinode. Kita harus kembali kepada Injil yang sejati, yang objeknya adalah Yesus sendiri dari segala sesuatu yang diajarkan maupun yang diperagakan-Nya (Ef. 4:15).
Serupa dengan Yesus adalah tujuan iman orang percaya. Apa artinya memiliki pengetahuan tentang Allah dan bisa menuliskannya dalam karya ilmiah atau jurnal-jurnal ilmiah teologi tetapi tidak mencapai kehidupan serupa dengan Yesus? Ironis, banyak teolog Kristen yang memandang bahwa hal menjadi serupa dengan Yesus adalah sesuatu yang tidak akademis dan tidak memiliki nilai ilmiah teologis. Padahal justru menjadi serupa dengan Yesus adalah jantung kekristenan itu sendiri. Penyesatan ini menjadi penyebab dari kemunduran kekristenan selama ratusan tahun. Kekristenan telah menjadi lembaga agama yang sarat dengan unsur-unsur liturgi, perdebatan doktrin teologis dan Allah menjadi objek penelitian yang hanya ditulis di atas kertas. Orang-orang percaya, walau hanya jemaat biasa yang tidak pernah mengenyam pendidikan teologi dan tidak pernah disahkan sinode sebagai pejabatnya, tetapi bila mereka memiliki pengalaman langsung dengan Allah menerima sengatan Allah maka hidup mereka menjadi sangat berkualitas. Seharusnya inilah yang menjadi ukuran kualitas hidup kekristenan.