Di dalam agama-agama samawi—agama yang juga memercayai ada Allah Yang Mahakuasa, yang memberikan Wahyu dalam kitab suci yang diyakini sebagai firman Allah; yang percaya bahwa Allah akan membawa setiap orang kepada pertanggungan jawab—mereka memiliki seremonial. Melalui seremonial itu, mereka menghayati Allah; atau umat dikondisi untuk menghayati Allah. Misalnya, doa sekian kali dalam satu hari, ada hari-hari suci tertentu yang mereka harus rayakan. Setiap setahun sekali, mereka harus berziarah. Ada hukum yang mengatur bagaimana cara berpakaian, mengatur apa yang dimakan, artinya yang boleh dimakan; yang halal, dan yang tidak boleh dimakan; yang dianggap haram. Jadi perjalanan hidup mereka setiap hari itu dikondisi untuk menghayati Allah, dan di situlah ada dinamika hidup. Dinamika hidup ber-Tuhan, versinya.
Bagaimana dengan kita? Apa yang kita lakukan untuk menghayati keberadaan Allah? Apa dan bagaimana dinamika hidup kita sebagai “orang beragama Kristen,” tepatnya orang percaya atau umat pilihan Allah? Kita tidak bisa membantah kenyataan kekristenan sering dianggap atau diperlakukan seperti agama. Kalau agama-agama samawi, mereka memiliki hukum, tata cara kehidupan sesuai dengan hukum, syariat yang mengondisi mereka, memiliki dinamika tertentu dalam beragama. Lalu, Kristen memiliki apa? Apakah hanya “haleluya?” “Darah Yesus” bagi mereka yang beraliran gereja tertentu. Atau mau makan, berdoa; mau tidur, berdoa. Datang ke gereja hari Minggu. Cukupkah itu? Kalau kita melihat hidup kita sebagai orang Kristen, apakah dinamika hidup yang kita miliki sebagai “orang beragama Kristen” atau sebagai orang percaya atau sebagai umat pilihan sudah sesuai dengan dinamika yang Allah kehendaki? Pernahkah kita mempersoalkan, “Tuhan, dinamika hidupku ini sudah benar, belum?”
Ada hal yang harus kita pelajari yaitu: reset; diatur ulang. Tuhan me-reset kita melalui pengalaman-pengalaman hidup, terutama yang mengguncangkan perasaan dan hidup kita. Seharusnya satu-satunya hal yang kita mau capai dalam hidup ini adalah berkodrat ilahi. Seorang pelayan Tuhan yang mengalami perubahan secara terus-menerus, hidupnya pasti mengubah orang. Tidak mungkin khotbahnya stagnan. Kalimat “nyanyikan nyanyian baru,” artinya bukan syairnya baru, tetapi pengalaman baru yang melahirkan syair baru. Lagu-lagu yang ditulis oleh orang yang mengalami proses pertumbuhan dengan Tuhan, kualitas kedalaman kata-katanya pasti lebih. Sebelum berdiri di depan takhta pengadilan Allah, kita harus belajar untuk menghadap Tuhan setiap hari agar kondisi batin kita diperiksa dengan benar. Pasti kita akan memiliki pengalaman-pengalaman yang tidak bisa diungkapkan kepada orang lain. Perjumpaan dengan Tuhan dalam doa, itu mahal sekali. Dari perjumpaan dengan Tuhan di jam doa itu, kita akan bisa mengenali diri sendiri, bagaimana keadaan kita di hadapan Tuhan.
Orang yang tidak memiliki perjumpaan dengan Tuhan, tidak mungkin memiliki takut akan Allah. Takut akan Allah tidak bisa diformatkan dengan kalimat, tetapi harus dialami. Herannya, makin sekolah teologi, makin tidak berdoa. Kalau Sekolah Tinggi Teologi hanya untuk mencari hidup, mencari uang, itu jahat. Kita harus “tenggelam” terus dengan kebenaran. Sebab, ilmu bisa dibaca melalui buku. Kita boleh sibuk, tapi duduk diam di kaki Tuhan itu mutlak. Pasti berdampak, sehingga mengalami dinamika hidup bergaul dengan Allah. Setan itu lebih licik dan lebih jahat dari yang kita duga. Evil, wicked, cruel; jahat! Kita tidak bisa bergaul dengan Allah, sementara kita masih memberi ruangan bergaul dengan dunia. Maka. Jangan mendengar, berdialog, terlibat percakapan yang tidak perlu dan tidak melahirkan Firman. Karena, “iman datang dari pendengaran. Pendengaran oleh rhema,” bukan logos.
Kita harus berusaha agar “Hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus.” Sudahkah kita berbuah seperti yang Allah kehendaki? Yang pertama dalam berdinamika dengan Allah yaitu pertemuan dengan Allah. Yang kedua, apa prioritas kita? Alkitab berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,” prioritas kita itu Tuhan, hanya Dia satu-satunya. Betapa indahnya hidup dalam pengurapan Roh Kudus setiap saat, artinya kita harus bergaul dengan Allah yang tidak murahan. Hamba-hamba Tuhan harus hidup di dalam kepenuhan Roh Kudus supaya ada impartasi kepada jemaat, bukan hanya pintar secara pengetahuan teologi. Barulah khotbahnya bisa berdampak untuk dirinya dan jemaat.
Orang yang tidak memiliki perjumpaan dengan Tuhan, tidak mungkin memiliki takut akan Allah.