Skip to content

Merebut Hidup

Setelah kita belajar untuk mencintai Tuhan dan merasakan getar cinta dalam kalbu, maka ketika kita berbuat salah, kita akan merasa sangat terganggu. Kita diizinkan Tuhan merasakan luka Tuhan dan kita akan sangat merasa bersalah, sehingga dosa menjadi hal yang paling membuat kita trauma. Kita jadi trauma terhadap dosa, dan itu adalah jalan di mana kita mulai memiliki kesucian yang sempurna. Kalau dulu, kita tidak pernah merasakan luka itu. Karena ketika kita berbuat dosa, kita menikmati dosa dan tidak peduli dengan luka hati Tuhan. Namun, ketika kita mulai mencintai Tuhan, tentu ada cinta yang harus kita jaga, di tengah-tengah kompetitor yang mana Iblis akan menawarkan keindahan-keindahan. Dan yang paling berat yang kita hadapi adalah diri kita sendiri. 

Pesaing yang paling berat adalah diri kita sendiri. Setan akan menunggangi manusia lama kita. Manusia lama kita menjadi foothold—tempat berpijak Iblis—agar kita asyik dengan kesenangan diri kita, kepuasan diri kita. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata, “Kalau kamu tidak menyangkal diri, kamu tidak layak bagi-Ku.” Mungkin ada yang bertanya, “Sebegitukah Tuhan mau merebut hidup kita?” Tuhan merebut hidup kita demi keselamatan kekal kita. Dia mati di kayu salib merebut kita, supaya secara hukum, Dia berhak memiliki kita karena Dia mati di kayu salib menebus dosa kita. Tetapi, apakah kita memberi diri untuk Tuhan atau tidak, itu merupakan kehendak bebas kita. Kita bisa berikan untuk diri kita sendiri, untuk kesenangan kita sendiri, itu kebebasan kita. Tuhan tidak memaksa. 

Hati kita ada di dalam kekuasaan atau kedaulatan kita. Tuhan tidak paksa kita berikan kepada siapa, karena Tuhan menghargai kedaulatan yang dipercayakan-Nya kepada masing-masing manusia. Tuhan tidak menetapkan siapa yang selamat, siapa yang tidak selamat, tetapi Tuhan menetapkan hukumnya; hukum kedaulatan. Apakah kita memilih Tuhan atau tidak, itu kedaulatan kita. Mestinya kalau Tuhan sudah membeli kita dengan harga yang lunas dibayar, artinya kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan. Bicara soal kedaulatan hati, ini bukan sekadar menjadi orang baik yang melakukan hukum-hukum. Sebab banyak orang Kristen merasa sudah selamat, apalagi merasa sudah ditentukan selamat, lalu dia memberikan hidupnya untuk melakukan hukum dan menjadi manusia baik-baik. Itu bisa.

Namun, kalau kita memberikan hati kita untuk Tuhan, dalam standar yang Tuhan kehendaki, yaitu kita menyerahkan kedaulatan hati kita untuk Tuhan, maka kita bukan hanya melakukan hukum melainkan semua yang kita lakukan sesuai pikiran dan perasaan-Nya. Jadi, standar kita bukan hanya jadi baik, lalu merasa sudah selamat. Selamat berarti dikembalikan ke rancangan semula; serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa. Kedaulatan diberikan supaya hati kita sepenuhnya diberikan kepada Tuhan. Kalau kita memberikan hati kepada Tuhan, mencintai Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, akal budi, dan kekuatan, maka kita bisa berkata, “Kehendak-Mu yang jadi, Bapa, bukan kehendakku. Bukan kehendak-Mu menurut hukum, melainkan kehendak menurut pikiran dan perasaan-Mu.” 

Pada level ini barulah kita menjadi kekasih Tuhan. Sejujurnya, betapa sulitnya kehidupan semacam ini. Itulah sebabnya Roh Kudus dimeteraikan di dalam diri kita, yang menuntun kita kepada seluruh kebenaran. Hati ini kita persembahkan untuk mencintai Tuhan, supaya dengan rela kita melakukan kehendak-Nya. Kalau di Perjanjian Lama dikatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi,” itu berarti kita harus melakukan hukum. Tetapi, ketika ayat itu ada di Perjanjian Baru, ditambahkan satu kata lagi: “akal budi, jiwa, segenap hati dan kekuatan.” Maksudnya, kita harus melakukan apa yang dipikirkan Allah, apa yang diingini Dia. 

Sebab kalau hanya melakukan hukum, belumlah mencintai Tuhan dengan benar, untuk standar Perjanjian Baru. Dari cinta kepada Tuhan yang bertumbuh, sampai kita rela untuk hidup di dalam kedaulatan Allah, belajar mengerti kehendak Tuhan dan melakukannya, maka kita sampai pada satu titik: pecah hati. Pecah hati ini tidak bisa dibuat-buat. Pasti kita sudah pernah melihat orang Kristen menangis, bahkan meraung-raung dalam doa, namun hatinya tidak pecah secara proporsional. Seorang hamba Tuhan harus punya pecah hati. Harus. Titik pecah ini, harus dialami. Salah satu ciri orang yang hatinya pecah adalah dia akan penuh belas kasihan kepada orang. 

Sebab, perasaan Allah akan ditularkan di hatinya. Dia bisa menangisi orang, walaupun bukan anak, bukan saudara. Dia bisa berkorban tanpa batas. Belas kasihan. Sehingga suatu hari Tuhan berkata, “Ketika Aku lapar, engkau beri Aku makan. Ketika Aku bertelanjang, kau berikan Aku pakaian.” Tidak mungkin orang yang menjadi kekasih Tuhan dengan benar, tidak pecah hati. Tidak mungkin orang pecah hati, tidak berbelas kasihan terhadap orang lain. Tidak mungkin Tuhan mengajak orang-orang yang tidak berbelas kasihan ada di samping-Nya, di kekekalan. Sekolah teologi tidak menjamin orang pecah hati. Yang ada, sering malah jadi sombong hati. 

Kalau Dia memberikan Putra Tunggal-Nya untuk kita, mengapa kita tidak rela memberikan segenap hati kita untuk Tuhan? 

Tuhan merebut hidup kita demi keselamatan kekal kita.