Kita harus dapat mengasihi diri sendiri seperti Allah mengasihi kita. Jadi, kita harus menemukan bagaimana Allah mengasihi diri kita. Dengan cara bagaimana Allah mengasihi diri kita, dengan cara itulah kita mengasihi diri kita. Iblis tidak bisa, dia tidak mengasihi kita. Makanya hukum pertama: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap, segenap, segenap,” dengan cara kita mengasihi Allah, kita berurusan dengan Allah. Dengan kita berurusan dengan Allah, kita tahu bagaimana Allah mengasihi kita. Maka di Matius 7:9-11 dikatakan, “Adakah seorang dari padamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”
Sebaliknya, setan memberi apa yang kita minta; Tuhan memberi apa yang terbaik. Setan juga bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan orang sesuai selera si peminta. Tuhan tidak akan memberi sembarangan. Dia memberi roti kepada orang yang minta roti, tidak memberi batu. Setan memberi apa saja. Belum waktunya menikah, menikah. Senang sama siapa, lakukan. Mau kaya mendadak, bisa. Tuhan tidak begitu. Tuhan mengajari kita tanggung jawab. Tuhan memberikan hak, tetapi Tuhan juga memberi tanggung jawab. Ketika Allah menciptakan manusia, Allah memberi pikiran dan perasaan. Itu hak. Allah tidak berintervensi, tidak mencampuri bagaimana masing-masing individu mengembangkan pikiran dan perasaannya, guna bisa seiring dengan pikiran dan perasaan Allah, sehingga bisa melakukan segala sesuatu dengan kehendak-Nya. Itu yang membuat hidupnya berkualitas.
Namun kalau pikiran dan perasaan seseorang tidak disempurnakan oleh kebenaran, maka kehendaknya tidak selalu sesuai dengan kehendak Allah; tidak berkualitas. Manusia sudah rusak. Kualitasnya dinilai dari barang yang dimiliki dan dikenakan, aset, penampilan dan lain-lain. Orang yang punya kedudukan tinggi pasti dinilai lebih tinggi dibanding yang kedudukannya lebih rendah. Sejatinya, bukan soal kedudukan semata-mata, tetapi apakah dia memenuhi tugas kehidupan yang Allah percayakan? Misalnya, seorang ketua RW yang menyelesaikan tugas-tugas dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan baik. Bisa jadi dia lebih bermartabat dari seorang walikota yang hanya karena mau kaya. Tuhan memberikan pikiran dan perasaan, Dia tidak mengendalikan. Maka harus dikembangkan, itu hak kita. Tapi tanggung jawab kita adalah bagaimana kita membangun pikiran dan perasaan dengan baik, supaya kita bisa menciptakan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Makanya yang kita konsumsi haruslah kebenaran. Manusia dirusak oleh Iblis dengan berbagai masukan. Rusak pikirannya, rusak perasaannya. Iblis tidak menghargai manusia.
Kalau kita menghargai diri kita dengan benar, maka kita harus berjuang untuk keselamatan jiwa kita. Kita harus berjuang bagaimana cara kita mengasihi diri kita sendiri dengan benar, seperti Allah mengasihi kita. Bukan seperti anak dunia mengasihi dirinya. Mereka sudah sesat oleh dunia. Kalau dunia, “mata ganti mata; gigi ganti gigi.” Tapi kalau Tuhan, “tampar pipi kanan, beri pipi kiri.” Itu cara mengasihi diri sendiri dengan benar. Setan tidak memberi hak karena memang dia tidak berkuasa, dan dia juga tidak memberi tanggung jawab. Dia tidak mengerti, dia sendiri juga tidak bertanggung jawab. Dia tidak tahu bagaimana menjadi makhluk ciptaan yang mengabdi kepada Elohim Yahweh, Allah yang menciptakan langit dan bumi. Dia bukan mau masuk neraka, dia juga ingin surga. Tapi dia tidak mau dibawahi oleh Allah yang berhak untuk dimuliakan. Dia mau punya surga, di mana dia yang menjadi pemimpinnya.
Sebagai anak-anak Allah, jangan berkelahi untuk berebut kedudukan. Ini Teokrasi; pemerintahan Allah. Tuhan memberi kita hak, yaitu pikiran dan perasaan. Tetapi bagaimana mengembangkan pikiran dan perasaan kita, itu tanggung jawab, supaya hidup kita berkualitas. Bagaimana caranya? Kita ikuti teladan hidup Yang Mulia Raja kita, Tuhan kita, Guru kita. “Jual segala milikmu, bagikan kepada orang miskin, datang ke mari ikutlah Aku.” Sebab di dalam Dia ada hidup, dan hidup itu terang manusia. Apa kita mau bahagia? Lakukan apa yang diperintahkan Tuhan. Menjual segala milik bukan berarti harfiah kita menjual milik, membagikannya kepada pemulung dan panti sosial. Tapi artinya kita tidak boleh terikat dengan dunia ini.
Kalau kita menghargai diri kita dengan benar, maka kita harus berjuang untuk keselamatan jiwa kita.