Skip to content

Mengandalkan Tuhan

Percayanya banyak orang tentang keberadaan Allah, sering kali hanyalah fantasi. Ketika seseorang diperhadapkan kepada persoalan-persoalan hidup, reaksinya dalam bertindak dan mengambil keputusan, baru tampak apakah ia benar-benar memiliki iman atau tidak; imannya asli atau palsu. Salah satu bukti dari ketidakpercayaan seseorang bahwa Allah itu ada adalah perasaan takut. Takut terhadap sesuatu yang seharusnya dia tidak perlu takut. Maka di dalam Kitab Wahyu, urutan pertama orang yang masuk neraka itu penakut. Allah besar, Allah ada, mengapa takut? Lalu mengapa kita harus khawatir dan cemas untuk sesuatu yang kita tidak perlu takutkan, khawatirkan, dan cemaskan? Ini bukan hal yang mudah. Tetapi lewat perjalanan waktu, kita mulai mengerti bagaimana mengandalkan Tuhan. Sebab, mengandalkan Tuhan itu tidak mudah, karena Tuhan tidak kelihatan. Kalau kita percaya Allah itu hidup, andalkan Dia. Kita tidak akan pernah memiliki otot-otot yang kuat, kalau tidak mengalami latihan.

Tuhan mau bukti seberapa kita menghormati Allah dengan mengandalkan Dia dan memercayai bahwa Allah itu ada. Hal ini akan jelas ketika kita ada di ujung maut, dimana akan sangat berbeda antara orang yang sudah biasa mengalami Tuhan karena mengandalkan Dia, dengan yang tidak. Jadi sekarang kalau kita menghadapi masalah-masalah berat, ingatlah Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Bagaimana mereka ditolong oleh Elohim Yahweh yang takhta-Nya tetap sama. Dia tidak berubah. Buktikan bahwa Allah itu ada. Jadi ketika kita takut, cemas, khawatir, sejatinya kita melecehkan kebesaran Tuhan. Memang, sering rasanya Tuhan tidak membela kita sesuai dengan skenario kita. Bahkan Tuhan sering seakan-akan tidak ada dan tidak peduli. Sejatinya, Tuhan punya jadwal dan cara yang tidak bisa kita atur. Coba bayangkan, bagaimana orang Israel di seberang Teberau. Tuhan sengaja membuat Firaun dan tentaranya memburu mereka, lalu mereka ada di pinggir laut Teberau yang kanan dan kirinya bukit. Tetapi Tuhan berkata, “Acungkan tanganmu, Musa. Ada Aku.”

Persoalan kita tidak sama dengan persoalan tokoh-tokoh iman Perjanjian Lama, tetapi karakter Allah tidak berubah. Allah pasti akan menunjukkan sifat, karakter, hakikat-Nya; yaitu tidak pernah meninggalkan kita. Saat ini mungkin kita sedang ada dalam kondisi paling kritis. Tentu kita harus berusaha maksimal untuk menyelesaikan masalah yang ada. Namun, kita tidak perlu merasa takut. Sebab keadaan terburuk apa pun, itu baik. Inilah yang dinamakan memercayai pribadi Allah. Bukti ketidakpercayaan terhadap keberadaan Allah adalah kehidupan yang tidak benar atau tidak suci. Berbicara, berpikir, dan bertindak sembarangan. Dulu mungkin kita seperti itu, tapi sekarang jangan. Kita mau berkompetisi untuk bisa hidup sekudus-kudusnya. Supaya kalau kita ada di hadapan Allah, kita tahan berdiri. Memang, iman itu segala sesuatu yang kita lakukan yang selalu sesuai dengan kehendak Allah. Maka, baiklah mulai sekarang kita merajut hidup kita menit ke menit, agar hidup kita menjadi menarik. Jangan lakukan apa yang tidak patut.

Orang yang bersikap sembarangan hidup terutama terhadap orang lain, mendatangkan kecelakaan bagi sesamanya; bermaksud mempermalukan, merugikan, menyakiti, pasti dia tidak percaya bahwa Allah itu ada. Sebaliknya, kalau kita berada di pihak yang disakiti, kita tidak boleh membalas. Kita harus diam, kalau kita percaya ada pemerintahan Allah yang hidup dan Ia memerintah. Jadi kalau ada ibu-ibu diperlakukan tidak adil oleh suami, pegawai-pegawai diperlakukan tidak adil oleh atasan atau mau disingkirkan oleh kolega, dikhianati oleh rekan bisnis, jangan membalasnya, sebab ada Allah yang hidup. 

Tapi ingat, pengaturan waktu dan caranya, tergantung Allah. Hal penting lainnya adalah jangan sampai kita mengharapkan kecelakaan sesama. Seseorang yang menghayati keberadaan Allah, ketika ia menghadapi kesucian Allah, dosa sekecil apa pun yang dia lakukan jadi begitu besar. Sebaliknya, ketika ia melihat kesalahan orang, menjadi begitu kecil dibanding kesalahannya. Di lain pihak, seseorang yang imannya sebenarnya palsu, dia akan takut, khawatir, cemas, hidup tidak benar, sewenang-wenang terhadap orang lain, dan pasti tidak memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu bagi Tuhan.

Sejatinya, kalau kita percaya bahwa Dia hidup, kita harus “cari muka.” Mumpung kita masih hidup, kita berkata, “Apa yang harus aku lakukan, Bapa?” Supaya waktu kita nanti bertemu dengan Tuhan muka dengan muka, kita sudah menyelesaikan apa yang kita memang harus selesaikan. Kita yang harus menyodorkan diri, “apa yang harus kulakukan, Tuhan? Apa bagian hidupku yang ada padaku hari ini, yang belum kuserahkan?” Kita berutang kepada Tuhan. Pada akhirnya, kalau kita percaya Allah itu ada, kita percaya surga juga ada. Jikalau kita benar-benar bergantung kepada Tuhan, hidup benar, dan melayani Dia, kita tahu kita akan datang ke Rumah Bapa. Dia masih hidup dan tetap hidup selamanya. Dari kekal sampai kekal, Dia Allah yang hidup. Jangan takut. 

Tentu hal ini harus disertai dengan hati yang mengasihi Allah, hati yang menghormati Allah. Bukan hanya dengan pujian, melainkan juga dengan perbuatan dan tindakan konkret nyata dalam keseharian kita. Jangan bersikap kurang ajar terhadap Tuhan. Orang yang tidak percaya keberadaan Allah adalah orang-orang yang malang, yang tidak memiliki pegangan, naungan, dan perlindungan. Dalam kelicikannya, kuasa gelap menyesatkan banyak orang dengan memberi pengertian seakan-akan mereka adalah orang-orang yang sudah percaya Allah, padahal mereka belum percaya.

Tuhan ingin bukti seberapa kita menghormati-Nya dengan mengandalkan dan memercayai bahwa Allah itu ada.