Skip to content

Menjadi Berkat

Seperti yang sering kita dengar dan setujui, kekristenan adalah jalan hidup. Agama lain juga bisa mengatakan bahwa agamanya adalah jalan hidup, tapi jalan hidupnya itu dipandu dan dituntun oleh hukum. Sedangkan dalam kekristenan, jalan hidup yang kita teladani adalah hidup-Nya Yesus. Yang karenanya, orang Kristen yang sejati adalah orang Kristen yang memiliki keberadaan bahwa hidupnya bukan dia lagi, melainkan Kristus yang hidup di dalam dirinya. Artinya, gairah yang ada pada kita adalah gairah seperti yang ada pada Yesus. Spiritnya, semangatnya, cara berpikirnya adalah seperti yang dikenakan oleh Yesus. Dan salah satu ciri dari kehidupan Yesus adalah tinggal di dalam Bapa, dan Bapa tinggal di dalam Dia. Seperti yang dikatakan di dalam Injil Yohanes 17:20-21, Dia selalu bersama-sama dengan Bapa. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan Yesus yang berasal dari diri-Nya sendiri. Ia melihat apa yang Bapa lakukan. Kalimat ini sebenarnya berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan Yesus, selalu di dalam petunjuk dan komando Bapa. 

Ini juga berarti di dalam kehidupan Yesus ada persekutuan dengan Bapa, ada kebersamaan dengan Bapa yang tiada henti; terus-menerus dan berkesinambungan. Inilah dinamika hidup Anak Allah standar; model dari dinamika hidup anak manusia yang dikehendaki oleh Allah. Sejak Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, tidak ada manusia yang memiliki dinamika hidup seperti itu. Hanya dicapai oleh Yesus, atau tepatnya itu dimulai dari Anak Manusia yang bernama Yesus. Jadi, tidak ada manusia yang pernah memiliki dinamika hidup standar sebagai anak Allah. Adam dan Hawa juga gagal, mereka tidak menuruti apa yang Allah kehendaki. Tidak hidup menurut petunjuk dan komando Elohim Yahweh. Yesus hidup di dalam petunjuk dan komando Bapa. Itulah sebabnya Yesus bisa berkata, “makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” 

Kita semua tahu bahwa manusia hidup untuk mencari rezeki. Dari rezeki itulah manusia memiliki kehidupan dan kelengkapan hidup; makan minum, kesenangan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. “Rezeki-Ku,” kata Tuhan Yesus, “melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Puji Tuhan, karena yang bisa melakukan kehidupan semacam itu, yang bisa memiliki dinamika hidup seperti itu bukan hanya Yesus, melainkan juga orang-orang percaya diberi kesempatan untuk juga bisa memiliki dinamika hidup seperti yang dimiliki-Nya. Karenanya, firman Tuhan mengatakan di dalam Roma 8:29 bahwa Yesus menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Artinya, Dia yang menjadi pionir, pemula, lalu ada yang bisa mengikuti-Nya. 

Di dalam Ibrani 5:7-9, firman Tuhan mengatakan bahwa Yesus belajar taat walaupun Dia Anak. Tidak otomatis, sampai Dia bisa memiliki dinamika hidup standar Kerajaan Surga. Dia harus belajar. Dalam Injil Lukas dikatakan bahwa “Dia bertambah dalam hikmat dan besar-Nya;” Dia mengalami proses juga. Makanya dalam Ibrani 5:7-9 dikatakan: “Ia belajar.” Dan setelah mencapai kesempurnaan, Ia menjadi pokok keselamatan atau penggubah; composer, menjadi (Yun.) Aitios. Ini kabar yang baik. Dan di sinilah sebenarnya inti Injil, bahwa manusia diberi kesempatan. Tentu disertai dengan kelengkapan kuasa untuk bisa memiliki dinamika hidup standar seperti yang Allah kehendaki. Tetapi ini tidak bisa terjadi atau berlangsung secara otomatis. Ironisnya, banyak orang Kristen merasa hal itu bisa terjadi atau berlangsung secara otomatis. Padahal, ini harus melalui proses. 

Pada dasarnya, kekristenan adalah jalan untuk dipertemukannya kembali Allah dengan manusia; Bapa dengan anak. Jadi kalau dikatakan “diperdamaikan,” itu bukan hanya sebuah format kalimat verbal. “Diperdamaikan” artinya adanya perjumpaan yang di dalamnya ada interaksi. Ibarat sepasang suami istri yang ribut kemudian berpisah, lalu rujuk kembali atau diperdamaikan, itu berarti harus ada hubungan interaksi lagi. Tidak cukup hanya tinggal satu rumah. Kalau mereka tidak saling berinteraksi, itu berarti belum diperdamaikan; hanya format verbal saja. “Diperdamaikan” artinya kembali berinteraksi dalam interaksi yang baik. Demikian pula kalau kita diperdamaikan dengan Allah, itu bukan hanya format kalimat verbal. Kekristenan sudah biasa menerima format-format itu tanpa memiliki pengalaman riil bagaimana hidup dalam interaksi dengan Allah; tidak pernah dipersoalkan bagaimana dinamikanya. 

Jadi kalau bicara soal dinamika, itu hanya dinamika dalam ilmu teologi; dalam khasanah pikiran saja. Hanya dinalar, tapi tidak dialami. Dan setan bisa meracuni pikiran orang Kristen bahwa subjektivitas itu selalu dipandang negatif. Padahal, setiap orang itu memiliki subjektivitas yang unik dengan Allah. Pasti ada hubungan pribadi yang tidak sama dengan orang lain. Bapa itu mutlak kebenaran-Nya, tetapi manusia ini memiliki berbagai varian. Macam-macam karakteristiknya, dan pasti punya subjektivitas-subjektivitas tersendiri. Jadi, subjektivitas itu tidak boleh dianggap selalu negatif dan ancaman bagi kebenaran. Memang, yang kemudian menjadi rusak adalah ketika pengalaman individu dipaksakan dialami juga oleh orang lain. Itu tidak boleh. Tapi pengalaman seseorang yang benar-benar berjalan dengan Tuhan, pasti memuat kebenaran atau hikmah atau pelajaran rohani yang bisa memberkati orang lain. 

Pengalaman seseorang yang benar-benar berjalan dengan Tuhan, pasti memuat kebenaran atau hikmah atau pelajaran rohani yang bisa memberkati orang lain.