Skip to content

Pasivitas

Setan mengondisi manusia berkeadaan menyerah pada keadaan; pasif. Sejak kecil, sibuk dengan mainan dan sekolah. Dewasa, sibuk dengan kuliah, cari jodoh, berkeluarga, dan karier. Mereka jadi orang baik, bukan jadi orang bejat; rajin ke gereja, bahkan menjadi aktivis atau pendeta. Tapi mereka tidak mengerti proses memberi diri diselamatkan. Ini terjadi karena gereja tidak memiliki pengajaran yang tepat untuk mengimplikasikan proses keselamatan itu. Dulu pada umumnya, kita pasti memahami keselamatan sekadar terhindar dari neraka. Percaya Yesus, selamat. Padahal, keselamatan adalah jalan hidup lewat proses. Proses dari meleset, meleset, meleset, makin tepat, makin tepat, makin tepat, sampai tidak bisa meleset. Kita belajar untuk mengendalikan diri, menguasai diri. Proses, sehingga punya ketepatan. Dan itu bukan proses satu hari; proses panjang dalam kehidupan. 

Banyak orang Kristen dari kecil dikondisikan untuk menyerah pada keadaan. Dan tanpa disadari, kuasa gelap menggiringnya pada kegelapan abadi. Ini adalah keadaan yang mengerikan. Rata-rata kita masih begitu. Buktinya, gairah materialisme mengikat hidup. Dan banyak orang yang sampai tingkat tidak bisa diperbaiki lagi. Dalam 2 Korintus 5:10 dikatakan, “Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah.” Memberi diri diperdamaikan artinya bahwa kita tidak otomatis berdamai dengan Tuhan; harus lewat proses. Dan ini penting sekali, ini bukan sesuatu yang sederhana melainkan lewat sebuah proses yang berat. Karena kita biasa hidup menurut daging, namun sekarang harus hidup menurut Roh. 

Kalau orang menyerah kepada keadaan, ia dapat binasa. Kita tak dapat menyelamatkan diri kita sendiri, tetapi kita bisa membinasakan diri kita. Namun oleh karya salib Tuhan, terbuka kemungkinan kita untuk diselamatkan. Dengan kematian Yesus di kayu salib, mengampuni dosa kita atau menebus semua dosa kita, membawa diri kita dibenarkan di hadapan Allah, walau belum benar. Maka kita harus memberi diri untuk diselamatkan; sama dengan memberi diri untuk diperdamaikan. Kita mau diperdamaikan dengan Allah, tapi belum hidup dalam perdamaian yang benar. Lalu bagaimana itu implikasi konkretnya? Ironisnya, karena tidak jelas bagaimana kehidupan Kristen yang harus dijalani, maka mereka menyerah pada keadaan. Padahal, dunia ini menggiring orang kepada kegelapan abadi. Tidak ada anjuran yang jelas “berilah dirimu untuk diselamatkan.” 

Sekarang, karena kita diberi Tuhan pengertian yang tepat, marilah kita memberi diri diselamatkan. Menjadi orang percaya berarti kita harus menceburkan diri pada proses dikembalikan hidup kita ke rancangan Allah semula. Maka, tidak bisa tidak, kita harus menanggalkan semua ikatan-ikatan dunia. Dan itu bukan Tuhan yang melepaskannya. Kita yang harus melepaskan diri kita sendiri, supaya kita memberi diri untuk diselamatkan. Lukas 16:11 mengatakan, “jadi jikalau kamu tidak setia dalam hal mamon yang tidak jujur—artinya jika kamu masih materialistis—siapakah yang akan memercayakan kepadamu harta yang sesungguhnya?” Teks aslinya bukan “harta yang sesungguhnya” melainkan “kebenaran; alitheia. Jadi, karena materialisme, maka anugerah untuk membawa kita kepada ketepatan bertindak—fasilitas untuk mengubah kita dari hukum dosa menjadi seorang yang berkodrat Ilahi—tidak bisa berlangsung. 

Ketika kita dengan kesungguhan melepaskan ikatan materialisme, dari percintaan dunia, pikiran kita menjadi begitu terang dan jernih. Kita bisa memahami ayat-ayat Alkitab dengan benar. Kita bisa begitu betah duduk diam di kaki Tuhan. Hati kita bisa terarah ke Kerajaan Surga, yang mana itu tidak bisa kita lakukan dulu ketika kita masih ingin punya uang dan fasilitas. Bukan salah punya uang atau fasilitas, tapi tujuan hidup kita bukanlah uang dan fasilitas tersebut. Tujuan hidup kita itu Tuhan. Makanya Tuhan Yesus berkata, “Barangsiapa tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, ia tak dapat mengikut Aku.” Sebagaimana yang Yesus perintahkan kepada orang kaya di Matius pasal 19, ia harus menjual segala miliknya, membagikannya kepada orang miskin, baru ikut Yesus. 

Ini tidak boleh dimengerti secara keliru. Ini tidak bermaksud agar kita jadi orang miskin; memberikan semua uang kepada gereja atau kepada yayasan sosial, bukan begitu. Sama sekali tidak. Bahkan kita harus dalam pimpinan Tuhan dalam memberi, karena ini semua milik Tuhan. Jadi, apa yang kita lakukan terhadap harta kita, bagaimana kita mengelola harta kita, harus di dalam pimpinan Roh Kudus. Makanya betapa pentingnya seseorang bertumbuh dewasa rohani, dipimpin Roh Kudus, sehingga dia bisa melakukan segala sesuatu dalam ketepatan. Di sinilah maksud Allah menciptakan manusia. Manusia menjadi mandataris Allah; pelaksana apa yang Allah kehendaki untuk dilakukan. Dan masing-masing individu itu memiliki keadaan yang berbeda-beda. Tetapi di dalam keadaan yang berbeda-beda itu, segala sesuatu yang dilakukan tepat seperti yang Allah kehendaki.

Banyak orang Kristen dari kecil dikondisikan untuk menyerah pada keadaan; pasivitas. Dan tanpa disadari, kuasa gelap menggiringnya pada kegelapan abadi.