Sejujurnya, kita bisa mengakui ada saat-saat dimana kita meragukan atau agak meragukan penyertaan Tuhan di dalam hidup kita, terutama pada saat dimana kita mengalami kesulitan bertubi-tubi; persoalan satu belum selesai, muncul persoalan yang lain. Persoalan kedua belum selesai, muncul persoalan ketiga. Kita sudah berdoa, kita sudah berusaha mendekat kepada Tuhan, tetapi kita tidak melihat tanda-tanda kehadiran Tuhan dan tanda-tanda pertolongan-Nya. Pasti kita pernah mengalami keadaan itu, atau mungkin sekarang ini kita sedang mengalami keadaan tersebut. Dan sangat besar kemungkinan di waktu mendatang, kita juga akan mengalami keadaan tersebut. Situasi seperti itu, membuat kita sebagai orang percaya, tertekan. Untuk itu, kita dapat mengelompokkannya dalam 3 kelompok:
Yang petama, orang di luar orang beriman. Ketika mereka menghadapi persoalan bertubi-tubi, mereka bisa marah terhadap keadaan. Dan tentu mereka memiliki banyak alasan untuk mempersalahkan siapa saja yang dipandang menjadi penyebab persoalan itu. Mereka tidak peduli Tuhan karena memang dia tidak berurusan dengan Tuhan. Ia tidak membenarkan Tuhan, dia juga tidak mempersalahkan Tuhan, karena memandang Tuhan tidak ada atau tidak perlu ada. Kelompok ini jelas kurang ajar. Bersungut-sungut dan marah. Seperti Kain yang membunuh adiknya, Habel, karena tidak bahagia dengan situasi hidupnya. Menyalahkan orang, lalu melampiaskan kemarahannya dengan tindakan yang salah.
Yang kedua, orang percaya yang selama ini berurusan dengan Tuhan, rajin datang ke gereja, taat berpuasa dan berdoa. Tetapi ketika mereka menghadapi masalah tersebut, mereka mempersoalkannya dengan Tuhan namun kalau jujur mereka pun berkata, “Mengapa, Tuhan? Mengapa?” Mereka marah, tapi terselubung. Dengan satu tuduhan terselubung kepada Tuhan, “Engkau mencelakai aku. Engkau membuat aku sulit, Engkau membuat aku susah.” Memang tidak diucapkan. Tetapi ada orang-orang Kristen yang tidak marah terhadap Tuhan semacam itu, dia hanya diam. Diam bingung, dan tentu tidak bisa bersyukur. Dia juga bertanya, “Mengapa?” Dia tidak mempersalahkan Tuhan, dia bingung. Namun dia juga tidak bisa mengucap syukur. Kelompok ini adalah orang Kristen yang bersikap kekanak-kanakan, tidak dewasa. Jadi pada waktu mendapat berkat, waktu memiliki keadaan yang baik-baik, kita mengatakan “Allah baik” dengan nilai 100. Tetapi dalam situasi dimana kita mengalami kesulitan bertubi-tubi, kita bisa juga mengatakan “Allah itu baik,” tapi tidak 100. Kabur, angka 100 nya. Kalau jujur, mungkin 60.
Yang ketiga, orang percaya yang tahu dan yakin bahwa Allah sempurna dalam segala keputusan dan tindakan-Nya. Kita bukan hanya bisa berkata bahwa Allah itu baik, tetapi memercayai-Nya bahwa Dia baik. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita, tidak mungkin tidak mendatangkan kebaikan. Mungkin kita bisa tidak mengerti mengapa hal itu terjadi, tetapi kita bisa percaya. Masalahnya adalah bagaimana kita bisa percaya? Sejatinya, kita harus tetap bersukacita di dalam Tuhan. Seperti yang dikatakan di dalam firman Tuhan, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita,” Efesus 5:20. Kita mesti bersikap dengan benar.
Ini sangat sulit. Menyampaikan khotbah seperti ini tentu lebih mudah dibanding ketika kita menghadapi langsung masalah bertubi-tubi, seakan-akan masalah itu memaksa kita untuk marah terhadap Tuhan atau membawa kita di situasi bingung. Tetapi, kita harus termasuk di dalam kelompok ketiga ini. “Aku percaya kepada-Mu, walau ku tak mengerti.” Masalahnya adalah bagaimana bisa memiliki percaya dalam situasi seperti itu? Ini yang menjadi pergumulan hidup kita. Bagaimana kita tidak mencurigai Tuhan, melainkan tetap memandang bahwa Tuhan itu baik. Maka ketika kita menghadapi keadaan itu, kita tetap memuliakan Allah. Keadaan yang memaksa kita marah, keadaan yang memaksa kita menjadi bingung, tetapi kita tidak mau ditaklukkan oleh keadaan. Kita harus menaklukkan keadaan.
Di tengah-tengah badai yang bisa menyeret dan menerbangkan kita, kita berkata, “Engkaulah perlindunganku,” sementara kita gontai dan nyaris terbawa badai. Dan itu tidak mudah. Memang dalam situasi tidak ada masalah, kita bisa mengatakan “Engkau perlindunganku.” Tetapi ketika kita mengalami masalah bertubi-tubi dan kita tidak melihat kehadiran Tuhan, tidak melihat campur tangan Tuhan, seakan-akan Tuhan melupakan dan meninggalkan kita, sejujurnya tidak mudah berkata “Engkaulah perlindunganku” dengan sikap hati yang benar. Maka kita harus memiliki hubungan batin dengan Tuhan secara benar; menyatu. Kalau kita membersihkan diri sebersih-bersihnya, hidup sesuci-sucinya, kita bisa mengerti apa artinya menyatu dengan Tuhan itu. Memang ketika kita mau hidup sebersih-bersihnya, kita diuji.
Dan di dalam ujian itu, kita mengalami pergumulan antara keinginan kita sendiri dan keinginan Tuhan. Antara nafsu daging kita dan keinginan roh. Maka kita harus punya komitmen, tekad yang kuat, “Aku mau hidup sebersih-bersihnya. Aku tidak akan berbuat dosa sekecil apa pun, sehalus apa pun.” Tuhan pasti uji, dengan berbagai kesempatan dimana kita bisa memuaskan diri kita, memuaskan nafsu kita, memuaskan ambisi dan keinginan-keinginan kita. Kita harus berjuang untuk tidak melakukan apa yang salah, kita harus selalu mengingat komitmen dan tekad kita kepada Tuhan.
Ketika kita menghadapi keadaan sulit, keadaan yang memaksa kita marah dan bingung, kita tetap memuliakan Allah sebab kita tidak mau ditaklukkan oleh keadaan; sebaliknya, kita harus menaklukkan keadaan.