Firman Tuhan mengatakan dalam Amsal 4:23, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” Apakah kita selama ini benar-benar memperhatikan keadaan hati kita dengan benar dalam pimpinan dan tuntunan Roh Kudus? Kalau dari hati terpancar kehidupan, berarti seluruh perilaku hidup kita sangat ditentukan oleh hati kita. Sejujurnya, tidak banyak orang yang sungguh-sungguh menjaga hatinya dengan rajin. Kita menganggap bahwa kita menjalani hidup dengan baik, tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh memperhadapkan hati kita di hadapan Tuhan.
Wahyu 2:23 firman Tuhan mengatakan, “dan anak-anaknya akan Kumatikan dan semua jemaat akan mengetahui, bahwa Akulah yang menguji batin dan hati orang, dan bahwa Aku akan membalaskan kepada kamu setiap orang menurut perbuatannya.” Ada hubungan (relasi) antara hati dan perbuatan. Apa yang kita baca dalam Kitab Amsal, tepat seperti yang Tuhan Yesus firmankan, bahwa Ia menguji batin dan hati orang. Tuhan akan memperhadapkan setiap perbuatan di hadapan-Nya, yang dikalimatkan “membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya.”
Dari hati, terpancar kehidupan. Karenanya, hati harus dijaga. Memang di sini dibutuhkan kejujuran, dan mintalah kepekaan dari Roh Kudus supaya kita bisa mengenali diri kita dengan lebih lengkap, benar, utuh, dan sempurna. Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Ironis, kita sering tidak sadar bahwa kita itu munafik. Sering kali pikiran kita masih menyimpan hal-hal yang tidak patut, dan kita tidak sungguh-sungguh memperkarakan hal ini dengan Tuhan karena kita merasa lolos dari pengamatan mata Tuhan. Ada kebencian-kebencian, kemarahan-kemarahan terselubung, kesenangan-kesenangan dunia yang masih menempati hati kita.
Kalau Tuhan menerangi hati kita—karena memang kita minta Tuhan meneranginya—maka kita dapat melihat keadaan kita yang sebenarnya. Melihat, bukan berarti seketika bisa baik. Sebab untuk mencabut hal itu, perlu perjalanan waktu, perjalanan hidup, dan proses. Kalau seseorang tidak mengenali keadaan dirinya, tidak mungkin dia mengalami pertumbuhan kedewasaan rohani atau proses pengudusan. Kecuali kita duduk diam di kaki Tuhan, minta penerangan Roh Kudus supaya kita tahu bagaimana keadaan hati kita.
Hati itu licik. Semakin tua, seseorang akan makin sulit dibentuk; makin tidak bisa mengenali diri dengan utuh, lengkap, atau sempurna, kecuali betul-betul nekat. Kalau kita serius mau digarap oleh Tuhan, Ia akan memberikan rangsang atau impuls. Dan ketika muncul keinginan, gairah, perasaan tertentu, kita harus mengoreksi apakah ini sesuai dengan pikiran, perasaan Tuhan. Jika tidak, kita harus minta ampun dan menanggulanginya. Maka, “Allah turut bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan,” itu cara Allah mengubah kita bukan dengan keajaiban atau mukjizat, melainkan lewat proses natural yang harus kita alami.
Kita bersyukur Tuhan mengizinkan kejadian-kejadian tertentu terjadi di dalam hidup kita. Tidak sedikit kejadian tersebut menyakitkan dan sangat melukai kita. Tetapi, tidak ada cara lain untuk mengubah kita, kecuali melalui kejadian-kejadian tersebut. Tuhan memerlukan sarana untuk mengubah kita. Sarana itu adalah peristiwa-peristiwa tersebut. Tuhan tidak bisa mengubah kita tanpa sarana, dan perubahan itu maksudnya agar kita serupa dengan Yesus. Serupa, tentu secara batiniah; wajah batiniah atau hati kita. Tuhan yang melihat hati. Jadi, Tuhan tahu peristiwa apa yang harus diadakan atau terjadi, untuk mengangkat kebusukan-kebukan hati kita.
Ketika Tuhan memberikan rangsang atau impuls, kita mestinya sudah waspada. Kita harus bisa menyangkal diri. Menyangkal diri bukan hanya tindakan yang menolak perbuatan melanggar hukum. Menyangkal diri itu sikap yang menolak semua unsur manusiawi, supaya diganti rohani atau surgawi atau ilahi. Jadi sebelum membuahkan satu perbuatan, harus sudah kita matikan. Hati dijaga, maka perbuatan terjaga. Kalau hati tidak terjaga, akan membuahkan perbuatan yang salah. Kita harus kenal dulu keadaan kita. Kalau kita sudah mengenal keadaan kita yang sesungguhnya, baru kita tahu apa yang Tuhan mau kerjakan dan garap di dalam hidup kita.
Tuhan melihat dari hati. Betapa bahagia hati Tuhan kalau Ia menemukan hati-hati yang cocok dengan warna-Nya. Hati-hati yang sewarna dengan Bapa pasti dimiliki oleh orang yang melakukan segala sesuatu sesuai dengan pikiran, perasaan Allah. Kalau orang berbuat baik, belum tentu menyenangkan Tuhan, karena kita tidak tahu motivasi yang mendorong dia berbuat itu. Tetapi kalau hati digarap, maka seluruh perilakunya akan pasti sesuai dengan keinginan Tuhan, menjadi seperti simfoni yang indah. Hati dulu “beres,” baru buah-buah hidupnya dinikmati oleh Tuhan.
Kenapa kita menjaga hati? Supaya tidak membuahkan perbuatan dosa. Perbuatan dosa, pasti “makan korban.” Tidak ada dosa yang tidak makan korban, kecuali masih di dalam hati. Kalau sudah menjadi perbuatan, pasti makan korban. Maka, ketika masih di hati, harus dimatikan. Oleh sebab itu, semua naluriah kemanusiaan kita harus diganti naluriah ilahi. Bagaimana itu bisa terjadi? Kalau kita terus menggarap hati kita, supaya memiliki pikiran, perasaan Kristus. Kalau manusia segambar dan serupa dengan Allah, maka perbuatannya tidak ada yang menyimpang dari pikiran, perasaan Allah.
Kenapa kita menjaga hati? Supaya tidak membuahkan perbuatan dosa.