Skip to content

Menjaga Perasaan Tuhan

Tuhan kita adalah Tuhan yang berperasaan. Dia adalah Pribadi. Disebut “pribadi,” artinya memiliki pikiran dan perasaan. Kita harus selalu mengingat bahwa kita tidak bisa hidup tanpa berinteraksi dengan Allah yang hidup. Maka, kita harus benar-benar mempertimbangkan perasaan Allah. Oleh sebab itu, jangan kita melawan Tuhan. Melawan Tuhan itu mengerikan. Hampir semua orang Kristen—walaupun tentu tidak semua—atau mungkin juga orang beragama mengatakan, “Kami tidak melawan Allah. Siapa yang berani melawan Allah?” Tetapi kenyataannya, tanpa kita sadari, banyak orang melawan Allah. Kita juga tanpa sadar melawan Allah; melawan Allah dalam atau melalui sikap hidup, dimana kita tidak mempertimbangkan perasaan-Nya. Dan ini sudah menjadi irama hidup banyak orang.

Orang yang tidak memperhatikan perasaan Allah biasanya hanyut memperhatikan perasaannya sendiri. Tidak mau disakiti, tidak mau dirugikan, tidak mau diperlakukan tidak adil, mau dianggap terhormat, berharga, dan untuk itulah seseorang menggelar dan menyelenggarakan hidupnya. Ia mau mencapai apa yang menurut pertimbangannya membahagiakan, menyenangkan, mengangkat harkat, martabat, harga diri, prestise, nilai dirinya. Orang seperti ini sebenarnya tidak ber-Tuhan, sebab yang menjadi Tuhan adalah dirinya sendiri. Segala sesuatu yang diupayakan, berpusat pada dirinya sendiri. Bagaimana ia dapat membahagiakan dirinya, memuaskan dirinya, atau diringkas dengan kalimat “memanjakan perasaan.” 

Orang seperti ini tanpa sadar melawan Tuhan. Ia tidak akan mempertimbangkan perasaan Allah. Yang dipertimbangkan itu perasaannya sendiri. Orang-orang seperti ini biasanya menjadi egois. Ia tidak peduli perasaan orang lain. Kalau perasaan Tuhan saja dia tidak pedulikan, perasaan manusia lain juga dia tidak pedulikan. Itu sudah menjadi irama semua orang. Sadar atau tidak, itu juga irama kita. Tetapi, setelah kita ditebus oleh darah Tuhan Yesus, kita bukan milik kita sendiri; kita adalah milik Tuhan, seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 6:19 dan 20. Kita milik Tuhan, kita hidup hanya untuk melayani Tuhan. 

Melayani Tuhan jangan hanya dipahami sekadar aktif dalam kegiatan gereja, menjadi aktivis, majelis, atau pendeta. Kalau pelayanan kepada Tuhan hanya ditandai hal-hal tersebut, maka mereka yang tidak mengambil bagian dalam kegiatan rohani di lingkungan gereja, tentu tidak bisa dikatakan sebagai pelayan Tuhan. Kalau tidak menjadi pelayan Tuhan, pelayan siapa? Semua kita melayani Tuhan. Pelayanan bagi Tuhan yang sejati adalah melayani perasaan-Nya. Percuma menjadi pendeta, aktivis atau majelis, kalau tidak memperhatikan dan menjaga perasaan Tuhan. 

Mestinya yang kita lakukan adalah menjaga perasaan Tuhan. Apa pun yang kita lakukan, baik yang kita pikirkan, ucapkan dan perbuat secara fisik, harus selalu dipertimbangkan apakah menyenangkan Tuhan atau tidak. Ini rahasia hidup. Kalau kita melakukan hal ini, kita akan dibela Tuhan. Kita bisa menjadi kekasih Tuhan. Jadi, kita harus serius memperhatikan hal ini. Celaka, jika kita menjadi manusia yang tidak mempertimbangkan perasaan Tuhan. 

Sayangnya, kita telah melewati tahun-tahun dimana kita tidak serius mempertimbangkan perasaan Tuhan dalam perilaku kita. Kalau mengingat hal itu, kita sedih, menyesal. Puji Tuhan kalau Tuhan tegur kita, peringatkan kita, pukul kita, mendisiplin kita, sehingga kita sadar bahwa kita sudah dibeli oleh darah Yesus, menjadi milik Allah. Kita adalah milik Tuhan. Kalau kita adalah milik Tuhan, kita harus melayani Tuhan. Melayani Tuhan artinya melayani perasaan-Nya. Jangan kita tidak berubah. Nanti kita akan terus dalam lipatan. Ibarat kertas, kita kembali kepada lipatan yang sama. Mendengar khotbah, terbuka sedikit. Selesai mendengar khotbah, tertutup lagi ke lipatan yang sama. Itu mengerikan. Orang-orang yang tiap hari mendengar khotbah, tetapi tidak berubah lipatannya, itu karena mereka tidak mau sungguh-sungguh memeriksa diri dan mengubah diri. 

Hati-hati dengan apa yang kita pikirkan. Pada waktu mau tidur atau bangun tidur, saat duduk di mobil, pikiran kita bisa menjelajah ke mana pun. Waktu di restoran bertemu dengan orang-orang, kita berdialog. Perkataan kita bisa menjelajah ke mana pun. Hati-hati, reaksi-reaksi kita terhadap setiap kejadian akan menunjukkan seberapa kita sungguh-sungguh menjaga perasaan Tuhan. 

Untuk menjaga perasaan Tuhan, kita harus ingat bahwa Allah itu Mahahadir. Kalau kita berkata “Allah Maha Hadir,” konsekuensinya adalah ada “CCTV” yang tidak pernah rusak (CCTV Tuhan). Kalau ada kasus-kasus kriminal di TKP (Tempat Kejadian Perkara), selalu dicari CCTV. Jejak perbuatan orang kelihatan di situ. Jejak digital itu tidak bisa hilang. Tuhan punya CCTV, dan CCTV-Nya sempurna. Dia bisa tembus pandang, dan tidak ada yang tertutup. Kita harus selalu ingat itu. Tuhan Maha Hadir; omnipresent. Ada CCTV Tuhan di mana-mana. Tidak ada tempat yang tersembunyi dari pemandangan mata Tuhan. Jadi, kita harus selalu ingat ada mata Tuhan yang melihat. 

Untuk menjaga perasaan Tuhan, kita harus ingat bahwa Allah itu Mahahadir.