Di dalam Kitab Roma 3:23, firman Tuhan mengatakan “karena semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah, oleh karena telah berbuat dosa.” Dosa membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah. Di sini kita akan melihat, yang pertama, “dosa” di dalam perspektif Kristen adalah ketidaktepatan atau kemelesetan. Kemelesetan, dari kata dalam bahasa Yunani, hamartia. Bukan hanya melanggar hukum, tetapi tidak melakukan tepat seperti yang Allah kehendaki. Konsep dosa di dalam Perjanjian Lama adalah pelanggaran terhadap hukum. Orang yang tidak melanggar hukum, belum tentu meleset. Memang secara hukum yang tertulis, ia tidak melanggar. Tetapi kalau ditinjau dari ketepatan bertindak, ia masih meleset. Dosa ini membuat manusia kehilangan kemuliaan. Jadi, “kemuliaan” yang dimaksud di sini adalah keadaan dimana manusia tidak meleset; keadaan dimana manusia memiliki batin yang selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Seiring dengan menanggulangi kemelesetan ini, seiring dengan keberhasilan menyelesaikan kemelesetan ini, maka kemuliaan juga diperoleh. Semakin tidak meleset, semakin seseorang mulia.
Jadi kita tidak boleh memandang bahwa kemuliaan itu hanya nanti, setelah kita meninggal dunia. Kalau di dalam Roma 8:17 firman Tuhan mengatakan bahwa kita akan dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus, artinya kita akan menerima kemuliaan bersama dengan Tuhan Yesus, itu adalah “kita akan memperoleh jabatan, keagungan, bersama-sama dengan Tuhan Yesus.” Yesus akan dimuliakan. Setiap lutut bertelut dan lidah mengaku bahwa Yesus adalah penguasa; kurios, Tuhan bagi kemuliaan Allah. Oleh karenanya sejak di bumi kita juga sudah harus mulia, kemelesetan sudah harus ditanggulangi di sini. Semakin dosa ditanggulangi, semakin kita memiliki kemuliaan. Maka, kalau orang tidak mulia sejak hidup, ia tidak akan dimuliakan di kekekalan. Jadi, kemuliaan seseorang atau keagungan seseorang itu bukan pada kekayaan, kedudukan, gelar, penampilan, atau apa pun, tetapi kemuliaan seseorang terdapat pada ketepatan dia bertindak, ketepatan dia berperilaku. Makanya kita belajar untuk berhati-hati terhadap apa yang kita pikirkan, berhati-hati terhadap apa yang kita ucapkan, berhati-hati atas setiap keputusan, atas setiap pilihan, rencana, keinginan, ambisi, dan lain sebagainya. Karena di situlah letak kehormatan kita, letak keagungan kita, letak kemuliaan kita.
Pada umumnya manusia telah sesat. Membangun kemuliaan di atas kekayaan, kehormatan, kedudukan dan kekuasaan, penampilan, dan lain sebagainya. Bahkan ketika kita ada di lingkungan pelayanan, kita masih mengharapkan ada kehormatan di dalam pelayanan tersebut, dan itu tidak kita sadari. Ada ambisi-ambisi yang kita sendiri tidak sadari, yang mengarahkan kita di dalam bertindak, dalam mengambil keputusan. Kita telah bersalah di situ. Setelah kita sadar, kita mau bertobat dan berubah meskipun tidak mudah. Karena kita sudah terlalu lama hidup dengan irama yang salah tersebut. Perlu diingat bahwa seseorang itu tidak bisa baik mendadak; sebaliknya juga, tidak bisa menjadi jahat mendadak. Hanya dunia kita akan lebih mudah membuat orang menjadi jahat. Jadi, mungkin kita merasa sudah mulia karena kehormatan yang kita sandang—gelar, kedudukan, kekayaan dan lain sebagainya—tetapi sebenarnya jika ditinjau dari mata Allah, kita tidak mulia.
Mudah kita mengatakan di gereja atau pada waktu kita kebaktian, “Bapa, aku mau indah di mata-Mu dan mulia dalam pandangan-Mu.” Itu hanya ucapan saja, tetapi kita tidak sungguh-sungguh mau bergumul untuk mencapai atau meraih kemuliaan itu. Sejatinya, tanpa sadar kita mempermainkan Tuhan. Sebab pada waktu kita menjalani hari-hari hidup, kita tidak sungguh-sungguh mau menyelesaikan keadaan diri kita yang tidak mulia itu. Sembarangan dengan apa yang kita ucapkan dan apa yang kita lakukan. Makanya kalau kita berbuat salah, sesungguhnya yang menjadi persoalan bukan kesalahan atau dosa itu sendiri, tetapi adanya potensi dosa yang masih ada dalam diri kita yang bisa membuahkan atau menciptakan atau memproduksi atau “beranak” perbuatan yang salah lainnya. Kita harus sadar yang membuat Allah berduka bukan hanya perbuatan dosa yang kita lakukan, tapi potensi dosa yang masih mencengkeram kita. Yang mungkin belum terwujud di dalam tindakan, tetapi ada di dalam diri kita. Jadi sebelum menghasilkan buah dosa, potensi dosanya harus sudah kita tanggulangi. Ketika ada rangsang dosa dan mulai muncul niat, hal tersebut harus kita tanggulangi supaya potensi itu tidak muncul lagi. Seperti botol yang kelihatannya bersih, tapi kalau diaduk-aduk, baru keluar kotorannya. Manusia pun begitu, sabar kelihatannya karena belum disakiti. Itu juga kita sadar, namun di saat-saat tertentu hal-hal tersebut dapat muncul kembali. Ketika perasaan kita tersinggung, harga diri kita disentuh, direndahkan, atau dilecehkan. Jangan sampai kita membuahkan dosa, kita menyelesaikannya dengan menyangkal diri.
Sebelum menghasilkan buah dosa, potensi dosanya harus sudah kita tanggulangi