Sebenarnya Kerajaan Allah sudah hadir, tapi karena kita belum mengalami perubahan, kita tidak memiliki kemampuan untuk menembus batas. Ada kekhawatiran, karena kita menyadari betapa sulitnya memiliki kesediaan untuk benar-benar memindahkan hati kita di Kerajaan Surga. Kalau bangsa Israel mengalami perjalanan dari Mesir ke Kanaan, itu perjalanan jarak. Tapi kalau orang Kristen menuju Kanaan surgawi; itu bukan jarak, melainkan perubahan. Banyak perubahan, sampai kita layak menjadi mempelai Tuhan, menjadi perawan suci.
Yang kita khawatirkan, banyak orang tidak sanggup. Banyak orang tidak mau; tidak tekun, tidak sanggup, tidak mampu, karena kita tahu dan mengalami sendiri, betapa sulitnya hal ini. Tetapi kalau kita sudah bisa melangkah, pasti bisa. Sekarang, apa yang kita pandang dalam kehidupan sehari-hari sulit dilakukan? Misalnya, orang yang tidak bisa berenang, kagum kepada orang yang bisa berenang. Main piano, main saxofon, atau main flute, kita rasa sulit. Tapi kalau kita mau melangkah belajar, nanti tahap demi tahap, kita pasti bisa. Kalau mau masuk, mau belajar, lama-lama pasti bisa.
Ini sebuah keniscayaan, artinya sesuatu yang mungkin dan bisa kita lakukan. Jadi, perhentian itu tidak dimulai nanti setelah kita mati. Perhentian itu sudah kita mulai sejak kita di bumi. “Datanglah Kerajaan-Mu;” sebelum kita masuki Kerajaan Surga itu, sudah kita rasakan suasananya sejak di bumi ini. Oleh sebab itu, proses yang harus berlangsung dan kita alami dalam hidup adalah proses perubahan dari kodrat manusia—yang suasana dan selera jiwanya ditopang oleh hal-hal duniawi—menjadi seorang yang rohani (berkodrat ilahi), dimana sukacita kita adalah sukacita di dalam Roh Kudus.
Ini yang akan mengubah kita. Kekristenan baru benar-benar menjadi jalan hidup, ketika kita sungguh-sungguh mengalami ini. Firman Tuhan mengatakan: “Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman,” ini hal yang bersifat duniawi, fisik, “tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus.” Orang Kristen yang bertumbuh dengan benar dan mengalami perubahan kodrat, selain perilakunya akan benar-benar menjadi istimewa, suasana jiwanya pun tidak ditentukan oleh dunia ini. Ini orang-orang yang memiliki Kerajaan Allah. Bukan saja nanti setelah mati boleh masuk surga, tapi juga sejak sekarang sudah memiliki Kerajaan itu.
Maka Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “jangan kuatir, hai kawanan kecil, karena Bapamu berkenan memberikan kerajaan ini kepadamu.” Sejak kapan? Ya, sejak sekarang, suasana Kerajaan Allah sudah kita alami. Ingat, ikan air asin atau laut tidak bisa dimasukkan ke dalam air tawar. Sebaliknya, juga pasti jika ikan air tawar dimasukkan ke air laut, mati. Tidak mungkin kalau kita masih yang berkodrat duniawi, masuk surga. Makanya hal masuk surga atau masuk neraka itu bukan sekadar sebuah keyakinan, melainkan sebuah pengertian, pengalaman yang konkrit kita alami, kepastian yang kita miliki.
Tidak sedikit orang berkata “saya masih duniawi.” Dengan berkata begitu, dia pikir dia sudah jujur, lalu Tuhan menerima keadaannya. Mungkin kalau dia masih baru menjadi Kristen, Tuhan bisa menolerir. Tapi kalau sudah sekian puluh tahun menjadi orang Kristen lalu berkata: “terus terang, saya masih duniawi,” pasti akan dipertanyakan, kenapa tidak keluar dari keadaan tersebut? Tidak mungkin Roh Kudus tidak memberitahu kekurangan apa yang ada pada kita, yang itu mendukakan hati Allah. Kebiasaan bicara, perilaku, sikap hati yang tidak berkenan di hadapan Allah, pasti Roh Kudus memberitahu, tidak mungkin menjadi teka-teki silang yang sulit dijawab. Roh Kudus pasti berbicara kepada kita.
Lagipula kalau Firman Tuhan mengatakan atau mengajarkan kita agar kita membuka diri diperiksa oleh Tuhan, “kenali aku,” pasti Tuhan akan memberitahu. Demikian pula mengenai suasana perasaan kita, pasti Tuhan memberitahu. Jika kita masih terikat dengan perkara-perkara dunia yang membelenggu kita sehingga kita tidak bisa menembus batas, menghadirkan Kerajaan Allah, tidak bisa mengalami suasana Kerajaan Surga, Roh Kudus pasti beritahu. Masalahnya, seberapa kita sungguh-sungguh mau benar-benar masuk ke dalam perhentian Tuhan?
Ada orang-orang yang dari kecil Kristen, tapi sampai tua tidak menembus batas. Sudah menjadi aktivis, bahkan jadi pendeta, tapi belum menembus batas. Suasana Kerajaan Surga yang mesti dialami, itu bisa digantikan digantikan dengan pseudo atau kepalsuan. Hadirat Allah yang pseudo; yang palsu. Sukacita yang palsu, damai yang palsu. Kalau kita di gereja mengatakan “damai Tuhan, hadirat Tuhan, sukacita Tuhan,” itu sering abstrak atau fantasi. “Hadirat-Nya sukacita,” tapi kita sebenarnya tidak sungguh-sungguh menikmati sukacita itu, karena kita masih berkodrat duniawi dalam hidup keseharian.
Bagi pendeta, suasana kebaktian, jemaat banyak datang, musik bagus, ada penampilan, membuatnya merasa senang dan sukacita. Itu bukan sukacita surgawi. Itu sarat dengan egoisme dan keangkuhan, tanpa disadari. Jemaat banyak, senang. Kolekte banyak, lebih senang. Lalu, senang karena berkumpul dengan para aktivis. Bukan tidak boleh, memang mestinya ada kebersamaan itu. Tapi di luar sana juga ada klub-klub yang menghadirkan suasana senang. Bedanya apa? Setiap individu harus mengalami suasana Kerajaan Surga, yaitu ketika dia melepaskan keterikatan.
Setiap individu harus mengalami suasana Kerajaan Surga, yaitu ketika dia melepaskan keterikatan.