Mengukir sejarah Tuhan dalam hidup harus dimulai setiap hari dari hal-hal sederhana, karena Allah pun turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi-Nya (Rm. 8:28). Untuk ini orang percaya harus mulai menggelar harinya sejak pagi dengan kewaspadaan bahwa hari itu Tuhan hendak mengukir sejarah-Nya dalam hidupnya secara pribadi. Dengan kewaspadaan tersebut ia mulai belajar menemukan jejak Tuhan di dalam atau melalui segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Dalam hal ini, mencari Tuhan seperti mencari jarum jatuh di antara jerami. Rasanya sulit menemukan, tetapi Tuhan berjanji barang siapa sungguh-sungguh berusaha mencari Tuhan, maka Tuhan akan membuat seseorang menemukan-Nya (Yer. 29:13).
Banyak orang menganggap Tuhan adalah Pribadi yang murahan. Mereka tidak berusaha dengan segenap hati menemukan Tuhan. Faktor lain juga disebabkan adanya mental blok, seakan-akan yang dapat menemukan Tuhan hanyalah orang-orang khusus yang memiliki karunia. Padahal setiap orang harus menemukan Tuhan. Tidak menemukan Tuhan berarti kebinasaan. Orang yang mencari Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak-Nya. Segala sesuatu yang dilakukan selalu disesuaikan dengan kehendak-Nya. Harus diingat bahwa yang paling dapat “mematikan Tuhan” dalam kehidupan seseorang adalah dosa. Dosa di sini artinya ketidaktepatan dari apa yang dipikirkan atau direnungkan, diucapkan dan dilakukan. Orang yang mencari Tuhan akan berusaha belajar mengenal pribadi-Nya melalui tindakan-tindakan Tuhan dalam sejarah di Alkitab.
Hal yang kedua yang paling bisa “mematikan Tuhan” dalam kehidupan seseorang adalah ambisi pribadi. Ambisi di sini adalah keinginan dan cita-cita yang menguasai hidup seseorang tanpa dikonfirmasikan dengan Tuhan; apakah cita-cita tersebut sesuai dengan rencana Tuhan dalam hidupnya? Ambisi dan cita-cita seseorang sangat ditentukan oleh “cita rasa” jiwanya; yaitu apa yang menurutnya paling membahagiakan. Ia tidak memiliki hasrat menyukakan hati Tuhan, tetapi hanya mencari kesenangan diri sendiri. Ia tidak akan mengerti rencana Tuhan atas keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain di sekitarnya. Tuhan tidak akan “hidup” dalam kehidupan orang seperti ini. Pada dasarnya, mereka tidak serius dengan Tuhan, mereka hanya serius dengan dirinya sendiri. Akhirnya Tuhan pun tidak peduli terhadap orang-orang seperti ini.
Harus kita sadari bahwa ketika kita mengikut Tuhan Yesus dengan benar, sejatinya hal itu akan mengakibatkan kepentingan orang di sekitar kita bisa terganggu. Sebab ketika hak-hak kita harus diserahkan kepada Tuhan, maka orang di sekitar kita merasa hak-hak mereka juga terampas pula, yaitu hak-hak yang mereka anggap milik mereka di dalam diri kita. Misalnya, kalau kita memiliki teman-teman yang selalu dalam suatu kebersamaan melakukan kegiatan tertentu, kemudian kita harus meninggalkan kebersamaan tersebut berhubung Tuhan tidak bisa menikmati kebersamaan tersebut, maka mereka merasa kehilangan kita. Mengikut Tuhan Yesus berarti kenyamanan kita terganggu, dan kalau kenyamanan kita terganggu maka orang-orang di sekitar kita yang bersama-sama menikmati kenyamanan tersebut akan merasa dirugikan. Ini barulah contoh sederhana, banyak hal yang lebih ekstrem dari ini.
Pada intinya, mengikut Tuhan Yesus berarti hidup dalam ketidakwajaran, sebab kewajaran kita adalah kehidupan Tuhan Yesus. Tidak hidup seperti Tuhan Yesus berarti kita belum wajar di hadapan Allah Bapa. Selama ini kompromi-kompromi yang dilakukan banyak orang Kristen telah memadamkan spirit Kristus di dalam diri kita. Spirit yang menguasai kita ternyata bukanlah spirit Anak Allah, melainkan spirit agama Kristen dengan standar kesantunan yang baik, namun jauh dari standar yang dikehendaki oleh Allah. Kita harus mengakui bahwa kita adalah korban dari atmosfer gereja dan kekristenan palsu yang penuh penyesatan. Kalau Paulus mengatakan “ikutlah teladanku” itu berarti sebagai manusia seratus persen Paulus mencoba hendak menunjukkan bagaimana kewajaran hidup sebagai anak-anak Allah (1 Kor. 4:16; Flp. 3:17; 2 Tes. 3:7).
Dari tulisan Paulus kita bisa menemukan gaya hidup seorang murid Kristus yang berusaha mengenakan gaya hidup Gurunya. Bisa dibayangkan, betapa kecewa hati keluarga Paulus menyaksikan “orang kebanggaannya” meninggalkan statusnya sebagai tokoh agama orang Yahudi lalu menjadi pengikut Anak tukang kayu dari Nazaret. Tentu saja Paulus dibesarkan oleh keluarganya untuk menjadi kebanggaan bagi keluarga, tetapi ternyata menjadi seorang yang dianggap “keluar dari jalur” kewajaran. Hidup Paulus tidak memiliki masa depan di bumi ini, hanya penjara dan sengsara yang menantikannya dari kota ke kota (Kis. 20:21-24). Sebelum Paulus mengalami hal ini, murid-murid Tuhan Yesus sudah mendahului mengalami hidup dalam ketidakwajaran ini. Mereka berani memilih jalan lain. Bagaimana dengan kita?