Orang bisa bicara mengenai kelahiran baru dengan berbagai konsep penjelasan secara sistimatis karena menguasai sistimatika teologi, tapi sering kali itu hanya menyentuh di pikiran. Dan itu telah berlangsung selama berabad-abad. Sekarang kita mau menyentuh hati, makanya kita mencari Tuhan. Logika, kita gunakan maksimal. Tapi perasaan, juga kita gunakan secara maksimal. Untuk itu, kita berdoa setiap pagi, mengikuti kebaktian doa, dan berpuasa. Kita berpuasa bukan karena mau mengalami mukjizat saja, melainkan yang terutama karena kita mau mendapat pencerahan.
Kita sendiri harus berubah; mengalami kelahiran baru yang dibuktikan dengan menjadi manusia baru. Kita bisa melihat naluriah manusia kita sendiri, apakah masih ada marah, benci, dendam kepada orang, yang jelas-jelas itu adalah karakter setan. Bahkan, berbuat baik pun kita harus pertanyakan, “Apakah Tuhan mau saya lakukan ini?” Karena, jangan-jangan itu bukan dari Tuhan, melainkan ada motif-motif tertentu di hati kita. Sebagai anak-anak Allah, kita hanya memperagakan maunya Tuhan, mengekspresikan perasaan Tuhan; melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan. Makanya, kalaupun kita berbuat sebaik apa pun, kita tidak bisa sombong. Karena kita hanya memperagakan apa yang Tuhan kehendaki untuk kita peragakan. Itulah ciri manusia baru.
Jadi kalau kita berkata, “miliki pikiran, perasaan Kristus,” itu sama dengan “jadilah manusia baru dengan standar Yesus.” Namun, banyak orang percaya yang keadaannya jauh dari standar ini. Sayangnya, mereka tidak menyadarinya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggumuli, dan tidak memandang ini sebagai hall penting dan mendesak. Dalam Efesus 4:22 dikatakan, “yaitu bahwa kamu berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan.” Berapa persen manusia lama yang belum kita tanggalkan? 30% atau masih 100%?
Sejatinya, menanggalkan 100% manusia lama itu tidak mudah. Tapi ingat, dalam stadium tertentu, kita akan tidak bisa diubah lagi. Kalau lingkungan kita buruk, manusia lama kita pun buruk dan jahat menurut pandangan ukuran moral umum. Siapa yang bertanggung jawab menanggalkan manusia lama kita? Tentu saja diri kita sendiri. Kita yang harus menanggalkan manusia lama itu setiap hari, bahkan setiap saat. Ketika kita berbuat baik dan kita merasa senang, itu bisa berasal dari manusia lama kita. “Baik” memang, menurut moral umum. Tapi, bukan mengekspresikan perasaan Tuhan. Untuk orang Kristen baru, Tuhan senang-senang saja. Tapi kalau kita sudah mestinya akil baligh, seharusnya kita tidak lagi berbuat baik karena mau berbuat baik. Kita berbuat baik karena Allah kita mau berbuat itu.
Ada orang yang demi masa depannya mengikuti kursus—montir, ikan hias, salon, dan lain sebagainya—agar masa depannya lebih terjamin. Berapa pun harganya, dia bayar. Bagaimana dengan kita? Berapa harga yang berani kita bayar untuk merias manusia rohani kita demi hidup kekal? Supaya kita diperbarui dalam roh dan pikiran kita, sehingga segala sesuatu yang kita lakukan, karena Tuhan menghendakinya. Makanya saat kita mau mengambil keputusan, jika kita sudah melekat dengan Tuhan, dengan kecepatan tinggi kita bisa tahu. Tapi ada saatnya kita harus berdiam diri dan mempertanyakan, “apa yang Tuhan mau harus kulakukan?” Kadang-kadang kalau urusan dengan keluarga—karena ada ikatan keluarga yang menimbulkan rasa sentimentil—kita sering mengambil keputusan di luar pikiran Allah.
Kita harus benar-benar menjadi wakil Tuhan yang mengekspresikan pikiran, perasaan dan tindakan Tuhan. Mungkin kita mantan penjahat, orang berdosa, bobrok, rusak, namun kalau kita mengikuti proses yang dikerjakan Roh Kudus sampai lahir baru, kita pasti akan sukses. Kalau Perjanjian Lama berkata, “yang kuingini Engkau saja,” terus terang kita tidak tahu konsep Mazmur 76 itu seberapa dalam. Tapi kalau kita berkata, “yang kuingini Engkau saja,” berarti kita mau mengenakan karakter-Nya, pribadi-Nya, dan hidup-Nya dalam hidup kita. Makanya kita harus selalu dipandu, dimentor, dinasihati, dibimbing, dituntun oleh Roh Kudus. Kalau hanya kebaktian seminggu sekali lalu kembali ke dunia, kita akan tetap menjadi anak dunia atau dibelenggu dengan prinsip-prinsip hidup anak dunia.
Kita harus menanggalkan manusia lama itu setiap hari, bahkan setiap saat.