Kekristenan bukanlah agama seremonial atau agama ritual, juga bukan agama liturgi atau tata cara sembahyang. Ini berarti bahwa kekristenan tidak cukup diwakili dengan penyelenggaraan sebuah seremonial, ritual, liturgi, atau tata cara ibadah atau tata cara sembahyang. Kekristenan adalah jalan hidup. Artinya, kekristenan harus dinikmati dalam perjalanan hidup dari jam ke jam, dari menit ke menit. Tentu perjalanan hidup kita bukanlah perjalanan hidup yang dituntun, diatur, dibayang-bayangi, dan ditekan oleh hukum, melainkan jalan hidup yang dituntun, dibayang-bayangi oleh Roh Kudus di mana seseorang diperkenan untuk berjalan bersama dengan Tuhan.
Itulah arti Yesus adalah Sang Imanuel, berarti Allah beserta kita. Dengan kedatangan Tuhan Yesus ke dunia, kematian-Nya yang menebus dosa manusia dan membenarkan manusia di hadapan Allah, dan kebangkitan-Nya yang menunjukkan kemenangan bahwa Dia taat sampai mati bahkan mati di kayu salib, maka tirai bait Allah terbelah. Batas yang selama ini menghalangi hubungan antara Allah dan manusia, dirobek. Manusia bisa bersekutu dengan Allah. Dahulu sebelum ada penebusan oleh darah Yesus, hanya imam besar yang bisa bertemu dengan Allah, itu pun satu tahun sekali.
Dengan dirobeknya tirai yang membatasi antara Ruang Suci dan Ruang Maha Suci yang mengisyaratkan bahwa Allah berkenan hadir—Imanuel dalam kehidupan manusia—maka manusia bisa berjalan dengan Tuhan. Ini kabar baik. Kita harus menyambut kabar baik ini dan menerima, sehingga kita benar-benar mengalami. Bukan sekadar teori atau sebuah penjelasan format sistematika teologi yang mengisi pikiran, melainkan sebuah kenyataan yang dialami oleh setiap individu. Inilah yang menjadi pergumulan hidup kita dan sekaligus menjadi kesukaan kita. Jangan menikmati kekristenan hanya di acara kebaktian atau pada waktu kita menyelenggarakan dan mengikuti liturgi. Namun, nikmati kekristenan dengan berjalan dan bersekutu dengan Tuhan dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari.
Kalau kita mengingat perjalanan hidup yang telah kita jalani dalam tahun-tahun panjang dahulu, mungkin ada penyesalan mengapa kita tidak sungguh-sungguh, tidak benar-benar berjalan dengan Tuhan. Kekristenan dipahami di dalam nalar, dirumuskan di dalam kognitif rasio, dan kita menikmati kekristenan di dalam kebaktian karena ada banyak kepentingan atau ada kepentingan kita di dalamnya. Sekarang, seiring berjalannya waktu, lalu proses kehidupan yang Allah berkenan kita jalani, dan oleh belas kasihan-Nya, maka kita mengerti bahwa Allah yang hidup, Allah yang Maha Kudus, Allah yang Maha Tinggi, Allah yang Maha Suci di terang yang tak terhampiri berkenan hadir di dalam kehidupan umat manusia di dalam dan melalui Roh Kudus untuk berjalan bersama dengan kita.
Namun, kita harus memaksa diri untuk mengalami bagaimana berjalan dengan Tuhan setiap hari, bagaimana bisa hidup di hadirat Tuhan setiap hari. Kalau Henokh bisa dikatakan berjalan dengan Allah—yang di dalam bahasa aslinya halak; berjalan, artinya hidup bersama—maka, kita sebagai umat pilihan Perjanjian Baru yang menerima meterai Roh Kudus mestinya bisa lebih dari Henokh. Kita akan sangat menyesal kalau menyia-nyiakan kesempatan ini. Memang mencari Tuhan seperti mencari dan menemukan jarum di antara tumpukan jerami, tetapi percayalah, sesuai yang dijanjikan Tuhan dan Dia tidak berdusta, Dia pasti penuhi, yaitu “Carilah Aku, maka Aku akan membuat engkau menemukan Aku. Carilah Aku, maka kamu akan mendapatkan.”
Maka, mari mulai saat ini, kita berkomitmen untuk mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh sampai kita bisa menghayati bahwa ternyata Dia kita butuhkan lebih dari napas dan lebih dari darah yang mengalir di tubuh kita. Ternyata Dia lebih berharga dari nyawa kita. Sebab apa gunanya orang memperoleh seluruh dunia kalau jiwanya binasa? Ingat, jiwa kita berharga lebih dari seluruh kekayaan dunia ini. Jika kita menghayati hal itu, maka kita juga bisa mengerti betapa berharganya Tuhan bagi kita. Jangan anggap remeh Tuhan. Jangan pandang Dia murahan. Dia lebih berharga dari nyawa kita.
Yesus berkata di Injil Matius 4:4, “Manusia hidup bukan hanya dari roti, tetapi juga dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.” Firman itu dalam teks aslinya adalah rhema; perkataan Allah, suara Allah, juga bisa berarti Allah sendiri. Kita tidak bisa hidup tanpa Allah. Sebagaimana tubuh tidak bisa hidup tanpa roti, demikian pula jiwa dan roh kita tidak bisa hidup tanpa Allah. Pengetahuan tentang Allah tidak membuat kita hidup, tetapi pengetahuan tentang Tuhan yang diterjemahkan, yang diwahyukan oleh Roh Kudus di dalam hidup kita menjadi makanan rohani, itulah yang menghidupkan. Hal itu sungguh bisa terjadi kalau kita menghormati Tuhan.
Kita bisa menikmati kekristenan dengan berjalan bersama Tuhan dari detik ke detik.