Sedikit sekali orang yang benar-benar memiliki kegentaran terhadap realitas kekekalan. Dan betapa sukarnya seseorang dapat menghayati hidup secara benar sehingga dapat menghayati realitas kekekalan ini. Karena filosofi dunia tidak mengenal hal ini. Dan kita dibesarkan dalam lingkungan orang-orang yang tidak memikirkan realitas hidup yang benar, yaitu kekekalan. Dari kecil kita sudah terpapar dengan filosofi hidup yang dibahasakan oleh Paulus, “Marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Telah tercengkeram di dalam jiwa bahwa seakan-akan hidup itu hanya sekali di bumi ini. Tidak ada kehidupan lain selain di bumi ini. Jadi, bagaimana mengusahakan hidup yang seindah-indahnya sekarang, meraih sebanyak-banyaknya yang bisa diraih, menikmati kebahagiaan, kepuasan puncak yang bisa dinikmati.
Prinsip hidup seperti ini sudah mencengkeram, mengakar di dalam diri kita semua. Bersyukur kita dilawat Tuhan, dibelas kasihani Tuhan melalui kejadian-kejadian hidup yang kita alami, Tuhan mencerahi pikiran kita. Sehingga kita bisa menghayati realitas hidup yang benar, lalu kita mulai menggeser fokus, paradigma berpikir kita. Kita mulai belajar dimensi hidup yang baru, dari dimensi hidup kefanaan menjadi dimensi hidup kekekalan. Kalau seseorang terlambat mengubah paradigma berpikirnya, maka ia tidak akan pernah berubah. Semakin kita tua, semakin banyak input di dalam pikiran kita—pikiran duniawi yang berbasis pada materi dan kesenangan sementara—sehingga kita tidak akan mampu lagi memiliki dimensi hidup yang benar.
Jika seseorang dididik hanya dengan mendengar, belum tentu paradigmanya berubah, atau bisa mendapatkan dimensi hidup yang baru. Tetapi pengalaman hidup—yaitu melewati keadaan-keadaan sulit yang seperti melemparkan kita ke dunia yang asing—bisa mengubah. Tuhan Yesus sendiri berkata di Injil Matius 19, “Lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga.” Tuhan Yesus tidak anti orang kaya; kita pun tidak. Tetapi perkataan Tuhan itu, artinya kekayaan dapat mengunci seseorang terhadap kenikmatan hidup, sampai ia tidak membutuhkan dunia lain. Mengerikan sekali kalau suatu saat kita menutup mata, lalu melihat ternyata ada kekekalan. Kita harus takut, kita harus gentar akan realitas kekekalan.
Secara teori kita semua pasti tahu, tetapi kegentaran yang sungguh—yang membuat kita benar-benar mau hidup tidak bercacat tidak bercela—apakah sudah kita miliki? Bukan hanya tidak melanggar hukum, tetapi jangan ada kesombongan terselubung, kebencian, dendam, ketidaktulusan. Apa pun yang kira-kira tidak membuat Tuhan nyaman, jangan kita lakukan. Orang yang gentar terhadap kekekalan pasti serius menggarap dirinya. Sejatinya, ini mengasyikkan. Kadang-kadang memang agak lelah, dan kita bisa putus asa. Dan ia juga akan lebih mudah melepaskan diri dari keterikatan dunia, karena ia menyadari bahwa hidup ini akan berakhir.
Orang yang gentar terhadap kekekalan akan juga memiliki perasaan belas kasihan terhadap orang lain. Belas kasihan ini tidak bisa dibuat-buat. Belas kasihan bukan hanya terhadap orang yang tidak bisa makan, tidak pakai pakaian, atau kedinginan. Melainkan bagaimana kita menghambat, menghalangi orang masuk neraka. Kalau paradigma berpikir kita berubah sehingga kita bisa menghayati kekekalan, pasti kita akan sangat mengingini tidak ada seorang pun masuk neraka. Jadi, pelayanan yang kita gelar bukan sekadar kita menyelenggarakan sebuah kegiatan liturgi, melainkan kita harus memiliki destinasi yang jelas, output yang jelas, agar setiap orang jangan masuk api kekal.
Jangan main-main dengan hal kekekalan. Orang lain tidak peduli, hampir semua orang tidak peduli, dan itu membawa pengaruh dalam hidup kita, karena atmosfer dunia sekitar kita itu fasik. Tetapi kita, jangan ikut-ikutan. Maka, geser paradigma kita, karena kalau kita tidak menggeser sedini mungkin, kita tidak akan pernah bisa memiliki dimensi kekekalan. Orang yang tidak memiliki dimensi kekekalan, sebenarnya hidupnya tidak jauh beda dari binatang, karena yang dipikirkan hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani. Padahal semua itu hanya fana. Bukan tidak boleh, tetapi jika hidup kita hanya dipenuhi oleh keinginan-keinginan semacam itu, sementara kita tidak menggarap manusia batiniah, celaka!
Maka Paulus menasihati kita, “Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.” Jadi, 70-80 tahun umur hidup kita adalah untuk mendandani potret wajah batiniah kita karena ini kekal. Orang yang memiliki dimensi hidup salah, tidak akan peduli dengan manusia batiniahnya. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana dia mendandani manusia lahiriahnya. Tidak salah—bahkan harus juga—kita mendandani manusia lahiriah, namun manusia batiniah kita harus lebih cantik karena ini yang kita bawa di kekekalan.
Kita harus menggeser paradigma berpikir kita,
karena kalau kita tidak menggesernya sedini mungkin,
kita tidak akan pernah bisa memiliki dimensi kekekalan.