Pada akhirnya, kehidupan orang percaya adalah kehidupan yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri sebagai Bapa. Hukum yang diberikan Tuhan hanya menjadi “tutor” sementara, sebab akhirnya tanpa tekanan dan bayang-bayang hukum seseorang bisa memiliki kelakuan bukan saja tidak melanggar hukum melainkan sesuai dengan kehendak Allah. Dalam hal ini orang percaya harus memiliki kualitas moral seperti Allah sendiri. Kualitas moral seperti inilah yang sebenarnya Allah Bapa kehendaki dimiliki oleh anak-anak-Nya. Dan mereka harus memilikinya, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa kita harus sempurna.
Dengan demikian, menjadi sempurna maksudnya agar orang percaya hidup dalam pengaturan Tuhan sepenuhnya. Tidak ada yang anak Tuhan kerjakan di luar kehendak Allah Bapa. Sehingga akhirnya kita bisa berkata seperti Tuhan Yesus berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Sebenarnya Allah tidak memformat manusia sejak semula untuk hidup di bawah bayang-bayang hukum atau peraturan. Itulah sebabnya pada waktu penciptaan, Allah tidak merumuskan hukum untuk dilakukan. Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambarNya, artinya bahwa Allah memberikan kemampuan moral kepada manusia yang bisa membaca pikiran dan perasaan Allah sehingga segala sesuatu yang dilakukan sesuai dengan keinginan Bapa.
Jadi, sempurna seperti Bapa artinya segala sesuatu yang dilakukan oleh orang percaya sesuai dengan yang Allah Bapa kehendaki. Dengan demikian orang percaya yang selalu berjalan dengan Allah untuk belajar melakukan kehendak-Nya secara benar akan memiliki frekuensi pikiran dan perasaan yang “nyambung” dengan Allah. Sehingga, tanpa pemaksaan kita akan selalu berjalan sesuai dengan kehendak Allah, yang artinya berjalan seiring dengan Tuhan sendiri. Di sini seseorang bisa berdialog dengan Allah. Dialog ini akan semakin terbuka dan intensif sehingga seseorang bisa tinggal di dalam Dia, artinya dalam persekutuan dengan Allah Bapa seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus (Yoh. 17:20-21).
Itulah sebabnya Tuhan menghendaki agar kita memiliki pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Yun. phroneo). Pikiran dan perasaan inilah yang hampir sama dengan nurani (Yun. suneidesis). Tetapi sebelum Tuhan Yesus menang, taat sampai mati, menderita, disalib dan bangkit, Ia berkata bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa, sebab pada waktu itu Ia belum bisa mengklaim bahwa diri-Nya menang. Tetapi setelah Tuhan Yesus menang, maka Ia bisa menjadi pokok keselamatan bagi orang yang taat kepada-Nya (Ibr. 5:9). Jadi, kalau seseorang mau sempurna seperti Bapa, ia harus mengenal kehidupan Tuhan Yesus.
Kesempurnaan dalam ayat ini hendak menunjuk kualitas moral seperti yang dimiliki oleh Allah Bapa yang juga harus dimiliki orang percaya. Allah berfirman agar umat-Nya kudus seperti Dia kudus (1 Ptr. 1:16). Hal ini sama dengan mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:10) dan sama dengan mengenakan kodrat ilahi (2 Ptr. 1:3-4). Semua ini menandai bahwa seseorang sah sebagai anak-anak Allah. Setiap orang percaya mendapat panggilan untuk mencapai kesempurnaan. Untuk itu, perhatian orang percaya tidak boleh terbelah untuk hal yang mengganggu pertumbuhan kesempurnaan seperti Bapa.
Dalam kesaksiannya Paulus menyatakan, “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Flp. 3:12). Orang percaya ditangkap Allah supaya akhirnya ia juga menangkap Allah, artinya sempurna seperti Bapa di surga. Hidup selama 70 sampai 80 tahun di dunia ini merupakan masa untuk mengejar suatu prestasi abadi, yaitu sempurna seperti Bapa. Jika fokus hidup orang percaya tertuju kepada hal yang lain, maka target yang harus dicapai tidak akan tercapai. Sebab yang sungguh-sungguh berusaha saja bisa nyaris tidak bisa meraih, apalagi yang tidak sungguh-sungguh.
Untuk terselenggaranya hidup sesuai dengan kehendak Allah atau sempurna seperti Allah Bapa, maka Roh Kudus dimeteraikan dalam kehidupan orang percaya. Roh Kudus inilah yang mengerami kehidupan orang percaya agar “pecah” seperti telur ayam dan memunculkan atau melahirkan anak ayam. Ini menunjuk kepada kelahiran baru yang menjadi titik awal dari kehidupan ilahi yang tidak pernah bisa mati dalam kehidupan orang percaya. Tanpa kelahiran baru, seseorang tidak akan pernah selamat, artinya tidak pernah bisa diperbarui untuk mencapai kesempurnaan Kristus. Ironis, banyak orang Kristen yang kelihatannya sudah bertobat, tetapi sebenarnya pertobatannya tidak signifikan mengubah kehidupannya untuk memiliki kehidupan ilahi. Pertobatan haruslah proses setiap hari di mana seseorang meninggalkan cara hidupnya yang lama. Pertobatan ini dimotori oleh pengertian yang benar terhadap firman Tuhan.
Tanpa kelahiran baru, seseorang tidak akan pernah selamat, artinya tidak pernah bisa diperbarui untuk mencapai kesempurnaan Kristus.