Pada umumnya atau hampir semua manusia, fokus hidupnya hanya tertuju kepada dunia ini, yaitu apa yang kelihatan, yang dapat dirasakan, dan dapat menjadi kebanggaan atau menjadi nilai diri. “Nilai diri” di sini terkait dengan gairah dalam jiwa, yaitu memperoleh kehormatan, pujian atau sanjungan dari manusia. Orang-orang seperti ini biasanya hanya mempersoalkan nilai yang diperoleh dari manusia, tetapi tidak mempersoalkan penilaian Allah terhadap dirinya. Tahun-tahun umur hidupnya hanya dihabiskan untuk hal tersebut. Padahal, semua itu fana atau sementara. Inilah orang-orang yang sebenarnya membelakangi Tuhan. Walaupun mereka beragama dan melakukan kegiatan keagamaan, tetapi mereka berkeadaan tidak berkenan di hadapan Allah. Karena memang pada kenyataannya, mereka tidak mengusahakan hal tersebut. Doktrin yang mereka pahami adalah “keselamatan bukan karena perbuatan baik,” tanpa memahami maksud ayat tersebut dengan benar. Sehingga akhirnya, mereka menjadi sesat atau menyimpang. Tidak sedikit di antara mereka adalah para rohaniwan yang cakap berbicara mengenai Allah atau berteologi, tetapi sebenarnya mereka tidak bersentuhan langsung dengan Allah atau tidak mengalami pertemuan atau perjumpaan dengan Allah secara riil.
Harus diingat bahwa realitas bukan hanya sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dan disentuh secara jasmani saja. Allah adalah realitas di atas segala realitas. Allah adalah realitas, lebih dari apa pun dan siapa pun dalam kehidupan ini. Mengapa demikian? Sebab kalau seseorang berinteraksi dengan Allah, sebagai akibatnya akan berdampak di dalam hidupnya. Dampaknya bukan hanya untuk sementara, melainkan dampak dalam kekekalan. Dampak yang ditimbulkan dari sebuah perjumpaan atau pertemuan dengan Allah adalah dampak yang tidak bisa diakibatkan atau dihasilkan oleh apa pun dan siapa pun. Inilah yang dimaksudkan bahwa Allah lebih dari segala realitas. Jadi kalau seseorang belum mengalami dampak yang sangat khusus dan istimewa—yang hanya bisa dilakukan oleh Allah—berarti orang itu belum mengalami perjumpaan atau pertemuan dengan Allah dengan benar. Dan dia juga belum memiliki kehidupan yang ber-Tuhan dalam arti yang benar.
Oleh kemurahan hati-Nya, Allah sering membuat kita “siuman atau sadar” melalui berbagai kejadian hidup yang mengejutkan kita. Kejutan tersebut berupa penderitaan yang dalam dan sangat menyakitkan. Cara itu adalah cara Allah untuk menyadarkan kita terhadap realitas Allah dan kekekalan yang suatu hari harus dihadapi oleh setiap manusia. Tetapi banyak orang sering menyangkali keadaan tersebut, dan tidak memperoleh faedah apa-apa di balik penderitaan yang dialaminya. Kejutan-kejutan yang bisa dialami oleh umat pilihan, yang melaluinya mereka disadarkan terhadap realitas Allah dan kekekalan, misalnya: kehilangan orang yang dicintai, jatuh miskin dan tidak bisa bangkit kembali, dikhianati oleh orang yang sangat dicintainya, kehilangan jabatan yang selama ini menjadi tujuan hidup dan impian, vonis dokter adanya penyakit yang tak tersembuhkan di dalam dirinya, bencana alam, wabah penyakit, perang, dan lain sebagainya.
Sebelum seseorang mengalami kecelakaan yang paling menggetarkan dan dahsyat dalam hidup—kematian, pengadilan Allah dan nasib kekalnya yaitu neraka kekal atau surga kekal—maka oleh kemurahan-Nya, Allah menunjukkan hal-hal yang membuat seseorang menyadari realitas—baik realitas Allah maupun kekekalan—supaya ia bebenah diri atau berkemas-kemas yang sama dengan berjaga-jaga. Orang percaya yang berhasil menghayati realitas secara benar akan dapat ber-Tuhan dengan benar. Orang yang ber-Tuhan dengan benar adalah orang yang selalu meletakkan perasaan Allah di depan matanya. Segala sesuatu yang dilakukan, selalu diperhitungkan dengan perhitungan atau ukuran: Apakah tindakan yang akan dilakukan menyukakan hati Allah atau tidak? Ia akan berusaha untuk mengerti apa yang Allah kehendaki di dalam hidup ini. Akhirnya, ia akan berusaha benar-benar menemukan apa yang dapat menyenangkan hati Allah dan melakukannya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang bermain dalam kawasan rohani. Orang yang hidup dalam kawasan rohani pasti bisa mencium kesucian Allah dan mewujudkannya di dalam hidupnya, agar ia juga memiliki kesucian dengan standar kesucian Allah tersebut.
Untuk mengalami Allah sebagai realitas, ada harga yang harus dibayar. Pembayarannya tidak boleh ditunda. Pembayarannya harus dilakukan segera, sebab ada momentum-momentum yang Allah sediakan untuk berinteraksi dengan orang percaya. Kalau momentum-momentum itu disia-siakan karena menunda berurusan dengan Allah, seseorang akan kehilangan kesempatan yang berharga itu untuk selama-lamanya. Itulah sebabnya di dalam Yesaya 55:6 firman Tuhan mengatakan, “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” Ayat ini jelas menunjukkan bahwa ada waktu dimana Tuhan tidak dapat ditemui lagi. Ini berarti ada momentum yang menjadi kesempatan seseorang dapat mengalami Tuhan sebagai realitas. Kalau momentum itu disia-siakan, seseorang akan kehilangan anugerah itu untuk selama-lamanya.