Pernahkah kita mengalami atau paling tidak melihat satu kehidupan keluarga yang dalam waktu singkat berubah oleh karena hadirnya tamu? Kalau tamu itu seorang yang terhormat atau tamu itu dari luar negeri, maka satu kamar dikosongkan untuk tamu itu. Yang tadinya menjadi gudang atau tempat menyimpan barang-barang tertentu, sekarang dijadikan kamar untuk tamu tersebut. Kalau tamu itu dari luar negeri, maka keluarga mulai menyiapkan makanan-makanan yang bisa dinikmati oleh tamu yang tidak biasa makan masakan Indonesia. Kalau sang tamu tinggal satu bulan, situasi keluarga itu berubah.
Kalau tamu itu adalah seorang yang memiliki peran besar dalam hidup ekonomi keluarga, kita akan usahakan agar dia nyaman dan puas. Yang lain bisa diabaikan, bisa ditinggalkan demi tamu ini. Kalau tamu ini mengajak ngobrol sampai jauh malam bahkan sampai menjelang pagi pun, dilayani. Yang penting dia puas. Yang kemudian ketika tamu ini melihat keluarga ini bisa dipercaya, dari modal puluhan juta, bisa dipercayakan modal beberapa miliar; dari beberapa puluh miliar, bisa dipercayai untuk menerima ratusan miliar. Pertanyaannya, pernahkah kita mengundang Yesus hidup dalam keluarga kita, dan dalam hidup kita secara pribadi? Dan membiarkan Tuhan mengubah gaya hidup keluarga dan kita sendiri?
Yang pasti, Tuhan bisa memberi lebih banyak dari siapa pun dan apa pun, dan sudah memberi lebih banyak dari siapa pun dan apa pun. Apakah kita hanya menemui Tuhan di gereja, lalu setelah itu kita tidak pernah mau berurusan dengan Dia? Atau menemui Tuhan hanya 1-2 jam, setelah itu kita tidak memberi ruang hidup kita untuk Tuhan. Apakah kita memperlakukan Tuhan seperti itu dalam hidup kita? Di dalam rumah hidup kita masing-masing, rumah diri kita ini. Sebab, Dia mendiami tubuh kita sebagai bait-Nya (1Kor. 3:16; 1Kor. 6:19-20). Seberapa luas ruangan hidup yang benar-benar kita sediakan untuk Dia?
Kalau kita membangun hubungan dengan seseorang yang akan menjadi teman hidup, maka kita akan berbuat apa pun demi menyenangkan dia dan bisa memperoleh dia, dan bisa membuat ia bahagia di samping kita. Kalau dia tidak suka jenis makanan tertentu, kita tidak akan pernah membawanya ke restoran itu. Kelihatannya sederhana. Tetapi apakah kita memperlakukan Tuhan seperti ini? Dia berperasaan. Dia bisa didukakan, tetapi Dia juga bisa disenangkan. Berarti kita harus memperlakukan Tuhan secara nyata sebagai Pribadi yang berperasaan. Ia bisa merasakan atau merespons tindakan kita. Ia bisa bereaksi terhadap tindakan kita dan merasakannya.
Kalau Tuhan memiliki pikiran, Ia memiliki pertimbangan. Dia merancang apa yang kita harus lakukan. Tentu apa yang Dia rancang demi kebaikan kita, yang nanti akhirnya akan membuat kita dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus. Masalahnya, apakah kita serius mempertimbangkan perasaan Tuhan? Memperlakukan Tuhan sebagai Pribadi yang hidup? Allah Bapa bertakhta di surga, tetapi Roh-Nya memenuhi jagat raya. Kalau Allah itu Maha Hadir, mestinya kita bisa berinteraksi dengan Dia secara konkret, riil. Tetapi faktanya, betapa sulit. Kita mau menerobos agar bisa merasakan kehadiran Tuhan. Kita melakukan terobosan demi terobosan. Kalau kita berdoa, kita mencoba menghayati Tuhan. Sehari, seminggu, sebulan, setahun, dua tahun, pasti akan tembus.
Sampai kalau nanti seseorang berdoa, ada dialog antara orang itu dengan Tuhan. Para teolog dan mereka yang belajar di Sekolah Tinggi Teologi, pasti cakap berdoa dengan bahasa dan kalimat doa. Tetapi berdoa dengan mengucapkan kalimat doa, itu berbeda. Doa itu sebuah dialog, ada perjumpaan antara Tuhan dengan kita. Perjumpaan dua pribadi. Maka kita tidak boleh merasa puas dengan level yang telah kita capai. Kalau seseorang sungguh-sungguh berinteraksi dengan Allah, maka bobotnya itu berbeda dengan orang yang tidak berinteraksi. Hamba Tuhan yang berinteraksi, waktu berdoa, pimpin doa, menyanyi, berkhotbah, apinya tidak bisa sama dengan mereka yang tidak memiliki kehidupan berinteraksi dengan Allah. Dan itu tidak bisa dibuat-buat. Semangat dan gairah doanya tidak bisa dibuat-buat.
Maka, temui Tuhan! Betapa indah, betapa agung, betapa mulianya kalau sampai kita bisa bertemu dengan Tuhan. Butuh ketekunan dan keberanian. Kalau kita mengundang Tuhan hadir dalam hidup kita pribadi, maka kita harus menyediakan waktu bertemu Tuhan setiap hari, dan kita harus hidup suci. Buang semua kesenangan yang mengganggu. Bangunlah hubungan keintiman dengan Tuhan dan kita harus tekun. Kita bersyukur kalau kita sudah tidak punya pilihan lain dalam hidup ini.
Kita melihat hidup ini makin tragis, jika kita mengaitkan dengan kenyataan bahwa kita harus berpisah dengan orang-orang yang kita kasihi suatu hari. Kita harus selamatkan banyak orang muda yang tersesat. Tuhan itu lebih dari berguna, lebih dari berharga. Dan kalau kita bisa menghadirkan Dia di dalam hidup kita, luar biasa. Namun, harganya seluruh hidup kita. Seiring dengan meningkatnya kekudusan kita dan terlepas dari ikatan dunia, maka kita bisa menembus tingkap demi tingkap itu.
Kalau kita mengundang Tuhan hadir dalam hidup kita pribadi, maka kita harus menyediakan waktu bertemu Tuhan setiap hari, dan kita harus hidup suci.