Kalau kita melihat tokoh-tokoh iman di dalam Alkitab, mereka terlihat seperti orang-orang yang memiliki gangguan mental. Bagi kita hari ini, tentu mereka orang baik-baik. Namun, pada zamannya, mereka seperti orang yang terkena schizophrenia; orang yang kena gangguan mental berat yang memengaruhi perilaku, memengaruhi emosi dan komunikasi, lalu mereka dianggap memiliki halusinasi, delusi, kekacauan berpikir dan perubahan perilaku.
Misalnya, Nuh. Nuh mendapat perintah dari Tuhan untuk membuat bahtera. Bukan di pinggir pantai, melainkan di daratan. Nuh tentu menyampaikan pesan Tuhan kepada orang sezamannya, yang di dalam Kitab Yudas dikatakan bahwa Nuh adalah pemberita kebenaran. Nuh memberitakan apa yang tidak bisa dimengerti oleh orang-orang sezamannya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana bisa ada air bah menjangkau daratan sampai membuat bahtera itu terapung. Jadi, Nuh seperti orang yang memiliki gangguan mental.
Kalau kita melihat sejarah hidup Abraham, juga begitu. Sudah nyaman hidup di tengah-tengah lingkungan keluarga, masyarakat di lembah Sumeria yang subur dan maju. Kemudian meninggalkan wilayah Ur itu untuk pergi ke negeri yang Tuhan akan tunjukkan. Abraham meninggalkan wilayah Ur dengan harapan akan memiliki negeri yang lebih baik. Abraham taat dan percaya saja kepada Elohim Yahweh yang memanggilnya keluar. Bukan tidak mungkin Abraham juga mendapat hambatan dari keluarga besar mereka.
Sadrakh, Mesakh, Abednego ketika disuruh menyembah patung di lembah Dura, tetapi mereka menolak. Sampai raja memberi kesempatan untuk kedua kali, mereka tetap menolak. Bahkan mereka mengatakan, “Kalaupun Allah yang kami sembah tidak menolong, kami tetap tidak menyembah patung itu.” Demikian juga Daniel. Dalam beberapa waktu, tidak boleh ada orang yang menyembah allah lain, selain allah yang ditentukan oleh raja. Namun, Daniel tetap berkiblat ke kota suci dan berdoa. Akhirnya ia dimasukkan ke dalam gua singa.
Hal Ini memberi pelajaran bagi kita yang tentu kita bisa menimba, meneguk kebenaran yang terdapat di dalam hidup mereka. Apa yang kita teguk? Satu kalimat: mereka adalah orang-orang yang asyik dengan Tuhan. Keasyikan itu betul-betul merenggut hidup mereka. Ini satu hal yang pasti tidak akan bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Hari ini, kita terlalu kompromi dengan dunia sekitar. Kita sering melakukan konformisme; penyesuaian. Maka, kita tidak berjuang untuk mempertahankan iman. Bicara soal iman, maksudnya adalah bicara mengenai kesungguhan kita dalam menaati Bapa di surga.
Yudas 1:3b, “Supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus.” Mempertahankan iman. Namun, kita harus memahami bahwa yang dimaksud iman adalah penurutan terhadap kehendak Allah. Jangan diberi pengertian yang lain. Sebab, setan itu dengan cerdiknya mengartikan iman itu hanya sekadar keyakinan, padahal tidak sama. Iman juga bukan sekadar persetujuan pikiran. Iman juga bukan sekadar pengaminan akali. Di dalam Lukas 18:8, firman Tuhan mengatakan, “Aku berkata kepadamu: Yesus, Anak Manusia, akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia, Yesus, itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”
Kalau hanya keyakinan, persetujuan pikiran, atau pengaminan akali, tentu semua orang Kristen memilikinya. Ini membuat kita harus serius memeriksa diri. Apakah iman yang kita miliki itu adalah iman yang dimaksud oleh Tuhan? Dalam kisah Nuh tadi, kalau kita membaca secara detail di dalam kitab Kejadian 6-7, Nuh harus membuat bahtera sesuai dengan desain Tuhan. Sebab kalau tidak, ketika air bah datang, kapal itu akan hancur. Kapal itu pasti tidak akan sanggup melewati gelombang ombak. Demikian juga dengan iman yang kita miliki, itu harus iman yang sesuai dengan desain Allah.
Ibrani 12:1, “Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.” Kita harus benar-benar mengoreksi seberapa kita benar-benar telah meninggalkan beban dan dosa yang merintangi kita, untuk bisa memiliki iman yang sempurna. Ingat, ini adalah perlombaan yang wajib.
Allah kita adalah Allah yang diam, senyap. Maka, kalau kita berurusan dengan Tuhan secara serius, artinya kita juga berurusan secara senyap. Di dalamnya, termasuk ketika kita mengoreksi diri kita. Seberapa kita masih memiliki ikatan dengan dunia ini, seberapa kita masih memiliki kecenderungan berbuat salah. Maka, kita harus benar-benar serius.
Ketika kita serius mau menanggalkan beban dan dosa, maka Tuhan akan membuka mata pengertian kita untuk melihat hal-hal apakah yang masih mengikat kita. Orang yang asyik dengan Tuhan, maka keasyikannya pasti merenggut hidupnya.