Skip to content

Menikmati Kematian Diri

 

Kita nanti akan mengerti betapa asyiknya menikmati kematian diri. Karena ketika kita menikmati kematian diri, kita menikmati Tuhan. Firman Tuhan mengatakan, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Orang yang masih mengabdi kepada tuan lain, dia masih hidup; dia belum mati. Kalau dia mati, dia pasti hanya punya Tuhan. Jadi “mati” di sini maksudnya sama dengan menyangkal diri. Maka, yang pertama, jangan ingini apa pun. Kalau kita mengingini sesuatu, sesuatu itu harus berguna untuk pekerjaan Tuhan, bukan untuk menyenangkan diri kita. 

Yang kedua, jangan berbuat dosa. Ini terkait dengan yang pertama, karena kita menikmati dosa, menikmati kedagingan, itu membuat kita tidak bisa berjalan seiring dengan Tuhan. Tuhan itu punya tatanan dan sempurna. Dalam 1 Petrus 1:16 tertulis, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Setan tahu bahwa kalau kita hidup kudus itu membahayakan sekali baginya. Tuhan tidak ingin kehilangan satu jiwa pun. Setan rupanya juga tidak ingin kehilangan satu jiwa. Dia mau setiap orang itu masuk dalam persekutuan dengan kerajaan gelap. Maka mari kita melakukan apa yang Tuhan perintahkan: mati. Kalau tidak mati, kita tidak akan bisa dipenuhi Roh Kudus. Bejana hati kita masih ada isi, tidak bisa penuh. 

Kita sudah terlalu lama dininabobokan dengan agama Kristen yang tidak sesuai dengan kekristenan yang sejati, yang mestinya berbasis pada pribadi Yesus yang melepaskan semuanya demi menunaikan tugas Bapa. Ini benar-benar konyol, tetapi inilah yang wajar dan benar. Kita menjadi orang-orang yang diberkati Tuhan, menjadi kekasih Tuhan, dimiliki Tuhan, dan memiliki Tuhan. Kalau kita tidak benar-benar mati, berarti kita masih memiliki hak, maka kita tidak bisa dimiliki Tuhan dan memiliki Tuhan. Seluruh hidup kita adalah milik Tuhan. Tidak ada yang berhak kita miliki. Tidak salah menikah, punya anak, membangun rumah tangga, tapi dasarnya apa? Kalau dasarnya karena orang lain juga menikah dan punya anak, itu meleset.

Kadang-kadang kita punya perasaan masih tersinggung atau apa, itu menunjukkan yang kita belum 100% dimiliki Tuhan. Dan sejujurnya, kita masih ada begitu, kadang-kadang. Kalau dikhianati, direndahkan, masih ada luka. Berarti kita masih memiliki diri sendiri, dan itu salah. Tuhan melatih kita untuk memiliki perasaan Tuhan. Kita harus rela kehilangan nyawa, baru memperoleh nyawa, demikian firman Tuhan. Menikmati kematian diri berarti menikmati Tuhan, karena ketika kita mati bagi diri kita sendiri, Yesus hidup di dalam diri kita. Yesus tidak bisa hidup dalam diri kita kalau kita masih hidup. Tuhan tahu kita butuh makan, kendaraan, dan lain-lain. Tuhan tahu, selama kita mengingini hal itu untuk pekerjaan-Nya, Tuhan pasti cukupi, Tuhan pasti memberi. Kalau dikatakan kita tidak boleh punya kesenangan, bukan berarti lalu kita tidak senang hidup. Kita mau sampai ke titik zenit; titik puncak kekristenan.

Menikmati kematian kita itu indah sekali. Menikmati Tuhan itu indah. Lalu mengapa hadirat Tuhan tidak terasa di dalam gereja? Karena kita tidak berani mati, pemimpinnya tidak berani mati total, sehingga hadirat Tuhan tidak nyata. Karena tidak berani mati, maka kita tidak berjumpa Tuhan. Sehingga jemaat pun akhirnya digiring, dipenjara dalam penjara agama Kristen. Tidak ada perjumpaan dengan Tuhan dan tidak pernah berjumpa. Dan Tuhan bisa membiarkan itu kalau seseorang memang keras kepala. Maka, para gembala—juga para pengajar—harus berani membayar harga. Kalau kita tidak mati, kita tidak akan bisa jadi bejana Tuhan. Satu solusinya: mati. Kita akan membawa hadirat Tuhan di mimbar, kita akan menemukan kebenaran-kebenaran Tuhan yang membuat orang tercandui untuk mendengar khotbah. 

Kalau hanya mau pintar khotbah, mudah. Baca banyak buku, bikin persiapan di perpustakaan. Tapi untuk menghidupkan Tuhan, kita harus mati. Dan Tuhan pasti menyisakan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari Tuhan. Tidak dibutuhkan gelar kesarjanaan kita, tapi ketika kita hadir, Tuhan hadir bersama kita. Barulah kita bisa mengubah orang. Ada satu hal yang membuat kita ngeri, Tuhan sering seperti diam. Kita masih berantakan, tapi Tuhan seperti diam. Dia tegur sekali, dua kali, tiga kali. Kalau kita tidak mau mengerti, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti. Jangan sampai kita mati, kita masih membawa wajah diri kita, sebab seharusnya kita membawa wajah Yesus yang sudah menjadi wajah kita. 

Banyak jiwa sedang menuju kegelapan. Ini bukan bisnis kesibukan gereja, ini bisnis menyelamatkan jiwa. Siapa yang peduli akan hal ini? Tentu kita yang harus peduli kepada pekerjaan Tuhan ini. Kita bukan karena mau cari uang atau cari apa pun. Kita mencari jiwa-jiwa. Kesempatan ini mahal sekali. Menghidupkan Anak Allah di dalam diri kita. Dan nilai kesempatan ini tidak bisa diukur dengan uang. Kalau kita tidak mulai sekarang punya komitmen mati, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti.