Seorang yang sungguh-sungguh mencari Tuhan, pasti menemukan Tuhan. Standar “menemukan Tuhan” harus dipahami dengan benar. Menemukan Tuhan berarti mengalami perjumpaan dengan Tuhan secara riil, bukan fantasi. Bukan hanya suatu kejadian yang dimaknai sebagai perjumpaan dengan Allah, melainkan seluruh jiwa raganya benar-benar mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Tuhan berfirman, “Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku. Apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.” (Yeremia 29:13)
Sering kali apa yang kita pahami sebagai perjumpaan dengan Tuhan, ternyata hanya fantasi yang kita akui sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Atau suatu kejadian yang dimaknai sebagai perjumpaan dengan Tuhan, tetapi kita tidak yakin bahwa itu benar-benar suatu perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan juga bisa bertahap. Dari tipis, halus, sampai tebal dan kuat. Menemukan Tuhan adalah mengalami Tuhan secara riil, sehingga seluruh jiwa raga kita mengakui bahwa itu perjumpaan dengan Allah. Orang seperti ini pasti memiliki kesaksian di dalam pribadinya mengenai perjumpaan dengan Allah. Belum tentu harus dijelaskan kepada orang lain, tetapi dia tahu dia mengalami nyata perjumpaan dengan Allah dan pasti hidupnya tidak sama dengan orang lain.
Banyak orang sebenarnya belum menemukan Allah, tetapi tidak berusaha untuk menemukan Allah. Kalaupun berusaha menemukan Allah, dianggap usaha menemukan Allah, dia pun tidak memenuhi yang dikatakan di dalam firman Tuhan: segenap hati. Allah tidak bisa dianggap murahan. Ketika seseorang memandang Tuhan murahan, Tuhan bisa diam. Tentu Tuhan akan menasihati, mengingatkan. Tetapi, kalau orang tersebut tetap tidak mau mengerti, Tuhan bisa membiarkan. Sebagai akibatnya, tidak menemukan Tuhan. Coba kita melihat bagaimana tokoh-tokoh iman Perjanjian Lama yang juga bisa menjadi model kehidupan iman kita. Tentu episentrumnya; pusat kebenarannya pada diri Yesus.
Henokh, Abraham, Musa, Ayub bergaul dengan Allah. Ada perjumpaan, interaksi dengan Allah dan hidup mereka berbeda dengan orang lain. Contohnya Daniel, Sadrakh, Mesakh, Abednego, Elia, Elisa, Yusuf. Benar-benar Allah hidup dalam hidup mereka. Kita tidak membaca detail kehidupan Yusuf. Dari hari ke hari tidak ada data detailnya. Tetapi ketika dia bisa menafsirkan mimpi, dia bisa mengambil keputusan yang begitu cerdas untuk menyelamatkan Mesir dari kekeringan, menunjukkan bahwa dia luar biasa. Dan itu pasti karena perjumpaannya dengan Tuhan. Orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan, tidak mungkin tidak luar biasa. Orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan, pasti luar biasa.
Tetapi, banyak orang masih merasa aman, tenang, damai padahal belum mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Kalaupun dia merasa mengalami perjumpaan dengan Tuhan, dia hanya memaknai hal-hal tertentu dari pengalaman hidupnya sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Itu memang bisa merupakan perjumpaan dengan Tuhan, tetapi masih tipis, belum kuat. Tuhan menyediakan diri untuk dikenal, dan orang percaya dapat mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang kuat, yang tebal. Bagi yang memiliki pengetahuan teologi, sering mereka cenderung puas dengan pengetahuan teologi yang dimiliki, apa yang dia pahami tentang Tuhan.
Konyolnya, di Sekolah Tinggi Teologi yang lebih mengedepankan rasio, pengalaman dengan Tuhan dipandang sebagai subjektivitas yang membahayakan, tidak valid, tidak sah, tidak tepat dalam berurusan dengan Allah. Bayangkan kalau seorang pembicara sudah demikian, bagaimana dengan jemaat? Kita harus dengan segenap hati mencari Tuhan. Tidak boleh merasa puas dengan pengalaman yang kita miliki, yang selama ini dimaknai sebagai perjumpaan dengan Tuhan. Itu bisa fantasi. Memang bisa merupakan perjumpaan dengan Allah, tetapi masih tipis. Kalau masih tipis, masih belum berkualitas tinggi, maka tidak akan memberi dampak yang kuat di dalam hidup. Perjumpaan dengan Allah pasti membuat seseorang luar biasa; tidak mungkin biasa-biasa saja.
Kalau perjumpaan itu benar dan seseorang berjalan dengan Tuhan secara benar, berjalan dengan Sumber Hidup, Sumber Hikmat, Sumber Marifat, Sumber Berkat, pasti luar biasa. Jangan sampai kita merasa sudah cukup dengan apa yang telah kita pahami tentang Allah, atau yang telah kita alami mengenai Tuhan. Harus ada kehausan akan Tuhan. Bagi para teolog, jangan karena kaya dengan argumentasi atau pengetahuan tentang Allah, sehingga tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Banyak orang, termasuk hamba-hamba Tuhan, merasa cukup dengan pengetahuan tentang Allah yang dia miliki. Dari peta hidupnya, kita sudah bisa mengukur. Atau dari kehidupannya, nampak peta hidupnya. Jelas, belum berjumpa dengan Tuhan. Tidak ada keelokan atau keindahan yang memancar. Kalau seorang hamba Tuhan, akan lebih jelas lagi. Tidak “basah” pada waktu berkhotbah. Tidak ada belas kasihan yang dalam untuk orang lain. Tidak ada kesucian yang memancar. Kehidupannya tidak menjadi berkat, tidak bisa berbagi untuk orang lain. Kering kerontang. Siapa pun kita, kalau mengalami perjumpaan dengan Tuhan, pasti luar biasa. Tuhan pasti membuat kita luar biasa. Tidak mungkin kita dibuat Tuhan terpuruk.
Orang yang mengalami perjumpaan dengan Tuhan, pasti luar biasa.