Skip to content

Menjadi Manusia yang Indah

Di dalam Mazmur 73, ditunjukkan kepada kita dua jenis manusia. Pertama, manusia fasik; dan yang kedua, manusia yang tulus atau manusia yang benar yang ditandai dengan penderitaan. Manusia fasik artinya orang yang tidak takut Tuhan dan tidak peduli hukum-Nya. Pasti manusia seperti ini juga manusia yang tidak menghargai nilai-nilai rohani, nilai-nilai kekekalan. Hidupnya ditandai dengan kesenangan dalam kelimpahan harta, dan banyak orang yang mengikut dia atau menjadi kerabatnya; sahabat dan handai taulannya (Mzm. 73:4-12). Ini bukan berarti orang yang sehat, gemuk, dan kaya atau yang banyak harta (harta dunia) berarti fasik. Tetapi di sini hendak dikemukakan bahwa keadaan orang fasik yang makmur ini, bukanlah ukuran berkat Tuhan. Biasanya, gereja-gereja yang mengajarkan ajaran seperti ini selalu berbicara mengenai berkat-berkat jasmani sebagai kelimpahan yang diharapkan dari Tuhan. Kelimpahan materi bukanlah ukuran berkat Allah. Justru bagi umat Perjanjian Baru, berkat Allah adalah kuasa hidup yang mempersiapkan kita ada di dalam Kerajaan-Nya. Sebab, Allah yang benar tidak akan memberikan berkat materi tanpa usaha atau kerja keras.

Bagaimanapun, kita tidak dapat menghindari kesulitan hidup yang juga dialami oleh manusia pada umumnya. Jangan berpikir karena kita Kristen, kita akan terhindar dari penderitaan yang dialami oleh manusia pada umumnya. Malah dengan berpikir secara realistis dari aspek ini, kita bisa diarahkan oleh Tuhan untuk menujukan fokus kita kepada kehidupan yang akan datang. Aspek yang lain, kita harus berpikir serta secara realistis juga. Yang ini istimewa, sebagai orang percaya, bahwa ada kehadiran Allah dalam kehidupan ini melalui segala peristiwa yang kita alami, yang membawa kita kepada Kerajaan-Nya, dengan menggarap kita agar menjadi orang percaya atau anak-anak Allah yang layak masuk Kerajaan-Nya. Oleh sebab itu, kita tidak perlu mempermasalahkan, apakah yang kita alami hari ini menyenangkan atau tidak menyenangkan. Tapi yang harus kita persoalkan adalah apakah yang kita alami membuat kita bertumbuh menjadi manusia yang indah di mata Allah, atau tidak?

Menurut penilaian umum, orang fasik yang diceritakan di Mazmur 73 adalah ciri dari orang yang diberkati Tuhan. Sehat, tidak pernah sakit, senang selamanya, gemuk. Sebaliknya, orang yang hidupnya menderita seperti orang tulus ini, dipandang tidak hidup dalam berkat Tuhan. Tetapi ternyata, kalau kita meneliti pasal ini, justru orang yang penuh penderitaan tersebut adalah orang yang diberkati Tuhan. Dari kebenaran ini, kita belajar untuk mengisi hari hidup kita dengan benar. Sulit menerima fakta ini, karena kita mungkin sudah terlanjur rusak. Banyak orang Kristen yang terlanjur rusak, dan gereja yang mengalami kemerosotan tanpa sadar selama ratusan bahkan ribuan tahun. Pemazmur juga sempat bingung, “Nyaris aku terpeleset, sebab aku cemburu kepada pembual-pembual kalau aku melihat kemujuran orang fasik,” lalu di ayat 13, dia mengatakan, “sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih dan membasuh tanganku tanda tak bersalah.” Mari kita belajar memercayai Tuhan walau kita ada dalam situasi yang mengecewakan.

Kita dapat membandingkan perbedaan kedua orang tersebut: orang fasik dan orang tulus. Yang pertama, orang fasik tidak berurusan dengan Tuhan, tapi berurusan dengan dunia, yaitu dengan kesenangan hidup dan orang-orang di sekitarnya. Tapi orang tulus berurusan dengan Tuhan. Kita pun seharusnya bisa. Ini yang kita harus persoalkan. Apa artinya kita punya gelar, kekayaan, kalau kita tidak belajar mengenal Allah? Terimalah realitas, kita hidup di dunia yang sudah rusak. Kita ikut mengalami kesulitan. Kalau dunia kita mengalami resesi ekonomi, kita pun ikut terbawa. Kalaupun kita tidak miskin seperti orang lain, kita akan ikut terbawa dampak kemiskinan lingkungan. Tapi masalahnya bukan soal senang atau tidak senang, melainkan apakah keadaan ini mendatangkan penggarapan Allah bagi kita atau tidak? Lalu, terima realitas keadilan Allah yang melalui semua peristiwa itu, kita disempurnakan menjadi indah. Maka, kalau kita mau ada di kawasan Tuhan, kita harus menerima realitas; realistis dalam menghadapi hidup.

Dan ada satu realitas lain, yaitu Allah hadir, dan melalui semua peristiwa, Allah mau menyempurnakan kita. Namun, bagi orang yang gagal menghayati kekekalan, sulit untuk bisa menerima bahwa berkat yang sesungguhnya adalah kehidupan yang sempurna seperti Bapa dan serupa dengan Yesus, sehingga layak menjadi anak-anak Allah di Kerajaan-Nya. Sebaliknya, orang yang sudah menghayati kekekalan—walaupun belum sempurna—akan benar-benar merdeka. Mereka tidak akan takut terhadap apa pun, termasuk kematian. Sudahkah kita hidup dalam realitas? Jika belum, mari kita ubah pola pikir kita dengan kebenaran, sebelum kesempatan kita berlalu.

Kita tidak perlu mempermasalahkan apakah yang kita alami hari ini  menyenangkan atau tidak, tetapi yang harus kita persoalkan adalah apakah yang kita alami membuat kita bertumbuh menjadi manusia yang indah di mata Allah, atau tidak?