Pada waktu Nuh membuat bahtera, ia seperti orang yang mengalami kejiwaan yang tidak wajar. Sama dengan Lot, yang memercayai dua tamu yang baru datang. Ketika semua orang tidak boleh berdoa, Daniel tetap berdoa, padahal yang dihadapinya adalah seorang raja yang kuat. Sadrakh, Mesakh, Abednego pun tidak mau ikut menyembah patung yang didirikan di Lembah Dura oleh Nebukadnezar, mereka tetap nekat hanya menyembah Allah, Elohim Yahweh. Abraham harus meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk ke negeri yang akan ditunjukkan oleh Allah, Elohim Yahweh. Paulus memiliki kehidupan yang tidak wajar di mata orang pada zamannya.
Mereka adalah orang-orang yang bergaul dengan Tuhan dan berjalan di dalam rencana Tuhan. Sejatinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung, karena mereka memilih jalan yang benar, pilihan mereka tepat. Bagaimana dengan kita hari ini? Sudahkan kita meninggalkan kewajaran hidup? Tapi makin hari makin kita menyadari bahwa pada umumnya kita belum hidup tidak wajar, makin mengerti betapa kita telah jauh dari standar seorang yang berjalan dengan Tuhan dan hidup di dalam kehendak dan rencana-Nya. Masalahnya, kalau kita mengikuti terus jalan ini, mau jadi apa kita ke depan? Jadi manusia macam apa kita?
Di sisi lain, ada sedikit ketakutan juga, kalau kita hidup makin tidak wajar, nanti kita akan dijuluki aneh dan dijauhi kerabat. Sejujurnya, tidak mudah untuk melangkah, mengambil tindakan berjalan dengan Tuhan, hidup di dalam kehendak dan rencana-Nya di tengah-tengah dunia yang sangat fasik ini. Sementara masih ada kekeruhan di dalam jiwa kita, masih ada nafsu di daging kita—karena rekaman dari masa lalu dan hidup kedagingan kita—tapi kita memilih untuk benar-benar hidup suci, tak bercacat tak bercela, meninggalkan dunia. Untuk itu, dibutuhkan keberanian dan kita harus bisa mengkondisi hidup kita sendiri. Sebab kalau kita tidak menkondisi hidup kita untuk bisa berjalan dengan Tuhan, hidup di dalam kehendak dan rencana-Nya, dunia mengkondisi kita dan kita akan terbawa oleh suasana dunia ini.
Maka kita harus benar-benar mau mengubah cara berpikir dan rutinitas hidup kita, sebab kalau kita mau benar-benar berubah dan mau mengkondisi hidup kita supaya terpacu untuk berjalan dengan Allah hidup dalam kehendak dan rencana-Nya, kita harus berani meninggalkan rutinitas. Rutinitas membuat kita tidak bisa berubah. Memang ada hal-hal yang tidak boleh kita tinggalkan dan tidak bisa—hal-hal yang merupakan tanggung jawab kita—tetapi ada hal-hal lain yang mesti kita tinggalkan; seperti tontonan, lagu, hobi, pertemuan yang tidak perlu. Kita tidak bisa berubah kalau kita tidak mengkondisi hidup kita.
Roh Kudus pasti akan menolong kita, maka perlu ada waktu duduk diam di kaki Tuhan, di situ Roh Kudus akan pasti berbicara dan memimpin Saudara. Sampai begitu jelas perbedaan kita dibanding anak dunia. Harus makin jelas perbedaannya. Tidak perlu pusing apa penilaian orang terhadap kita. Kita harus bangga menjadi “orang aneh.” Bukan aneh yang membuat orang terluka atau tersandung, tapi pasti kita memiliki keadaan yang tidak sama dengan orang lain. Hal itu akan dipandang oleh setan sebagai membahayakan. Maka sering orang-orang yang berniat untuk mengkondisi dirinya menjadi anak-anak Allah yang baik, yang mau berjalan dengan Tuhan di dalam kehendak dan rencana Allah, serangannya pasti banyak.
Jangan berharap perubahan itu terjadi secara drastis, radikal. Yang penting, harus dimulai, jangan menunda. Tidak mudah, tapi kalau kita berani mengkondisi hidup dan pikiran kita, ada kalanya kita masih terganggu oleh orang-orang di sekitar kita yang membangkitkan kebencian, dendam, kemarahan. Tapi kita tetap harus mengendalikan diri, karena kita yang menguasai diri kita. Kita harus menjadi orang yang benar-benar seperti bangsa Israel yang berkemas-kemas keluar dari Mesir menuju Kanaan. Seberapa kita betul-betul berkemas-kemas dan serius untuk mengalami perubahan, tergantung seberapa kita berani mengkondisi hidup kita sendiri.
Ingat ini, tidak cukup kita berkata, “Tuhan, pegang kemudi hidupku.” Karena Tuhan sudah memberikan kemudi itu kepada masing-masing kita. Maka kita yang harus mengarahkannya. Roh Kudus yang akan menuntun kita. Kita arahkan ke mana parabola hidup kita, tergantung kita. Pindahkan kiblat kita ke Tuhan dan Kerajaan-Nya, lalu kondisikan diri kita untuk mengarahkan diri ke sana.
Kita tidak bisa berubah kalau kita tidak mengondisi hidup kita.