Sejak dini anak-anak harus mengetahui bahwa rumah abadi setiap manusia ada di surga, bukan di bumi. Sebab hal keempat yang harus orangtua wariskan adalah kerinduan pada Kerajaan Surga. Kerinduan pada Kerajaan Surga diajarkan oleh Tuhan kepada para murid. Tuhan berkata: “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal… Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada” (Yoh. 14:2-3). Dengan pernyataan-Nya ini Tuhan Yesus menunjukkan adanya dimensi kehidupan yang tidak dikenal oleh dunia. Inilah dimensi hidup keabadian yang menjadi tujuan atau fokus kehidupan orang percaya. Dengan dimensi hidup ini orang percaya menjadi “manusia hari esok.”
Tuhan menjanjikan kepada kita bahwa ada tempat tinggal abadi yang disebut sebagai rumah Bapa. Kelak Tuhan akan membawa semua orang percaya yang mengikuti jejak-Nya masuk dalam rumah Bapa. Kerinduan Tuhan adalah di mana Ia berada, di situ kita juga berada. Jika orang percaya tidak merindukan rumah Bapa, maka hal itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap Tuhan. Untuk itu, orangtua tidak boleh takut mengajarkan kepada anaknya tentang rumah abadi di langit baru bumi baru. Dengan mengajarkan langit baru bumi baru tidak berarti kita mengajarkan anak untuk tidak optimal di bumi. Sejak dini anak harus kita ajar bertanggung jawab dengan kehidupan di bumi ini; mulai dari sekolah, belajar, bergaul, dan membangun pola hidup sehat.
Dengan mengajarkan langit baru bumi baru berarti kita mengajarkan tentang tujuan hidup manusia yang pada akhirnya harus pulang ke rumah Bapa. Segala usaha, pencapaian, dan prestasi yang diperoleh anak seharusnya menjadi persembahan yang diarahkan untuk persiapan berjumpa dengan Tuhan. Dengan mengajarkan kehidupan yang akan datang kepada anak kita, sebenarnya kita sedang membangun pengharapan yang kokoh bagi hidup anak kita di masa mendatang. Alkitab berkata, “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir,” (Ibr. 6:19). Pengharapan di sini menunjuk pada pengharapan akan langit baru bumi baru di mana Kristus ada. Dikatakan bahwa pengharapan terhadap hidup yang akan datang adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa manusia. Hal ini berarti jika seseorang memahami adanya kehidupan yang akan datang, ia memiliki kekuatan jiwa yang kokoh dalam menghadapi kehidupan. Badai masalah sebesar apa pun yang menimpa hidupnya, tetap tidak akan membuatnya bergeser dari Tuhan. Sebab ia tahu masalah sebesar dan seberat apa pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Kerajaan Surga. Bayangkan jika anak kita memiliki pengharapan yang benar dalam Tuhan, betapa berbahagianya orang tua yang mengajarkan hal tersebut.
Kita harus realistis dalam memandang kehidupan. Kita tidak dapat selamanya berada di sebelah anak kita. Suatu hari kita akan meninggalkan mereka dan beralih pada kekekalan. Jika kita hanya mengajarkan anak menjalani kehidupan dunia ini saja, betapa malangnya kita. Sebab ketika berada di kekekalan mungkin kita tidak akan pernah berjumpa dengan mereka. Kita hanya bertemu dengan mereka 50-60 tahun di bumi dan kemudian berpisah selamanya. Akan tetapi, kita dapat menanggulangi hal tersebut dengan mengungsikan anak-anak kita ke langit baru bumi baru. Mengungsikan di sini wujudnya dengan mengajarkan mereka untuk merindukan dan berjuang masuk dalam Kerajaan Surga. Dengan mengungsikan mereka, kita membangun persatuan abadi dengan Tuhan dan anak-anak kita. Bahkan kematian pun tidak dapat memisahkan kita dengan anak-anak selama-lamanya.
Untuk ini, anak harus terlebih dahulu melihat jejak orangtuanya yang tidak mencintai dunia. Mustahil mengajak anak untuk merindukan Kerajaan Surga ketika orangtua masih mencintai dunia. Tuhan harus menjadi segalanya dalam hidup ini, sehingga kita rela mempersembahkan hidup kita tanpa batas untuk Tuhan. Dengan demikian, setiap orang tua yang ingin melihat anak-anaknya berhasil di kekekalan, harus berani melangkah terlebih dahulu untuk tidak mencintai dunia. Langkah ini dimulai dengan kesungguhan untuk melepaskan segala sesuatu. Kita tidak boleh merasa memiliki apa pun di bumi ini, selain Tuhan dan Kerajaan-Nya. Kita harus hidup dalam pemikiran seolah-olah besok kita akan meninggal. Hanya dengan cara inilah kita dapat melepaskan segala sesuatu dan mengarahkan hati pada kekekalan. Sama seperti Tuhan Yesus yang bukan berasal dari dunia, kita pun bukan berasal dari dunia. Oleh sebab itu, rindukanlah langit baru bumi baru lebih dari segalanya.