Skip to content

Menjadi Manusia Baru

Orang yang akan masuk rumah Bapa, menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah dan dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus adalah orang yang sungguh-sungguh telah menjadi manusia baru. Tidak ada manusia yang belum menjadi manusia baru yang dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Bapa pasti menolong melalui Roh Kudus, agar membuka pikiran dan pengertian kita, apakah kita benar-benar sudah menjadi manusia baru atau belum. Banyak orang Kristen mengaku dan merasa sudah menjadi manusia baru. Naifnya, ukuran standar manusia baru yang dikenakan bukanlah standar firman Perjanjian Baru. 

Dulu kita beranggapan, kalau tadinya beragama A lalu menjadi Kristen dan melakukan kegiatan seperti orang Kristen pada umumnya, maka ia sudah menjadi manusia baru. Sebelumnya hidup dalam pelanggaran moral, lalu tidak lagi hidup dalam pelanggaran moral, maka sudah menjadi manusia baru. Tadinya tidak tekun ke gereja atau tidak sungguh-sungguh, kemudian rajin ke gereja, hadir dalam kebaktian umum, kebaktian-kebaktian pertengahan minggu dan seminar bahkan menjadi aktivis gereja, maka semakin mantap merasa diri sebagai manusia baru. 

Apakah kita sudah menjadi manusia baru yang benar-benar baru sesuai standar Allah? Jangan sampai ketika meninggal dunia, di hadapan terang kesucian Allah, ternyata kita belum menjadi manusia baru. Kita tidak perlu malu, karena memang kita ada di dalam proses. Analoginya dengan bangsa Israel. Kalau perjalanan bangsa Israel menempuh jarak dari Mesir ke Kanaan, tetapi kita menempuh perubahan. Kita tidak boleh merasa sudah sempurna atau sudah mencapai puncak. Paulus sendiri menyatakan bahwa dirinya belum sempurna, lalu bagaimana kita berani berkata kita sudah sempurna?

Standar manusia baru adalah Yesus. Kurang dari itu berarti belum. Siapa kita yang berani berkata sudah sempurna? Paulus saja berkata, “Aku sendiri tidak menganggap bahwa aku telah menangkapnya. Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya, dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, dimana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya.” Tetapi di dalam tulisan Paulus yang lain sebelum dia mengakhiri hidupnya, Paulus mengatakan, “Aku telah mencapai garis akhir. Aku telah siap menumpahkan darah demi korban ibadah.” Paulus bisa mencapainya, karenanya dia bisa berkata, “Ikutilah teladanku.” 

Puji Tuhan, ada berita baik di kalimat berikutnya, “… dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” Jadi, ada orang-orang yang pasti dimampukan untuk hidup seperti Paulus. Paulus yang mencapai kehidupan mengenal Tuhan, kuasa kebangkitan Tuhan Yesus, dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana ia menjadi serupa dengan Yesus dalam kematian-Nya. Memang ada banyak masalah yang kita hadapi. Banyak kebutuhan yang mendesak. Tetapi, ini adalah kebutuhan yang paling mendesak. Ini persoalan yang kita harus pandang paling berat, paling mengerikan. Jangan sampai kita meninggal dunia, ketika pengetahuan menjadi lengkap di hadapan terang kesucian Allah, ternyata kita belum menjadi manusia baru. 

Kita semua masih dalam proses. Tetapi apakah proses yang kita jalani ini berjalan normal atau tidak normal? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan jelas. Karena kita perlu merenung, seberapa normal perjalanan perubahan kita? Apakah kecepatan kita telah sesuai dengan yang Allah kehendaki? Hal ini jadi serius bagi yang memandang serius. Setan membuat banyak masalah yang membuat kita tidak memandang hal yang benar-benar serius ini menjadi tidak serius; dianggap remeh. Banyak masalah yang selalu kita pandang penting dan mendesak. Tetapi menjadi manusia baru di dalam Tuhan, tidak dipandang penting dan mendesak. Sejatinya, yang satu ini harus kita pandang penting dan mendesak. 

Maka, kita harus bekerja lebih giat, lebih keras untuk mencapai standar hidup baru di dalam Tuhan. Sejujurnya, hampir-hampir kita tidak menemukan orang yang memiliki hidup baru. Penyesatan yang terjadi hari ini, kalau orang memiliki pengetahuan teologi, dia merasa sudah mengenal Tuhan. Bahaya sekali! Hidup baru saja belum atau mungkin masih jauh. Tuhan pasti membawa kita ke lorong-lorong atau perjalanan hidup yang juga dialami oleh Yesus. Ditampar pipi kanan, apakah bisa memberi pipi kiri? Di situlah kita belajar untuk mengubah diri. Kalau Tuhan menghendaki kita menyangkal diri, itu bukan sekadar menolak perbuatan yang melanggar hukum, tetapi menolak dan meninggalkan apa pun yang bernaluri manusiawi, supaya kita bernaluri ilahi. 

Manusia baru adalah manusia yang mengenakan pikiran, perasaan Kristus. Segala sesuatu yang kita lakukan haruslah ekspresi dari pikiran dan perasaan Tuhan. Hidup kita menjadi bejana Tuhan, di mana pikiran dan perasaan Allah diekspresikan. Siapa pun kita—pria atau wanita, kaya atau miskin, berpendidikan tinggi atau tidak—kalau sampai kita sukses lahir baru, maka kita akan dimuliakan bersama Yesus. 

Tidak ada manusia yang belum menjadi manusia baru yang dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus.