Kita harus terus bertumbuh dalam pengertian akan kebenaran, dan bertumbuh dalam pengalaman berjalan dengan Tuhan, sampai akhirnya kita mengerti dan menghayati bahwa satu-satunya kebutuhan kita adalah Tuhan. Makna yang terkandung di balik kalimat ini—bahwa satu-satunya kebutuhan kita adalah Tuhan—jauh dari dugaan banyak orang, termasuk sebagian kita. Ternyata, tidak mudah untuk memercayai bahwa Allah itu adalah Allah yang hidup. Pada waktu seseorang ada di dalam keadaan krisis—di ujung maut—pada waktu itulah ia bisa menghayati dengan benar, dengan utuh, bahwa kebutuhan kita itu hanya Tuhan saja. Tetapi seharusnya kita jangan menunggu ada dalam situasi krisis dan kritis, baru bisa menghayatinya. Itu tidak proporsional dan tidak natural. Mestinya, justru ketika kita tidak dalam keadaan bahaya, tidak dalam keadaan terancam, tidak dalam keadaan kritis dan krisis, kita sudah mengatakan, “Hanya Engkau yang kuperlukan, Tuhan.”
Kegagalan hidup—studi, rumah tangga, karier, sakit, dalam kemiskinan—seakan-akan membuat langit hidup kita rubuh, dan biasanya kita lebih bisa lebih menghayati bahwa Allah itu hidup, hanya Dialah kebutuhan kita. Sejatinya, kita harus berani berkomitmen bahwa yang kita butuhkan itu hanya Tuhan. Di sini, kita baru bisa memuja Tuhan dengan benar. Jikalau ini ditujukan kepada Tuhan, kita beruntung sekali karena kita akan menjadi kekasih Tuhan. Bapa orang percaya, Abraham, ketika diperintahkan menyembelih anak satu-satunya kesayangannya, dia melakukannya demi Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada yang lebih berharga dalam hidup Abraham selain Tuhan. Ketaatan Tuhan Yesus sampai mati di kayu salib juga menunjukkan tidak ada yang lebih berharga dari diri-Nya selain Allah Bapa. Ada banyak tokoh iman dalam Alkitab yang menjadi kekasih Tuhan; Ayub, Nuh, Yusuf, Daniel, Daud. Orang-orang percaya di abad mula-mula juga kekasih Tuhan yang rela menderita demi imannya, sehingga Tuhan Yesus berkata kepada Saulus, “Saulus, Saulus mengapa engkau aniaya Aku?”
Kalau saat ini kita mau mengambil keputusan untuk berkomitmen menjadikan Tuhan itu satu-satunya yang kita butuhkan, kita akan diajar Tuhan banyak hal, dan kita akan benar-benar diistimewakan Tuhan. Tetapi, di sisi lain, Iblis akan menyerang habis-habisan. Iblis tidak takut orang menjadi Kristen, menjadi aktivis, menjadi pendeta, menjadi ketua sinode, ketua STT, tapi Iblis tidak mau kita menjadi kekasih Tuhan. Maka, dia akan berusaha menggunakan segala cara untuk merusak pikiran, merusak hati, merusak kehidupan kita dengan segala cara agar kita jangan menjadi kekasih Tuhan. Tetapi kalau kita berkomitmen lebih teguh lagi, pencobaan serangan Iblis tidak akan membuat kita jatuh, sebaiknya, membuat kita naik. Hal ini tergantung niat, tekad kita. Dan kalau kita menjadi kekasih Tuhan, Tuhan pasti pedulikan semua kebutuhan kita. Tuhan juga pasti akan melindungi kita dari segala ancaman dalam hidup kita. Pertama, dari kuasa gelap. Kedua, dari diri kita sendiri/kedagingan kita yang bisa membinasakan kita. Ketiga, dari pengaruh dunia kita yang jahat. Keempat, dari bencana dan malapetaka. Dan terakhir, dari orang-orang yang bermaksud jahat terhadap kita. Pasti Tuhan melindungi kalau kita menjadi kekasih Tuhan. Dan luar biasa, orang-orang yang kita kasihi, juga dikasihi Tuhan.
Jadi, kita bisa melindungi orang-orang yang kita kasihi dengan cara kita menjadi kekasih Tuhan; pasangan hidup, anak, menantu, cucu, teman, sahabat, dan lainnya. Mari kita berlomba untuk ini. Seperti ayat firman Tuhan di dalam Mazmur 42:5, “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.” Kiranya seperti pemazmur, mari kita mendahului mereka mencari Tuhan dan menjadi kekasih Tuhan. Untuk itu, bulatkan tekad hati kita untuk menjadi kekasih Tuhan. Harga untuk menjadi kekasih Tuhan adalah kita tidak boleh memiliki kekasih lain. Kalau dalam kehidupan bangsa Israel di Perjanjian Lama, firman mengatakan, “jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku,” itu cukup dengan mereka tidak menyembah dewa-dewa, tidak menyembah berhala-berhala yang disembah oleh orang-orang Kanaan. Tetapi bagi kita, orang percaya, tidak cukup kalau hanya tidak ke dukun, tidak punya jimat, tidak menyembah dewa, ilah-ilah lain. Belum cukup.
Kita harus menanggalkan semua keterikatan kita; kepada apa pun dan siapa pun. Ini jadi tidak wajar, jadi aneh, dianggap berlebihan. Tetapi, memang tidak bisa tidak, harus seperti ini. Kita perjuangkan ini. Kalau saat ini kita masih memiliki ketertarikan-ketertarikan kepada sesuatu dan ikatan-ikatan kepada sesuatu, tetapi sekarang kita memilih menjadikan Tuhan, Allah Bapa kita, sebagai kekasih kita satu-satunya. Dan kita memohon belas kasihan Tuhan, mohon anugerah Tuhan untuk bisa menjadi kekasih Tuhan. Jangan minta yang lain dulu. Kita gumuli hal ini. Kalau kita percaya Allah itu nyata, hidup, dan ada, maka Ia memiliki perasaan dan dapat merasakan apakah kita serius mengasihi-Nya atau tidak. Pacu diri kita masing-masing untuk menjadi kekasih Tuhan. Pacu dan arahkan hati kita untuk menjadi kekasih Tuhan. Pasti Tuhan akan mengabulkan permintaan kita ini untuk menjadi kekasih Tuhan. Mengapa? Karena memang Allah menghendaki demikian.
Tidak ada hal yang lebih mulia, lebih agung, lebih terhormat daripada menjadi kekasih Tuhan. Jadi, kalau kita masih memiliki jantung yang berdetak, nadi yang berdenyut, kita memiliki nafas kehidupan, berarti Tuhan masih memberikan kita waktu, Tuhan membuka tangan-Nya untuk menyambut kita sebagai kekasih-Nya. Itu adalah kehormatan. Dan kalau kita menyambut tangan Tuhan, kita akan memegang tangan Tuhan selamanya. Sambil kita berjanji untuk hidup tidak bercacat. Tidak bercela, tidak mengingini apa pun, dan siapa pun. Jangan terlambat!
Harga untuk menjadi kekasih Tuhan adalah kita tidak boleh memiliki kekasih lain.