Dalam agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan pada umumnya, orang merasa sudah berurusan dengan allah, dewa, atau tuhan yang disembah, kalau datang ke tempat-tempat yang disebut rumah ibadah. Setelah pulang dari rumah ibadah, mereka menjalani hidup seperti umumnya orang lain menjalani hidup. Tetapi, kekristenan tidaklah demikian. Kekristenan itu seluruh hidup kita. Ibadah kita bukan di gereja. Gereja hanyalah ruang pertemuan. Kita mesti mengingatnya, dan jangan sampai terhapus dari pikiran kita. Ibadah di gereja hanyalah meeting together, yang dalam bahasa Yunaninya episunagogen. Sayangnya, di Alkitab diterjemahkan “pertemuan ibadah.” Padahal teks aslinya yaitu “pertemuan bersama; meeting together.”
Kebaktian kita yaitu seluruh hidup kita. Liturgi kita adalah seluruh waktu kita, di mana pun kita berada. Berurusan dengan Tuhan bukan hanya pada waktu kita berlutut berdoa atau datang ke gereja, tetapi setiap saat. Tidak ada waktu di mana kita tidak berurusan dengan Tuhan. Kebatinan Jawa bisa berprinsip manunggaling kawulo Gusti, artinya menyatu dengan Allah. Kekristenan berabad-abad sebelumnya sudah mengajarkan Allah yang disembah tinggal di dalam kita; kita tinggal di dalam Dia.
Alkitab mengajarkan dalam 1 Korintus 6:19 dan 20; 3:16, bahwa tubuh kita adalah bait-Nya. Rumah ibadah yaitu kita, jangan diganti dengan gereja. Gereja adalah ruang pertemuan. Sedangkan pertemuan dengan Allah, yaitu tubuh kita menjadi tubuh-Nya; tempat Allah berdiam. Kalau tubuh kita menjadi bait Roh Kudus, maka pasti ada Ruang Mahakudus di dalamnya. Ini menjadi tantangan buat kita. Kita tidak boleh lupa bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Sering kita lupa ada Roh Allah yang Mahakudus tinggal dalam diri kita. Jika tidak demikian, itu bukan Kekristenan. Kita harus serius menghadapi hidup yang semakin rusak dan jahat ini, karena dunia akan menarik kita untuk hidup dengan cara dan pola hidupnya.
Kita mau menjadi orang-orang yang dipersiapkan Tuhan dalam menghadapi keadaan dunia yang memburuk di depan. Kita tidak bisa melindungi anak-anak kita, dengan kekuatan apa pun. Kita yang punya uang banyak, memiliki relasi pejabat tinggi, hendaknya jangan merasa sombong. Pejabat bisa naik turun, hidup kita juga seperti roda, bisa berputar. Tetapi kalau ada tangan yang menciptakan langit dan bumi, yaitu Allah semesta alam yang mengutus Putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus, mati di kayu salib untuk menebus dan mengampuni dosa kita, serta berkenan menjadikan tubuh kita bait-Nya, ini anugerah.
Sederhana, simpel, tetapi sulit karena memang tidak mudah. Kita sering kali memberontak, kita reject, resist, refuse; kita menolak menjadikan tubuh kita sebagai bait Roh Kudus. Apalagi kalau orang sudah terbiasa jorok hidupnya, pasti dia tidak mau menjadikan tubuhnya bait Roh Kudus. Jangan sampai kita rusak sehingga tidak bisa diperbaiki lagi, yang namanya “titik tidak balik” atau dalam bahasa Inggrisnya point of no return. Ini mengerikan. Seperti yang terjadi pada Esau, di mana ia tidak lagi memiliki kesempatan. Jadi, kita harus berjuang untuk menguduskan diri agar layak menjadi bait Roh Kudus.
Jangan berpikir kalau Tuhan Yesus sudah mati di kayu salib, menebus dosa kita, lalu secara otomatis tubuh kita bisa menjadi bait Roh Kudus secara permanen. Benar, Yesus mati di kayu salib menebus dosa kita; kita dibenarkan atau dianggap benar. Kita menerima Roh Kudus; Roh Kudus dimeteraikan di dalam diri kita. Roh Kudus menuntun untuk mengubah karakter kita, watak kita; mengubah kita dari kodrat manusia, kodrat dosa, untuk bisa menjadi seorang yang berkodrat ilahi supaya Roh Kudus bisa tertanam dalam diri kita secara abadi. Kalau orang tidak mau menguduskan diri; bicara sembarangan, melihat sembarangan, berperilaku sembarangan, Roh Kudus didukakan.
Roh Kudus itu luar biasa, tetapi ada batas waktu. Kalau seseorang mendukakan Roh Kudus terus-menerus, maka ia akan memadamkan Roh. Sesudah memadamkan, dia akan menghujat Roh Kudus. Menghujat Roh Kudus artinya tidak lagi bisa menerima penggarapan Tuhan. Tuhan tidak bisa menggarap karena seseorang sudah tidak bisa digarap lagi. Orang yang sudah menghujat Roh Kudus, tidak peduli apakah dia sudah menghujat Roh Kudus atau tidak. Dia tidak peduli apakah akan masuk neraka atau masuk surga.
Kalau orang sudah tidak takut Allah sama sekali, tidak takut masuk neraka—mungkin dia tidak menyampaikannya secara terang-terangan—hanya saja dia tidak akan pernah bisa digarap Tuhan lagi. Jangan sampai kita semakin tua, malah semakin munafik; tidak mengenal diri dengan benar. Sebenarnya kita tidak layak menjadi bait Roh Kudus, tetapi kita merasa layak-layak saja atau justru tidak peduli. Ini sangat berbahaya. Kita harus mempersoalkannya. Kita harus bertemu Tuhan dan benar-benar mendapatkan jawaban atau respons Tuhan terkait hal ini.
Menghujat Roh Kudus artinya tidak lagi bisa menerima penggarapan Tuhan.