Kita harus serius menjaga kestabilan pengiringan kita kepada Tuhan atau menjaga kestabilan iman percaya kita kepada Elohim Yahweh, Bapa di surga. Memang waktu kita sedang berdoa dalam persekutuan doa atau pada waktu di gereja, kita memiliki fokus begitu kuat tertuju kepada Tuhan, kita yakin bahwa Tuhan itu hidup, Tuhan itu ada, Tuhan itu menyertai, kita tidak perlu khawatir dan takut menghadapi segala sesuatu. Waktu ada dalam gereja, waktu ada dalam persekutuan doa; kita bisa memiliki keyakinan yang kuat, yang kokoh; tetapi itu sering hanya sementara. Begitu keluar dari gereja, iman kembali merosot, keyakinan kita merosot. Nah, ini namanya tidak stabil.
Kita harus stabil meyakini Allah yang hidup, Allah yang setia, Allah yang menyertai kita, Allah yang tidak pernah meninggalkan kita. Jadi sebenarnya, banyak orang meninggalkan Tuhan, bukan Tuhan yang meninggalkan dia. Manusia yang meninggalkan Tuhan. Merasa dirinya tetap percaya kepada Tuhan, tapi percayanya tipis. Beda pada waktu ada di gereja. Apalagi menyanyikan lagu-lagu yang syairnya tentang kesetiaan Allah, kebesaran Allah; hati menjadi kuat. Tetapi begitu keluar dari gereja, hati menjadi lemah. Mulai bertanya-tanya, “Apakah benar Allah menyertaiku? Apakah benar Allah besertaku dan memberi pertolongan dari persoalan-persoalanku?” Kita harus stabil.
Dan untuk stabil ini kita sendiri yang harus menjagainya; menjaga stabilitas rohani kita. Jadi setelah usai dari kebaktian, kita tetap merenungkan ada Allah yang hidup, Allah yang nyata; benar, Allah yang pernah membelah Laut Kolsom, Laut Teberau bagi bangsa Israel, Allah yang menyatakan diri di dalam guruh, halilintar di Gunung Horeb, Allah yang sama yang merubuhkan tembok Yerikho dan mengeringkan Sungai Yordan, Allah yang sama yang kita sembah saat ini, Allah yang tidak berubah, dulu, sekarang sampai selama-lamanya. Jadi, kalau Allah seperti atau seakan-akan mati, tidak ada; itu karena manusianyalah yang meninggalkan Tuhan.
Seperti di negara Barat, betapa nyaman kehidupan, semua tertata apik, teratur, yang menganggur mendapat tunjangan sosial, tidak bekerja pun digaji oleh pemerintah. Orang tidak merasa memiliki masalah berat di mana perlu pertolongan dari Yang Maha Kuat, Allah Semesta Alam karena mereka cukup mampu mengatasi persoalan mereka. Sehingga pada satu titik mereka merasa tidak memerlukan Tuhan, tidak memerlukan agama. Jadi tidak heran kalau gereja-gereja menjadi sepi. Benar. Gereja berubah fungsi sampai menjadi rumah ibadah agama lain. Tapi mereka tidak merasa itu sesuatu yang perlu dianggap krisis. Mereka tidak memiliki perasaan krisis terhadap kenyataan ini.
Kalau seseorang sudah tidak bertuhan, pasti ia tidak memiliki perasaan krisis. Dia tidak peduli gereja mau bangkrut atau tidak, berubah fungsi menjadi supermarket, sex shop dan lain-lain; atau bahkan menjadi rumah ibadah agama lain. Jangan sampai hal ini terjadi dalam hidup kita. Pertanyaannya, mengapa Tuhan tidak menghajar mereka supaya mereka berbalik kepada Tuhan? Tentu Tuhan memberi peringatan-peringatan, sudah pasti. Tetapi peringatan-peringatan itu kalau tidak sungguh-sungguh diperhatikan, mereka akan terhilang. Ada tatanan, ada hukum dalam diri Allah. Allah memberikan porsi-porsi tertentu untuk memberi peringatan, untuk menyadarkan umat-Nya. Tetapi kalau umat-Nya tidak sadar, mereka akan terhilang. Dan tentu Allah tidak bisa disalahkan.
Jadi, kita yang harus aktif merenungkan firman Tuhan, siang dan malam, jika tidak, maka kita tidak akan bisa hidup dalam kebenaran dan kesucian Allah. Merenungkan kehendak Allah, memperkarakan rencana Allah untuk kita tunaikan, akan membuat kita memiliki stabilitas rohani. Memang kita tercipta hanya untuk Tuhan, harus diingat itu. Kita ada hanya untuk kesukaan Allah, untuk perkenanan hati Allah. Jadi kita yang harus stabil merenungkan kebenaran ini. Terus menghayatinya, “Aku tercipta hanya untuk Tuhan, aku hidup hanya untuk kesukaan hati-Nya, aku hidup di dalam wilayah di mana Tuhan sebagai Tuan Rumah, dan aku harus menghormati Tuan Rumah dalam seluruh perilaku dan perbuatanku.”
Setiap perbuatan, perilaku kita, setiap gerak pikiran perasaan kita, setiap kata yang kita ucapkan, setiap perbuatan kita harus selalu kita pertimbangkan, apakah ini sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah atau tidak? Memang pada mulanya ketika kita melatih hal ini, berat. Dan kadang-kadang jatuh juga, lupa lagi. Tetapi kita harus bangkit lagi, kita ulangi lagi, kita berjuang lagi, sampai akhirnya kita bisa, sampai akhirnya kita mampu.
Jadi, inilah keseriusan kita ikut Tuhan. Apakah kita menyenangkan hati Tuhan atau mendukakan-Nya, itulah persoalan kita yang sesungguhnya! Dan itu harus kita terus pergumulkan setiap saat, setiap waktu; bukan hanya pada waktu kita di gereja. Tetapi justru dalam perjalanan hidup kita, dalam perjalanan hidup kita setiap hari, hal itu yang kita renungkan.