Percaya kepada Tuhan dan semua yang difirmankan-Nya adalah mutlak. Tetapi percaya kepada gereja dan pemberitaan firmannya, juga penting. Sebab Alkitab terdiri dari huruf, kata, kalimat yang tidak bisa berbicara sendiri, harus disuarakan, harus diucapkan, harus dibunyikan. Tentu di dalamnya ada proses interpretasi atau penafsiran, ada usaha untuk mengeksegesis Alkitab, yang mana dalam hal ini dibutuhkan hermeneutik; studi memahami ayat Alkitab. Tetapi yang lebih penting lagi, pimpinan Roh Kudus. Apakah gereja tersebut berfungsi sebagai juru bicara-Nya—yaitu pendeta yang berkhotbah betul-betul hidup di dalam pimpinan Roh Kudus—sehingga apa yang dikemukakan benar-benar suara Tuhan?
Jadi bukan hanya format literal yang sudah baku yang menjadi standar kegiatan gereja. Seorang calon pendeta sekolah teologi belajar teologi. Lalu setelah lulus, dengan pengetahuan teologinya di dalam nalar secara kognitif, ia berkhotbah dari literatur yang dibaca, dari konten yang diterima di ruangan kuliah. Kalau hanya begini, maka ayat-ayat di dalam Alkitab masih menjadi kalimat-kalimat mati yang tidak berkuasa mengubah. Maka, yang penting dan mutlak, adalah pimpinan Roh Kudus. Tuhan Yesus berkata dalam Yohanes 6:33, “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Yang dimaksud “daging” di sini adalah aktivitas nalar, aktivitas intelek dalam lingkup akademis.
Kalau dalam terjemahan bahasa Indonesia dikatakan, “Perkataan-Ku itu Roh dan hidup.” Tetapi dalam terjemahan King James, “Dan mereka itu hidup;” sesuatu yang dinamis, bukan hanya di kepala, tetapi dalam kehidupan. Hal itu bisa terjadi kalau ada karya Roh Kudus. Jadi, ayat Alkitab menjadi suatu benda mati, apabila orang itu tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan; yang tentu dalam hal ini Bapa dan Anak diwakili oleh Roh Kudus dalam karya-Nya. Ingat, untuk bisa berinteraksi dengan Roh Kudus, maka seseorang harus memiliki ruangan perjumpaan; yaitu doa. Bukan hanya waktu mau makan, mau tidur, tetapi ada waktu untuk benar-benar menyediakan ruangan fisik, ruangan waktu, ruangan perhatian untuk bertemu Tuhan. Kalau percaya Allah itu hidup dan Dia berjanji menyertai kita sampai kesudahan zaman, berarti Ia bisa ditemui. Suatu kehormatan untuk bisa menjumpai Tuhan.
Tanpa doa, tanpa hubungan dengah Roh Kudus, bisa saja seorang pendeta berkhotbah. Dan jemaat bisa menangkap mind to mind, tapi spiritnya tidak diubah. Buktinya, orang yang rajin berdoa sulit berbuat dosa. Bisa, tetapi sulit. Sampai tidak bisa berbuat dosa. Keindahan dunia makin pudar di matanya. Dia akan mengalami Tuhan. Sampai nanti kalau kita bertumbuh dewasa, kita bisa menemukan unsur-unsur duniawi yang masih melekat di dalam diri kita, yang tidak mudah padam. Tetapi kita serius untuk terus memadamkan, sampai waktu menghadap Bapa, kita dijumpai berkenan. Ayat-ayat Alkitab itu menjadi hidup, oleh Roh Kudus yang menjelaskannya. Bahkan bukan tidak mungkin perasaan si penulis atau perasaan aktor, pelaku, pemeran bisa kita rasakan. Roh Kudus yang menolong.
Bagaimana ketakutannya Yusuf ketika masuk sumur, namun diangkat naik kembali. Dia pikir selamat, ternyata dibawa ke Potifar. Di sana Yusuf menjadi ketua para pelayan, Yusuf pikir inilah waktunya di mana mimpinya akan terwujud. Namun, tidak lama kemudian dia masuk penjara. Kita bisa ikut merasakan betapa kecewa dan sepinya dia, tetapi ternyata itu adalah tangga menuju puncak. Jadi waktu dia turun, turun, turun, lalu lompat dia, kita bisa menghayatinya. Kalau kita sedang dalam kondisi turun, tenang saja. Ada saatnya kita akan melompat. Tetapi kita harus hidup seperti Yusuf yang takut akan Allah. Sejak muda, dia takut akan Allah. Dia tidak ikut terlibat dengan kejahatan kakak-kakaknya.
Hidup harus benar. Firman menjadi hidup waktu kita menikmatinya. Kita bukan hanya menganalisa dengan nalar, dengan eksegesis, hermeneutik melainkan dengan roh yang menghidupkan firman. Maka, khususnya para pendeta, mutlak hidup suci. Duduk diam di kaki Tuhan itu mutlak. Sebagai jemaat, kita harus berusaha untuk sungguh-sungguh berinteraksi dengan Allah. Jangan sedikit-sedikit berteriak, “Pak Pendeta, tolong doakan. Pak Pendeta, tolong sampaikan ke Yesus.” Maka, harus menjadi habit, semua jemaat harus berdoa. Firman menjadi hidup. Entah bagaimana, khotbah-khotbah yang kita dengar, jika itu dari Roh Kudus, akan digemakan, disuarakan. Kalau itu firman dari Roh Kudus, pasti mengubah.
Kita akan bisa menilai dan membedakan apakah seseorang itu dipimpin Roh Kudus atau tidak. Maka, kita juga harus punya nurani. Namun kita tidak pernah bisa menjadi rohani sebelum memindahkan hati di Kerajaan Surga; hatinya masih di bumi. Ingat firman yang mengatakan, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Sejujurnya, rata-rata hati kita masih dibelenggu oleh percintaan dunia. Ibarat orang sakit, kita belum sembuh total. Puji Tuhan kalau kita terus mengalami perubahan. Kita ini seperti bangsa Israel, dari Mesir ke Kanaan. Kalau bangsa Israel harus menempuh jarak, sedangkan kita menempuh perubahan. Hari demi hari, kita harus semakin melepaskan ikatan dan belenggu, sampai akhirnya kita benar-benar tidak merasa punya kesenangan kecuali Tuhan.
Hari demi hari kita menempuh perubahan di mana kita harus semakin melepaskan ikatan dan belenggu dunia, sampai akhirnya kita benar-benar tidak merasa punya kesenangan kecuali Tuhan.