Skip to content

Merasa Puas

Kalimat “sudah selesai” juga berarti bahwa setiap hari tugas yang Tuhan berikan, kita penuhi. Pasti ada tugas, ada bagian. Memang ada rancangan Allah yang harus dipenuhi dalam jangka panjang, tetapi ada rencana jangka pendek, dan sangat pendek yang harus selesai day by day. Itu adalah tindakan menghormati Tuhan. Banyak orang terbalik. Ini karena penyesatan dan penipuan dari kuasa gelap. Masih merasa menggantung (belum selesai) karena belum punya jodoh, belum punya anak, utang belum terbayar, masih bingung dengan rencana mau menikah, atau mau pindah rumah. Rasanya itu hal yang mutlak harus selesai. Kalau itu sudah selesai, barulah ia merasa puas. Sejatinya, orang seperti ini tidak menghormati Tuhan. 

Mestinya seseorang merasa puas, kalau dia sudah selesai dengan Tuhan. Yang lain belum selesai, tidak masalah. Sebab tidak ada yang mutlak, kecuali Tuhan. Tetapi yang harus selesai, urusan kita dengan Tuhan. Seperti seorang pasien, tidak akan pernah mengalami perubahan, kalau ia tidak berperan mematuhi anjuran dokter. Dikasih obat, harus diminum tiga kali sehari, dia minum tiga kali sebulan. Tidak boleh makan lemak, masih makan lemak. Disuruh olah raga 30 menit jalan kaki supaya tidak stroke, tidak dilakukannya. Maka jangan berharap bisa sembuh, membaik saja tidak. Demikian juga dengan kita. Disuruh berdoa, tidak berdoa. 

Tidak ada yang mutlak selain Tuhan. Yang lain masih mengganjal, tidak masalah. Namun bukan berarti kita boleh lari dari tanggung jawab. Biasanya malam hari sebelum tidur, kita selesaikan dengan Tuhan.  Tetapi lambat laun nanti, setiap saat kita sudah selesai. Saat kita berbuat salah, kita minta ampun. Selesai. Jadi kalau meninggal di saat itu, kita sudah siap. Kita tidak bisa bilang kepada Tuhan, “Ya, Tuhan, tolong jangan aku meninggal dunia hari ini. Besok pagi saja, atau nanti malam setelah saya berdoa, baru Tuhan cabut nyawaku,” tidak bisa. Maka kita harus selesai dengan Tuhan. 

Pengampunan yang Tuhan berikan harus membuat kita takut akan Allah jika melakukan kesalahan itu lagi. Maka, kita harus memiliki pemahaman bahwa pengampunan diberikan agar kita mengalami perubahan, bukan sekadar menghapus dosa. Kesucian itu bukan hanya berarti bersih; kesucian memuat pengertian potensi untuk bertindak selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Mestinya permintaan ampun yang kita sampaikan kepada Tuhan, dan pengampunan dosa yang Tuhan berikan, itu menjadi beban. Beban untuk tidak melakukan hal yang sama yang melukai hati-Nya. Kalau pengampunan yang kita minta kepada Tuhan tidak disertai dengan sikap meninggalkan dosa berarti kita melecehkan, merendahkan, dan tidak menghormati kesucian-Nya. 

Banyak orang Kristen yang kalau ke gereja lalu ada liturgi pengakuan dosa, hanya mengikuti pendeta yang mengatakan, “Kami telah berbuat dosa dan melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan firman-Mu. Kami mengaku.” Tanpa ada penjelasan dosa yang mana. Lalu setelah itu, “berita pengampunan dosa.” Pendeta berkata, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan dijadikan putih seperti salju. Hitam seperti kesumba, dijadikan putih seperti bulu domba.” Disambut oleh jemaat dengan, “Amin… amin…” Selesai, sudah diampuni. Padahal hari Senin, dia mabuk lagi, judi lagi, berulang lagi kejahatannya. Jadi, permintaan ampun pun tidak spesifik mempersoalkan kesalahan apa yang dilakukan. 

Konsep teologi yang salah bahwa “Yesus mengambil dosa kita dan membenarkan kita.” Kalimat itu sebenarnya tidak salah, tetapi pengertiannya yang salah. Lalu, “Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik,”sudah. Lengkaplah sudah kebodohan itu. Setiap kesalahan, sekecil apa pun, kita harus sebutkan. Memang unik juga, kita seperti kanak-kanak. Tidak bisa dijelaskan ke orang, hanya bisa dijelaskan kepada Tuhan. Sampai hal kecil (detail) kita akui, “Tuhan, mestinya aku belum perlu beli barang ini.” Atau “Mestinya aku menyediakan waktu untuk berdoa, bukan untuk itu. Tadi aku kebablasan nonton. Ampuni aku, Tuhan.”

Kalau kita mau benar-benar bersih, sampai nanti kita benar-benar baru bisa menjadikan Tuhan itu kebahagiaan. Kalau kita mempersoalkan dosa, itu berarti mempersoalkan untuk tidak mengulanginya. Jangan minta ampun atas kesalahan yang masih kita lakukan, sebab itu menghina Tuhan. Misalnya kita dendam dan benci kepada seseorang, kita berkata, “Tuhan, ampuni, aku benci dia. Ampunilah atas kebencianku ini.” Tetapi, kalau kita tidak membuang kebencian itu, kita juga tidak menghormati Tuhan. Kalau belum bisa membuang kebencian itu, kita harus jujur berkata, “Tuhan, aku belum bisa membuang kebencian ini. Aku minta ampun, Tuhan, atas perasaanku yang negatif, sikapku yang salah. Ampunilah aku. Bukan hanya perbuatanku yang salah, tapi ketidakmatanganku. Ampuni aku.” Roh Kudus nanti akan mengajar kita. Yang penting, kita bisa berkata, “sudah selesai.” 

Ada tugas-tugas yang Tuhan berikan kepada kita. Tuhan akan kirim Lazarus-Lazarus yang harus kita topang. Kalau kita bisa menopang ‘Lazarus-Lazarus kecil,’ maka Tuhan akan memercayakan kepada kita ‘Lazarus-Lazarus besar.’ Tuhan akan berkata, “Apa yang kau lakukan terhadap saudaramu yang membutuhkan pertolongan, itu perbuatanmu kepada-Ku.” Jangan anggap remeh hal ini. Yang paling prinsip; urusan kita dengan Tuhan. Yang kepada-Nya kita akan mempertanggungjawabkan hidup kita. Mestinya inilah yang menjadi fokus hidup kita. Tuhan tahu kelemahan kita, tetapi berjuanglah. Berjuanglah, Tuhan akan tuntun kita. 

Sejatinya, seseorang merasa puas, kalau dia sudah selesai dengan Tuhan.