Skip to content

Mengatur Suasana

Sedikit sekali orang yang memiliki kecemasan yang tinggi mengenai atau terhadap gelombang besar manusia yang sedang menuju ke dalam kegelapan abadi. Tidak sedikit orang rajin ke gereja, aktif dalam kegiatan pelayanan, bahkan menjadi pendeta. Tetapi, sedikit orang yang memiliki kecemasan atau perasaan krisis yang tinggi terhadap atau mengenai gelombang besar orang yang sedang menuju kegelapan. Sebagian besar orang hanya mendengar dan bisa saja setuju dengan hal ini, tetapi tidak merespons secara benar dengan tindakan konkret membangun perasaan krisis atau perasaan cemas terhadap atau mengenai gelombang besar orang yang menuju kegelapan. 

Ironis sekali. Mungkin orang yang ada di dalam kegiatan pelayanan juga memiliki perasaan krisis, tetapi krisis karena jumlah jemaatnya berkurang, krisis karena kontrak tempat yang dipakai untuk pertemuan atau ibadah mulai habis, krisis karena kolekte atau persembahan jemaat makin berkurang; bukan karena keselamatan jiwa-jiwa. Mereka pasti berdoa, mungkin juga berpuasa. Tetapi, pokok doa dan pergumulannya bukanlah pokok pergumulan yang seharusnya dia gumuli bersama Tuhan. Dan biasanya orang-orang seperti ini, tidak hanyut di dalam pertumbuhan iman. Fokusnya ke arah yang tidak tepat.

Mestinya fokus kita adalah bagaimana mengalami proses pendewasaan, bagaimana benar-benar mengalami proses kesempurnaan; makin sempurna seperti Bapa, makin serupa dengan Yesus. Makin menguasai pikiran, perasaan, dan mengenakan pikiran, perasaan Kristus. Makin mengendalikan mulut, perkataan, mengendalikan seluruh kehidupan kita. Kalau fokusnya di situ, dia akan akhirnya nanti memiliki krisis; perasaan krisis dan cemas yang benar, yaitu keselamatan orang lain. 

Kalau orang tidak serius mengalami perasaan krisis terhadap dirinya sendiri—bagaimana menyelamatkan diri dari api kekal, bagaimana supaya hidupnya tetap ada di hadirat Tuhan dan tidak terpisah—maka tidak mungkin ia memiliki perasaan krisis terhadap keselamatan orang lain. Pertanyaannya, apakah kita memiliki perasaan krisis atau cemas seperti ini? Orang yang tidak hidup di hadirat Allah sejak di bumi ini, tidak mungkin hidup di hadirat Tuhan di kekekalan. Tidak mungkin. Tetapi Tuhan dalam kesabaran-Nya memberikan kita kesempatan untuk berubah. Pasti kita akan mendengar peringatan Tuhan, pasti. Tidak ada orang yang mendadak bisa pindah frekuensi, dari frekuensi dunia lalu masuk frekuensi Tuhan, tidak mungkin. Kita harus memiliki perasaan krisis dan cemas terhadap keadaan hidup dan keadaan rohani kita sendiri. 

Untuk hidup di hadirat Tuhan, tentu kita harus hidup tidak bercacat, tidak bercela. Kita tidak boleh menolerir sedikit pun celah dosa, sekecil apa pun, sehalus apa pun. Tuhan pasti memberi tahu kepada kita hal-hal yang Tuhan tidak nyaman. Dan itu bertahap. Apa yang dulu kita pandang bukan kesalahan, kita masih menikmatinya, suatu saat kita akan tahu bahwa itu tidak patut kita lakukan. Walaupun orang tidak tahu, sekecil apa pun itu di dalam hati kita; kesombongan, kesewenang-wenangan terhadap orang, sikap menindas walaupun tidak nampak, dan lain sebagainya. Di dalam kebesaran hati Bapa, Bapa mau mer dan terus membersihkan kita dari unsur-unsur kekafiran, unsur-unsur kedagingan. Kita harus mengalami perasaan krisis, perasaan cemas bahwa masih ada unsur-unsur kedagingan di dalam diri kita

Sejujurnya, masih ada orang-orang yang hidup dalam pola pikir anak dunia—bukan orang jahat yang melanggar moral umum—bahkan orang-orang yang ada di tengah-tengah pelayanan, tetapi dia tidak atau belum fokus ke Tuhan secara benar. Mereka tidak mungkin punya perasaan krisis yang sepantasnya atau kecemasan mengenai jiwa-jiwa yang akan terhilang. Kita juga belum sempurna. Unsur-unsur kedagingan yang tidak kudus, masih melekat. Dan itu digugurkan, diluruhkan melalui pergaulan dengan Tuhan dan hidup dalam doa. Orang yang terus-menerus hidup dalam doa, tidak mungkin hidupnya tidak bisa menjadi bersih. Tentu disertai pengertian kebenaran, ketulusan dan kemurnian hati. 

Kita yang sadar akan keadaan kita yang masih ada unsur kedagingan atau unsur asing di hadapan Allah ini, harus betul-betul berjuang; berjuang tanpa batas. Kalau seseorang serius mau hidup di hadirat Tuhan, ia akan memetakan hidupnya. Usai dari suatu tempat, mau ke mana, apa yang kita harus buat; besok kita mau ke mana, apa yang harus kita lakukan, dengan siapa kita jalan, dengan siapa kita kumpul-kumpul, semua harus dipetakan. Kita tidak boleh mengalir hanyut dengan suasana yang ada di sekitar kita. Kita harus menciptakan suasana dan mengatur suasana, bukan suasana yang mengatur kita. 

Mungkin saja tiba-tiba kita mendapat telepon dari seorang teman, “Ayo, kita ketemuan, ngopi di tempat biasa. Teman-teman menunggu di sana.” Kalau kita tidak memetakan hidup, maka kita akan setuju. Tetapi, kalau kita memetakan waktu hidup dengan baik, kita akan mempertimbangkan, apakah ini menguntungkan untuk perjalanan hidup saya atau tidak. Apalagi kalau kita sudah mulai belajar hidup di hadirat Allah, tentu kita akan mempertimbangkan, apakah ini merusak hadirat Allah atau tidak. Kalau tidak membawa berkat rohani, tidak usah. Kita harus serius. 

Kita harus menciptakan suasana dan mengatur suasana, bukan suasana yang mengatur kita.