Skip to content

Memiliki Karakter-Nya

Iman adalah penurutan terhadap kehendak Allah. sesuai dengan kata “iman” yang dalam bahasa aslinya pisteuo (Yun. πιστεύω), artinya menyerahkan diri kepada objek yang dipercaya, iman adalah tindakan, bukan sekadar aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran hanyalah sebuah pengaminan akali atau persetujuan pikiran. Kesalahan banyak orang Kristen adalah merasa sudah percaya hanya karena memiliki pengaminan akali. Tidak heran kalau kehidupan mereka tidak menunjukkan karakter anak Allah yang diteladankan oleh Tuhan Yesus. 

Iman adalah respons aktif terhadap Injil. Di dalam Injil, terdapat tuntunan bagaimana mengisi hidup sebagai orang yang mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Tanpa tuntunan Injil, seseorang tidak bisa mengisi percayanya atau imannya. Ini berarti seseorang tidak mungkin dapat memiliki iman tanpa memahami isi Injil. Terkait dengan hal ini, Roma 10:17 mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa iman bukan sesuatu yang supranatural atau mistis, yang muncul atau ditimbulkan oleh Roh Kudus di dalam hati manusia. Iman timbul dari pendengaran terhadap Firman Tuhan (Rhema). Iman dapat eksis dalam kehidupan manusia oleh karena mendengar Injil (Logos) dan tuntunan Roh Kudus dalam perjalanan hidup (Rhema). Paulus memberitakan atau mengajarkan Injil itu, dan Roh Kudus menuntun orang yang mau belajar atau yang merespons pemberitaan Paulus. 

Kalimat “supaya mereka percaya dan taat kepada nama-Nya” (Rm. 1:5), menunjukkan dengan sangat jelas bahwa respons individu sangat menentukan keselamatan mereka. Keselamatan tidak terjadi dengan sendirinya atau secara otomatis atau oleh karena faktor di luar diri manusia yang menentukan keselamatan itu. Dalam hal ini, kita tidak boleh menerima keyakinan atau pandangan bahwa keselamatan masing-masing individu ditetapkan secara sepihak oleh Allah dalam kedaulatan-Nya. Yang benar adalah bahwa dalam kedaulatan-Nya, Allah menentukan siapa yang mendengar Injil dan juga menentukan standar kesuciannya. Dalam kedaulatan-Nya, Allah menentukan tatanan atau hukum kehidupan bahwa manusia dalam kehendak bebasnya menentukan takdirnya sendiri. Sama seperti yang terjadi di taman Eden. Adam memilih memberontak, tentu bukan karena Allah yang menentukan pemberontakan itu dengan menggerakkan Adam memberontak kepada Allah. 

Kalau seseorang berpendirian bahwa Allah menentukan segala sesuatu, berarti Adam dan Hawa jatuh dalam dosa karena Allah yang menentukan demikian, sehingga mereka gagal menuruti kehendak Allah. Ini berarti Allah yang merekayasa dosa itu sendiri. Jika hal ini benar, betapa jahatnya Allah tersebut. Tetapi yang benar adalah Allah telah memberi kehendak bebas kepada masing-masing individu untuk hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah atau menolaknya. Selanjutnya, apakah seseorang bersedia dimiliki oleh Allah atau memiliki dirinya sendiri, juga tergantung dari kebebasannya. Untuk menyerahkan diri menjadi milik Tuhan, juga harus melalui perjuangan yang berat. Mengapa demikian? Sebab selain daging dan ambisi jiwa kita mau berkuasa atas diri sendiri, keadaan dunia sekitar juga sering mendesak agar tidak memberi diri dimiliki oleh Allah.

Menjadi milik Kristus bukan sesuatu yang bisa terjadi atau berlangsung dengan mudah. Jemaat Roma memberikan contoh bahwa orang percaya harus mempertahankan iman mereka dengan mempertaruhkan darah dan nyawa mereka. Kalau mereka masih merasa memiliki diri sendiri, tentu mereka tidak akan sanggup berlaku setia kepada Tuhan. Karena kesetiaan untuk dimiliki Kristus tersebut, maka mereka disebut sebagai umat yang lebih dari orang-orang yang menang. Orang yang menang adalah orang yang mengalahkan diri sendiri dengan menaklukkan dirinya kepada Tuhan. Sebaliknya, kalau orang mau menang sendiri, artinya orang yang hanya mau memuaskan keinginan daging dan ambisinya, menjadi orang yang kalah. Jemaat Roma disebut sebagai orang-orang yang lebih dari orang-orang yang menang, artinya jemaat Roma lebih berharga dan lebih bernilai dibandingkan dengan mereka yang memiliki berbagai kelebihan secara politik, ekonomi, penampilan, dan lain sebagainya.

Seseorang tidak dapat dimiliki Tuhan jika masih terikat dengan berbagai kesenangan dunia dan tidak berkarakter seperti Yesus. Tidak mungkin seseorang memiliki Kristus tanpa memiliki karakter-Nya. Sebaliknya, tidak mungkin orang dimiliki Kristus tanpa memiliki karakter-Nya. Orang yang tidak memiliki karakter Kristus tidak akan dapat bersekutu dengan Allah secara harmoni. Ini berarti keselamatan belum terwujud dalam kehidupan orang seperti itu. Orang yang memiliki persekutuan yang harmoni dengan Allah adalah orang yang memiliki “harta kekayaan” yang lebih bernilai dari apa pun yang dapat dimiliki manusia di dunia ini. Itulah sebabnya orang percaya dikatakan lebih dari orang-orang yang menang, yaitu mereka yang hidup dalam persekutuan dengan Allah secara harmoni.

Tidak mungkin seseorang memiliki Kristus tanpa memiliki karakter-Nya.