Bapa di surga menghargai jiwa kita, lebih dari kita menghargai jiwa kita sendiri; Allah menghargai jiwa manusia lebih dari manusia menghargai jiwanya sendiri. Maksud “menghargai jiwa” adalah mengupayakan bagaimana jiwa tidak binasa di dalam api kekal. Kengerian api kekal itu melampaui yang bisa dipikirkan dan dibayangkan. Kuasa kegelapan berusaha menutupi realitas ini dan memandang remeh keterpisahan dengan Allah, sehingga oleh penyesatan kuasa kegelapan tersebut, banyak orang tidak menghargai jiwanya secara benar. Jangan kita pandang sepele atau remeh hal ini. Mungkin kita merasa telah menghargai jiwa kita secara benar, maka kita mau menjadi orang baik; tidak mau melakukan kejahatan, pergi ke gereja, mengambil bagian dalam aktivitas pelayanan, bahkan menjadi pendeta. Tetapi, belum tentu kita sudah menghargai jiwa kita.
Kalau kita bertumbuh di dalam kebenaran, cara berpikir kita diubah, kita memiliki pertemuan dengan Tuhan setiap hari, maka Allah mentransfer atau mengimpartasi perasaan dan pikiran-Nya, barulah kita bisa mengerti betapa berharganya jiwa dan keselamatan. Allah memiliki segala kekayaan, tetapi pasti yang paling disayangi oleh Bapa adalah Yesus. Demi keselamatan manusia, Bapa memberikan Putra Tunggal-Nya. Di sini jelas sekali betapa Allah menghargai jiwa manusia. Tetapi, manusia yang diselamatkan sering tidak menghargai jiwanya sendiri secara benar atau proporsional, sebab Iblis terus bermanuver untuk menyesatkan pikiran. Dengan belajar kebenaran dan mengalami banyak pencerahan, kita bisa mengerti perbandingan antara kekekalan yang indah dengan hidup kita hari ini.
Tidak ada artinya kekayaan, kebahagiaan, kehormatan, atau apa pun yang bisa kita raih dalam hidup ini, dibanding dengan kemuliaan kekal nanti. Sangat tidak ada bandingannya. Dan orang yang tidak bertumbuh dalam kebenaran, sama sekali tidak mengerti kemuliaan kekal dan tidak mampu menghayatinya. Fokus perhatian hidupnya tertuju kepada perkara-perkara fana, yang sama sekali tidak ada nilainya dibanding dengan kemuliaan Kerajaan Tuhan. Tuhan Yesus berkata, “Apa gunanya orang beroleh segenap dunia, kalau jiwanya binasa?” Oleh sebab itu, kita harus berusaha bagaimana memiliki keselamatan sebagai milik yang pasti; memiliki hak penuh masuk Kerajaan Surga. Keselamatan bukan sekadar diyakini, melainkan juga benar-benar dialami sejak kita hidup di bumi.
Menghargai jiwa secara benar akan membuat kita berani mempertaruhkan apa pun—tanpa batas—supaya kita memiliki keberkenanan di hadapan Allah. Orang yang menghargai nilai jiwa seperti Allah menghargai nilai jiwa manusia, akan berusaha menjadikan dirinya berkenan di hadapan Allah. Kita harus berani memperkarakan setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil, setiap perkataan yang kita ucapkan, renungan pikiran hati kita, cita-cita dan keinginan kita, apakah berkenan kepada Tuhan. Kalau kita sungguh-sungguh menghargai jiwa kita dan kita tidak mau terpisah dari Allah, kita mau bersama dengan Tuhan, bersama dengan Allah sejak di bumi ini dan tentu sampai kekekalan nanti, kita harus berani mempertaruhkan apa pun. Yang berharga dalam hidup ini hanya Tuhan. Ketika seseorang menghargai nilai jiwanya secara benar, ia bisa menghayati kasih Allah terhadap dirinya, dan akan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Ia tidak ingin melukai dan menyakiti hati-Nya.
Kalau kita melihat orang-orang yang hidup di dalam dosa; orang-orang yang tidak bergereja, orang-orang yang kita pandang fasik, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum, melanggar moral, dan nyata-nyata dijumpai jahat, kita melihat betapa mereka tidak menghargai jiwa mereka. Sebenarnya mereka sedang mempersiapkan diri masuk kebinasaan atau terhilang dari hadirat Allah selamanya, sampai pada tingkat mereka tidak mengenal diri mereka sendiri. Sama sekali tidak takut Tuhan dan tidak takut neraka. Betapa mengerikannya keadaan ini.
Iblis dengan kelicikannya juga bisa membuat kita sebenarnya dalam situasi yang berbahaya, tetapi kita tidak menyadari diri kita begitu. Kita membandingkan diri kita dengan mereka yang hidup di dalam kejahatan, dan kita tahu betapa mereka tidak takut Tuhan, tidak peduli neraka, sampai tidak menyadari keadaan diri kita yang sebenarnya. Dalam kelicikannya, Iblis bisa menipu kita. Oleh sebab itu, kita harus jujur dan minta penerangan dari Tuhan, apakah benar kita telah mengasihi jiwa dengan benar? Kita memang tidak melakukan kejahatan seperti mereka, yang nyata-nyata masuk neraka dan membawa diri mereka kepada kebinasaan. Tetapi, apakah benar kita dalam keadaan yang bersekutu dengan Allah?
Tanpa sadar, kita sering membandingkan diri dengan orang-orang yang jelas-jelas jahat, jelas-jelas meleset, bahkan jauh dari kebenaran. Tetapi, sebenarnya kita sendiri bisa dalam keadaan meleset juga; tidak presisi seperti yang Allah kehendaki. Dengan keadaan kita hari ini, apakah kita layak berjalan berdampingan dengan Tuhan? Jangan tertipu oleh diri kita sendiri. Firman Tuhan mengatakan hati manusia itu licik, lebih licik dari segala sesuatu. Bukan tidak mungkin Tuhan menangisi kita, menangisi pendeta-pendeta yang tidak presisi. Memang, meninggalkan dunia dan kesenangan-kesenangannya tidak mudah. Meninggalkan dosa yang mengalir di dalam daging kita pun tidak mudah. Tetapi kalau kita mengasihi jiwa kita, kita harus meninggalkan dosa.
Kalau kita mengasihi jiwa kita, kita harus meninggalkan dosa.