Skip to content

Mengoreksi Diri

Pada dasarnya, kemuliaan Allah adalah watak Allah, karakter Allah, sifat Allah. Jadi kalau dalam Matius 5:48 Tuhan Yesus berkata “kamu harus sempurna seperti Bapa,” itu sama maksudnya “kamu harus menemukan kemuliaan Allah yang hilang; kamu harus memenuhi dirimu dengan kemuliaan seperti rancangan Allah semula.” Hal itu juga sama dengan yang ketika firman Tuhan mengatakan dalam Filipi 2:5-7, “kamu harus serupa dengan Yesus,” artinya kamu harus menemukan kemuliaan yang hilang atau kurang itu, karena inilah standar kemuliaan Allah. Manusia menjadi segambar dan serupa dengan Allah. “Segambar” artinya memiliki pikiran dan perasaan seperti Allah. Hal menjadi segambar, sudah; karena semua manusia memiliki pikiran dan perasaan. Tetapi manusia juga memiliki keserupaan, yaitu pikiran dan perasaan yang bisa selalu selaras dengan pikiran dan perasaan Allah, sehingga seluruh kehendaknya selalu sesuai dengan kehendak Allah. Jadi, kemuliaan Allah pada dasarnya adalah keberadaan diri untuk bisa selalu sepikiran dan seperasaan dengan Allah, sehingga bisa membuahkan atau memproduksi kehendak yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Pertanyaannya adalah ketika kita mengalami apa yang dialami oleh Tuhan Yesus, reaksi kita terhadap keadaan itu bagaimana? Jujur harus kita akui bahwa dulu kita sering bereaksi salah. Akhirnya ketika sudah usia sudah senja, karakter mengalah tidak pernah terbentuk, karena terbiasa reaksi melawan. Tapi kalau kita belajar mengalah dan diam, maka ketika dapat lagi persoalan yang serupa dan kita tetap mengalah dan diam, maka karakter Kristus akan permanen menjadi karakter kita. Sampai kita tidak bisa menjahati dan menyakiti orang lagi. Maka firman Tuhan mengatakan, “Allah bekerja dalam segala sesuatu” artinya Allah membutuhkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian untuk mengembalikan umat pilihan-Nya kepada gambar dan rupa Allah; tselem dan demuth Allah. Tidak semua orang menjadi umat pilihan Allah. Ini adalah hak prerogatif Allah. Tidak semua orang memiliki anugerah ini (Ef. 1:4-5), hanya orang yang dipilih. Jadi, memang kita juga tidak boleh mengenakan ukuran kita kepada orang lain; ukuran kita adalah Tuhan Yesus.

Maka, kita tidak boleh membandingkan diri dengan orang lain—sesama orang Kristen—apalagi dengan orang yang bukan umat pilihan. Karena tidak semua orang mengasihi Allah. Perhatikan, “Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan bagi orang yang yang mengasihi Dia.” Bagi mereka yang tidak mengasihi Tuhan, maka reaksinya terhadap peristiwa-peristiwa yang yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupnya adalah reaksi yang salah; yang akhirnya mengkarakter seperti anak dunia. Kita pun kalau tidak jujur, tidak tulus, tidak memberi diri diubah, tidak rendah hati, maka makin tua akan makin munafik, walaupun kita bisa tidak kelihatan orang bejat atau tidak melakukan hal-hal yang melanggar moral secara umum. Tetapi, kita tidak pernah terbentuk menjadi manusia yang agung, tidak pernah terbentuk menjadi manusia yang mulia. Maka, kalau kita serius meraih kemuliaan, kita harus mengoreksi diri kita dengan setulus-tulusnya, sedetil-detilnya, sedalam-dalamnya dan sejujur-jujurnya. Dulu kita kalau sudah tidak berbuat salah, kita sudah merasa nyaman saja. Tetapi sekarang kita tidak boleh merasa puas diri kalau kita tidak melakukan perbuatan-perbuatan salah. Kita harus melihat kemungkinan, potensi dosa yang belum hilang. Belum, karena belum ada rangsang. Belum ada satu aksi, dimana belum ada reaksi dari pihak kita.

Jadi beranjak dari niatan, kita harus memeriksanya dengan jujur. Untuk mengujinya, Tuhan mengizinkan kejadian-kejadian yang terjadi. Maka, mengasihi Tuhan dan memiliki komitmen untuk hidup bagi-Nya memerlukan proses yang luar biasa. Kita harus berani seakan-akan kita memberi nilai terhadap diri kita sendiri. Roh Kudus akan menolong  dan menuntun kita senantiasa. Karena seiring dengan perjalanan waktu mengenal kebenaran, kita akan diajar Tuhan untuk melihat satu profil atau potret dari wajah Tuhan Yesus yang harus kita capai. Ketika kita sudah sampai pada potret itu, ternyata ada potret lain yang lebih indah, kita naik lagi. Kita harus berani menilai, kira-kira berapa nilai kemuliaan yang kita dapat ini. Kita juga harus mengerti bahwa nilai setiap individu tentu berbeda-beda; “Yang diberi banyak, dituntut banyak. Yang diberi sedikit, dituntut sedikit.”

Kalau kita serius meraih kemuliaan, kita harus mengoreksi diri dengan setulus-tulusnya, sedetil-detilnya, sedalam-dalamnya dan sejujur-jujurnya.