Skip to content

Merasa Kosong

Hidup kekal adalah hidup yang berkualitas, hidup yang bermutu, maka cara pandang hidup kita harus diubah. Itu yang penting. Kalau cara pandang hidup kita diubah terus-menerus, maka kita baru bisa mengerti betapa tidak berartinya kalau seseorang tidak memiliki persekutuan dengan Allah secara benar. Betapa kosong jiwa kita jika tidak memiliki persekutuan yang benar dengan Allah. Tetapi kalau cara berpikir atau paradigma seseorang belum diubah, maka ia tidak akan pernah menemukan kekosongan di dalam jiwanya, kesepiannya terpisah dari Allah, tidak berartinya hidup di luar persekutuan dengan Allah. Ini kebalikan dengan paradigma dunia. 

Dunia telah meracuni pikiran banyak orang, dunia membangun paradigma dari sudut pandang dunia. Maka, mereka akan berprinsip: betapa tidak berartinya kalau orang tidak memiliki harta, betapa tidak bermutunya orang yang tidak terhormat di mata manusia, betapa kosongnya kalau orang tidak memiliki apa yang orang lain miliki. Dan hampir semua manusia sudah sesat di sini. Yang lebih menyedihkan, kalau seseorang mau menjadi pelayan Tuhan, yang mestinya menganjurkan bagaimana memiliki hidup yang berkualitas menurut versi Tuhan, tetapi ia masih ada di dalam area duniawi. 

Tidak dapat dipungkiri, banyak pelayan Tuhan yang sejak semula masuk ke sekolah Alkitab karena mau mengubah nasib. Setelah nasibnya berubah, ekonominya menjadi lebih baik, lalu ia berubah lagi; bagaimana punya kedudukan lebih tinggi, bagaimana lebih terhormat dari jemaat dan para pendeta lain, dan lainnya. Maka, tidak heran terjadi pertikaian di dalam gereja lokal, di sekolah-sekolah teologi, di kelas sinode, karena hidup kekal yang dipahaminya itu salah, sehingga tidak memiliki kehausan akan Allah. Sejatinya, orang harus merasa kosong, merasa sepi, jika tidak memiliki persekutuan yang benar dengan Allah. Kalau sudah memiliki persekutuan yang benar dengan Allah, maka biar rumah sepetak, itu pun sewa dari bulan ke bulan, tetapi hidupnya dirasakan berarti, karena ia memiliki Tuhan. 

Sebenarnya prinsip seperti ini sudah dimiliki pemazmur sejak periode Perjanjian Lama, dan itu sebenarnya sudah memberikan kita pelajaran yang mahal. Mazmur 73:23-24, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selamanya.” Maka, kalau orang sudah mengerti betapa tidak bernilainya hidup kalau terpisah dari hadirat Allah, kalau seseorang menyadari betapa kosongnya hidup jika tidak hidup dalam persekutuan yang benar dengan Allah, betapa menyakitkan keadaan tidak memiliki persekutuan dengan Allah, maka barulah dia memiliki kegentaran yang hebat, kegentaran yang luar biasa terhadap kekekalan, jika seseorang terpisah dari hadirat Allah.

Sebaliknya, ia akan bisa melihat betapa indahnya persekutuan dengan Allah di kekekalan nanti, yang di dunia ini diperjuangkan dengan berat. Mengapa dengan berat? Karena kita menghadapi banyak musuh, lima paling tidak. Pertama, kuasa gelap yang berusaha menarik kita masuk dalam persekutuan dengan kuasa kegelapan. Yang kedua, kita menghadapi diri kita sendiri yang sudah dicemari oleh dunia, sehingga memiliki kehausan-kehausan yang sesat. Dan manusia lama kita ini jahat, licik, kuat, menyatu dan tahu momentum mana yang bisa menjatuhkan kita. Yang ketiga, pengaruh dunia, dari segala hal yang dilihat, didengar, menarik supaya kita ini terbawa. Keempat, malapetaka, marabahaya, kecelakaan. Yang kelima, orang-orang yang bermaksud jahat kepada kita.

Jadi, bukan tanpa alasan kalau Tuhan Yesus berkata, “Banyak orang yang berusaha, tetapi tidak masuk. Maka, berjuanglah!” Artinya, dengan seluruh kekuatan, perhatian, potensi yang ada pada kita, dan ini mestinya didahulukan kalau kita menganggap itu penting. Inilah sesatnya banyak orang, mereka tidak tahu mana yang utama mana yang bukan. Maka cara pandang kita harus berubah. Dengan cara pandang yang berubah, maka selera jiwa kita juga berubah. Dengan selera jiwa kita berubah, maka fokus pencarian kita juga berubah. Kalau orang belum mengalami perubahan cara pandangnya, maka bicara tentang neraka sedahsyat-dahsyatnya pun, ia tidak takut. 

Sejatinya, orang harus merasa kosong, merasa sepi, jika tidak memiliki persekutuan yang benar dengan Allah.