Banyak orang beragama secara tidak matang atau tidak dewasa. Hal ini disebabkan oleh cara memandang yang salah terhadap Allah; tidak mengenal Allah. Karena tidak mengenal Allah yang benar, maka beragamanya tidak dewasa, interaksinya dengan Allah tidak proporsional. Sebelum ada agama Samawi, yaitu agama yang diakui sebagai pewahyuan dari Allah, manusia dari berbagai suku bangsa membangun agama berlandaskan sudut pandang mereka masing-masing. Karena memang mereka tidak mengenal Allah yang sejati, maka dewa yang mereka percayai itu pun desain mereka sendiri. Mereka memandang ilah atau dewanya itu seperti manusia. Mereka berusaha melakukan ibadah dengan menggunakan sarana seremonial atau ritual. Mereka berpikir bahwa ilah atau dewa yang mereka sembah itu menyukai persembahan-persembahan, seperti layaknya manusia. Mereka menyembelih binatang, bahkan juga mengorbankan manusia. Tidak jarang, bayi pun dipersembahkan kepada dewa mereka. Jadi kalau mereka sudah melakukan seremonial atau upacara agama, mereka sudah merasa memenuhi kewajiban sebagai umat dalam beribadah atau berbakti kepada ilah atau dewanya. Tentu kemudian mereka merasa berhak menerima perlindungan dan berkat-berkat jasmani.
Kalau dalam kehidupan bangsa Israel, Allah mengajarkan ibadah yang mirip dengan agama-agama suku atau agama-agama kafir, karena memang kemampuan manusia atau bangsa Israel waktu itu hanya demikian. Dengan cara ibadah mereka yang masih bersifat seremonial tersebut, yang penting mereka bisa mengekspresikan hormat dan cintanya kepada Elohim Yahweh, jadi diterima; menyanyi, menari, mengorbankan binatang sebagai kurban persembahan. Tetapi setelah Yesus, Anak Tunggal Allah, datang ke dunia mengajarkan kebenaran, manusia—khususnya umat pilihan—harus mulai mengerti bagaimana menyembah Allah dengan benar, bagaimana “beragama” secara dewasa. Kalimat yang tepat: ber-Tuhan secara dewasa; ber-Tuhan secara matang. Karena, Tuhan Yesus memperkenalkan Bapa; siapa dan bagaimana Bapa itu. Dalam Perjanjian Baru, umat pilihan dapat mengenal siapa dan bagaimana Allah yang benar itu. Yang penting, bagaimana kita menempatkan diri dalam posisi dan hierarki yang benar. Hal ini menyangkut seluruh sikap hati dan perilaku, di mana pun, kapan pun, serta melalui segala sesuatu yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan.
Sebelumnya, tidak ada yang mengenal Allah. Seperti yang dikatakan dalam Yohanes 1:17-18, tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Anak Allah yang memperkenalkan-Nya. Di dalam Matius 11:25-27, juga dikemukakan, tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak, dan kepada siapa Anak itu memberitahu atau mengajarkannya. Tuhan mengatakan, ada waktunya, ada saatnya orang tidak menyembah di Yerusalem atau di Gunung Gerizim atau di mana-mana, tetapi dalam Roh dan kebenaran. Ini ibadah yang tidak dibatasi oleh ruangan, waktu, serta cara-cara tertentu secara harfiah. Kalau orang Yahudi memiliki kiblat untuk bersembahyang—yaitu Yerusalem—kita sudah tidak lagi terikat demikian. Orang Yahudi punya jam-jam sembahyang, sedangkan kita tidak. Kalau orang Israel, memiliki Taurat, hidup mereka diatur oleh tatanan hukum yang tertulis. Tetapi orang percaya diatur oleh hati dan perasaan Allah sendiri, melalui Roh Kudus yang dimeteraikan di dalam hidup umat pilihan; tentu lewat proses didikan supaya manusia tidak kehilangan kehendak bebas.
Tetapi manusia (dalam hal ini umat pilihan) dididik untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Karena memang pada mulanya, Allah tidak menciptakan manusia dengan format hidup menurut tatanan hukum yang tertulis, melainkan hukumnya adalah Allah sendiri, supaya hukum itu menjadi kodrat di dalam diri manusia; sehingga manusia dalam segala hal yang dilakukannya selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Itu beragama yang matang; itu beragama yang dewasa. Yang Tuhan lihat adalah batin setiap individu; yang Tuhan nilai adalah perbuatannya setiap hari. Jadi, nyanyian dan tarian orang percaya adalah segenap kehidupannya, yaitu seluruh perilaku atau perbuatannya, sebagai pujian dan penyembahan kepada Allah. Orang beragama tidak boleh terikat oleh pola-pola keberagamaan yang memandang Allah itu seperti Allah yang senang dipuji-puji, disembah-sembah dengan nyanyian, tarian. Lalu kalau sudah melakukan hal itu, seakan-akan dia sudah memenuhi kewajibannya. Kewajiban kita adalah memiliki sikap hati yang selalu menghormati Allah dan diekspresikan dalam tindakan dan perbuatan, bukan dengan seremonial saja. Bahkan, kalau hidup kita tiap hari tidak menghormati Allah, seremonial, liturgi kita menjijikkan; itu munafik. Jadi, pada intinya, penyembahan kepada Allah adalah kesucian hidup yang dimiliki oleh orang percaya. Orang yang tidak suci hatinya, tidak memiliki kelayakan menyembah Allah.
Nyanyian dan tarian orang percaya adalah segenap kehidupannya, yaitu seluruh perilaku sebagai pujian dan penyembahan kepada Allah.