Skip to content

Menyenangkan Diri Sendiri

Kita harus selalu waspada, dan sesuai firman Tuhan, selalu bersikap berjaga-jaga atau memiliki perasaan krisis. Krisis yang positif, krisis yang kudus, bahwa jika kita menghadap Tuhan, benar-benar kita telah memenuhi dua hal. Yang pertama, hidup yang berkenan kepada Tuhan. Tidak menyakiti hati Tuhan, tidak melukai hati Tuhan, tetapi menyenangkan dia, menyukakan hati Tuhan. Tuhan tidak membutuhkan hiburan apa pun dan Tuhan tidak bisa disenangkan apa pun, lebih dari kehidupan manusia yang memiliki kehendak bebas dan mengarahkan kehendak bebas tersebut untuk melakukan apa yang menyenangkan hati-Nya. Itulah sukacita Allah, Bapa kita. Itu sukacita Tuhan Yesus.

Setiap hari ada media, dan momentum untuk kita bisa menyenangkan hati Tuhan dalam segala kejadian, peristiwa, atau keadaan yang kita alami. Tergantung kita, apakah kita menjadikan media itu kairos atau momentum untuk menyenangkan diri kita, atau menyenangkan hati Tuhan. Bagi orang dewasa rohani, ketika kita bisa menyenangkan Tuhan, itu berarti menyenangkan diri sendiri. Namun, kalau orang belum dewasa rohani, menyenangkan Tuhan itu tidak menyenangkan diri. Orang yang belum dewasa rohani lebih suka untuk menyenangkan diri sendiri; tidak peduli apakah orang lain di sekitarnya merugi atau dilukai. Tidak peduli. Bahkan dia juga tidak peduli perasaan Allah.  Keadaan seperti ini kalau dibiarkan terus-menerus, akan menjadi karakter, sehingga orang-orang seperti itu sampai tua, hidupnya egosentris, antroposentris; berpusat pada diri sendiri, tidak mampu berpusat pada Allah. 

Yang keduasetiap kita harus menemukan apa yang Tuhan kehendaki untuk melakukan pekerjaan Tuhan atau memenuhi rencana Tuhan. Setiap orang pasti istimewa di mata Allah, bukan hanya karena jiwanya kekal—yang oleh karenanya Allah Bapa memberikan putra tunggal-Nya, Tuhan kita, Yesus Kristus untuk menyelamatkan kita—melainkan juga karena kita adalah makhluk yang bisa menyenangkan hati Allah. Seindah apa pun ciptaan Allah yang lain, tidak ada artinya dibanding dengan entitas yang disebut manusia yang diberi kemampuan Tuhan untuk dengan kehendak bebas memilih melakukan apa yang Tuhan kehendaki sehingga menyenangkan Dia. 

Istimewanya setiap individu terbukti dengan Allah melibatkannya di dalam pekerjaan-Nya, di dalam rencana-Nya. Ada maksud tujuan ilahi atas setiap individu atau divine purpose. Maka, setiap orang harus menemukan apa rencana Allah di dalam hidupnya. Tentu ini adalah level yang tinggi. Kalau seseorang belum bisa menggunakan atau memanfaatkan media yang Tuhan berikan setiap hari—yaitu untuk menyenangkan Dia—tidak mungkin mata hatinya tercelik untuk menemukan apa rencana Allah di dalam hidup orang itu. 

Kerusakan di dalam kehidupan pelayanan, banyak orang yang belum menggunakan kesempatan atau media dalam hidupnya setiap hari untuk menyenangkan hati Allah, tetapi sudah melayani “pekerjaan Tuhan”;melakukan kegiatan pelayanan di gereja. Tentu modalnya adalah gelar kesarjanaan, pengetahuan tentang Tuhan atau teologi, kecakapan teknik berkhotbah, teknik konseling, dan lain-lain. Bukan berarti ini salah, tetapi tanpa disadari, terjadi penyimpangan. Mestinya yang prinsip adalah setiap kita harus bisa memanfaatkan setiap momentum, setiap kairos, setiap kesempatan untuk menyenangkan hati Tuhan. 

Ketika di kantor, kita diperlakukan tidak adil atau ditindas oleh pimpinan, itu adalah media. Bagaimana reaksi kita terhadap atasan yang menindas? Bagaimana reaksi kita terhadap rekan kerja yang mau menjatuhkan? Bagaimana reaksi kita terhadap teman sekantor yang berkhianat, yang cemburu, iri terhadap posisi kita lalu ia memfitnah? Semua itu adalah media untuk pertumbuhan rohani kita. Kalau kita dewasa, kita menyenangkan Tuhan dengan hidup di dalam kesucian, dan itu membahagiakan. Namun, kalau kita tidak dewasa, kita akan memuaskan diri, tidak peduli apakah orang lain dilukai—bahkan pasangan hidup kita sendiri—dan melukai Tuhan. Banyak media yang Tuhan sediakan. Jangan kita anggap semua itu terjadi kebetulan, apalagi sebagai suatu kecelakaan.

1 Petrus 1:16 mengatakan, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Ingat perkataan Yusuf kepada nyonya Potifar, ketika menolak ajakan untuk berbuat dosa, “Bagaimana aku melakukan dosa sebesar ini?” Ini urusannya bukan dengan bapak Potifar saja, melainkan dengan Allah. Allah bisa disenangkan oleh makhluk yang disebut manusia, yang diberi kehendak bebas, dan memilih untuk hidup dalam kekudusan. Bukan hanya tidak melanggar hukum, tidak hanya hidup tanpa pelanggaran terhadap hukum, tetapi selalu presisi. 

Bagi orang dewasa rohani, ketika kita bisa menyenangkan Tuhan, itu berarti menyenangkan diri sendiri.