Kita harus terus mengembangkan cara pandang yang benar yaitu cara berpikir dimensi kekekalan. Tidak banyak orang yang sudah menembus batas ini. Pada umumnya penglihatan atau pandangan manusia, hanya sampai pada apa yang ada di bumi ini. Karena memang sejak kita kanak-kanak, kita sudah dipengaruhi oleh dunia, terpapar oleh cara pikir dunia, yaitu dimensi berpikir fana. Semua hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan jasmani dan itu mencengkeram, membelenggu jiwa kita selama bertahun-tahun, belasan tahun, bahkan sampai puluhan tahun. Maka, kita sudah terbiasa menikmati hidup dengan dimensi ini. Sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan hidup kita hanya tertuju pada pemenuhan kebutuhan jasmani; di dalamnya termasuk harga diri, martabat, prestise, kehormatan, yang ada di dalam lingkungan orientasi dunia fana ini.
Tuhan selalu mengarahkan kita untuk berpikir dengan dimensi kekekalan. Itulah sebabnya Tuhan kita Yang Mulia Yesus Kristus, di Matius 6:19-21 berkata, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
Jadi, kalau kita berkarier, mencari nafkah, itu dasarnya bukan karena kita sedang mencari pemenuhan kebutuhan jasmani, melainkan supaya kita bisa melewati hidup guna fokus kehidupan yang akan datang. Memang, betapa sulitnya memindahkan hati di dalam Kerajaan Surga, tetapi kalau kita berkomitmen sungguh-sungguh mau dan kita berdoa, kita mohon pertolongan Tuhan untuk itu, pasti Tuhan akan menolong kita. Tuhan akan membuat suasana hidup di mana kita sampai pada titik patah hati terhadap dunia. Kalau kita belum patah hati terhadap dunia, kita belum bisa memindahkan hati kita di Kerajaan Surga. Artinya, tidak ada lagi yang kita harapkan dari dunia ini.
Kita harus bisa menghayati tragisnya hidup; dalam hidup kita sendiri maupun hidup orang lain. Apalagi kalau kita dibawa Tuhan ke situasi di mana kita benar-benar berada di titik terendah. Di situ kita sungguh bisa merasakan patah hati terhadap dunia. Jadi di dalam proses pendewasaan, proses penyempurnaan, yang Tuhan kerjakan, kita dipaksa Tuhan untuk melihat ke depan. Namun, kalau keadaan sudah baik, sudah nyaman, bisa ada kecenderungan kita menoleh lagi ke belakang. Menikmati lagi apa yang bisa dinikmati dari dunia.
Kekecewaan terhadap dunia dimulai dalam bentuk kekecewaan terhadap manusia, dan keadaan—misalnya, kemiskinan yang berkepanjangan, sakit yang tidak sembuh, dikhianati oleh orang yang kita percayai. Sebenarnya itu adalah potensi kita untuk mengalami patah hati terhadap dunia. Namun, keadaan-keadaan seperti itu juga belum tentu membuat seseorang patah hati, kecuali dia mendengar firman Tuhan yang benar. Sehingga dia bertumbuh dalam pengertian tentang kesementaraan hidup dan mengenai kekekalan; hal itu akan pasti mengantar kita kepada keadaan patah hati. Ditambah lagi kalau kita memiliki kesempatan melayani pekerjaan Tuhan dan menyaksikan penderitaan banyak orang; di situ kita patah hati. Sampai kita bisa berkata, “Mari aku tunjukkan tempat di mana kamu tidak mengalami penderitaan, tidak ada air mata dukacita, tidak ada kematian, tidak ada perpisahan.”
Tuhan akan mengantar kita untuk bisa melihat kekekalan dan memindahkan hati di kekekalan. Kita berharap bisa menembus batas tanpa harus mengalami kekecewaan dan penderitaan. Kalau kita sudah melintasi batas, rumah kita besar atau kecil sudah tidak terpengaruhi. Sadarilah bahwa semuanya harus untuk kepentingan Tuhan.
Ingat! Kesenangan sesaat, jangan merusak kenikmatan kekal. Maka, kita bersyukur kalau Tuhan membawa kita kepada perjalanan hidup yang makin berat. Tetapi inilah cara finishing well; kita mau diakhiri dengan baik. Jadi apa pun keadaan kita hari ini, kita bersyukur. Mengapa? Kalau bukan karena Tuhan, kita tidak ada seperti hari ini. Yang terutama, kita mengenal kebenaran dan dipersiapkan masuk langit baru bumi baru. Tangan Tuhan yang memelihara kita dengan sempurna. Jadi keadaan yang sekarang yang kita pandang tidak sempurna, cacat, invalid, tidak lengkap, gagal; belum apa-apa dibanding kalau nanti kita ditolak di kekekalan.
Kalau kita belum patah hati terhadap dunia, kita belum bisa memindahkan hati di Kerajaan Surga.