Skip to content

Memercayai Kehadiran Tuhan

Dalam hati kita, mungkin ada pertanyaan: “Mengapa Tuhan seolah-olah tidak ada?” Banyak orang tetap beragama; mengaku percaya kepada Tuhan bahkan melakukan kegiatan agama, karena merasa berutang. Berutang kepada orang tua yang mewariskan agama, berutang kepada negara yang memberikan dasar negara Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh memercayai bahwa Allah itu ada. Selanjutnya, rasa berutang kepada masyarakat, karena masyarakat sekitarnya beragama. Kalau tidak ikut beragama atau melakukan kegiatan keagamaan, dianggap kafir atau ateis. Atmosfer kehidupan seperti ini kuat mencengkeram masyarakat. Mungkin kita sendiri juga termasuk orang yang berkeadaan seperti ini. 

Di lingkungan orang-orang Kristen yang memiliki kesaksian tentang mukjizat, orang merasa harus ber-Tuhan karena merasa berutang kepada masyarakat yang membuktikan adanya Tuhan dengan mukjizat. Tetapi, ada orang tertentu yang merasa Tuhan seakan-akan tidak ada. Dia tidak mengalami keberadaan Tuhan, tetapi tetap ber-Tuhan dan beragama, karena merasa berutang tadi atau faktor lain. Bukan karena sungguh-sungguh percaya. 

Tuhan itu roh. Allah itu roh; tidak kelihatan seperti angin, tetapi geraknya bisa kelihatan; atau dampak dari tindakannya bisa kelihatan. Jadi, jangan berharap kita melihat Tuhan dengan mata jasmani. Bisa saja Tuhan menyatakan Diri dalam berbagai bentuk, seperti yang dialami umat Perjanjian Lama. Tetapi, bukan berarti Tuhan itu berbentuk dan dapat dilihat. Memercayai Dia berarti harus percaya walau tidak melihat. Ini akan membuat kita memiliki iman yang kokoh, sehingga tidak mengharapkan tanda-tanda lahiriah kehadiran-Nya. Kita tidak menggantungkan percaya kita pada penglihatan atau perasaan. Kalau merinding-merinding waktu berdoa, bulu kuduk kita berdiri, dianggap Tuhan hadir. Kita percaya Tuhan, walau tidak melihat. 

“Berbahagialah orang yang percaya walau tidak melihat.” Kalau Tuhan menyatakan diri dalam berbagai penyataan supaya orang itu percaya, bisa saja, berarti dia membutuhkan kehadiran Tuhan secara fisik untuk membangun percayanya. Seperti bangsa Israel di Gunung Sinai, Allah menyatakan di dalam guruh, halilintar. Mereka gemetar, karena sebagai budak yang ratusan tahun tidak mengenal Elohim Yahweh, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah nenek moyang mereka. Maka, Allah menyatakan Diri dalam penyataan. 

Kita tidak perlu demikian. Jangan berharap tanda-tanda lahiriah, baru kita percaya. Kita percaya Allah hidup, nyata, dan hadir. Mengapa Allah seakan-akan tidak ada? Pertama, karena Allah itu roh. Yang kedua, karena Allah mau melatih kita untuk percaya kepada-Nya. Yang ketiga, karena Allah Maha Tinggi, Maha Suci, Allah Maha Murah, tetapi tidak murahan. Karena Allah Agung, Mulia, Maha Suci, bertakhta di tempat Maha Tinggi, di terang yang tak terhampiri, tetapi Maha Hadir. Allah menghendaki kita untuk memercayai Dia tanpa tanda-tanda lahiriah, tanpa kehadiran-Nya secara nyata. 

Banyak kepercayaan yang memiliki ilah, allah, atau dewa yang kelihatan. Bapa kita bukan Allah yang dapat diwakili, digambarkan, diwujudkan dalam bentuk patung atau benda. Tidak ada benda yang bisa mewakili keberadaan-Nya yang Maha Besar, Maha Mulia, Maha Agung. Jangan kurang percaya karena Tuhan tidak kelihatan, seakan-akan Dia tidak ada. Kita dilatih untuk memercayai satu-satunya Allah yang benar ini dengan percaya. Dia layak dipercayai, walau tidak ada tanda-tanda lahiriah dalam bentuk fisik, tidak ada dalam wujud yang bisa dilihat dengan mata jasmani. 

Kita harus menghormati Allah tanpa tanda-tanda lahiriah-Nya. Dia layak untuk disembah, dipuji, dimuliakan. Dia Allah yang hidup dan nyata. Kita percaya Tuhan yang luar biasa, dahsyat, tidak kelihatan, tetapi Tuhan yang hadir. Kita bersyukur Tuhan yang hidup menyertai kita. Dengan keberadaan Allah seperti ini, kalau seseorang menghormati Dia dengan benar, maka orang itu tidak menuntut Tuhan menunjukkan tanda-tanda lahiriah-Nya. 

Dalam banyak persoalan yang kita hadapi, kita melihat seakan-akan Tuhan tidak hadir atau tidak ada. Kita sudah berdoa, tetapi masalah seakan-akan tidak ditanggulangi oleh Tuhan. Terus saja berlarut-larut. Di sini kita harus belajar memercayai Tuhan. Jangan sampai timbul kecurigaan, keraguan seakan-akan Tuhan tidak ada. Lalu Iblis berbisik melalui manusia lama di dalam diri kita, “Jangan-jangan Allah tidak ada..” Maka, banyak orang berhenti berharap, berhenti menantikan pertolongan Tuhan, lalu mengambil tindakan sendiri karena Tuhan dipandang atau dianggap tidak memedulikan dirinya. Ketika kita dalam persoalan, kita berdoa Tuhan tidak jawab, itu bukan tidak; belum. Tidak jawab saat itu; akan menjawab pada waktu yang tepat. 

Jangan berhenti berdoa. Jangan berhenti mempercakapkan masalah kita kepada Tuhan untuk minta petunjuk apa yang harus kita lakukan. Jangan ambil keputusan sebelum kita mendengar bisikan Tuhan apa yang harus dilakukan. Kalau belum waktunya Tuhan bertindak, kita harus sabar menantikan Tuhan. Di situ sebenarnya kita diuji Tuhan, seberapa kita berani memercayai pribadi-Nya. Tuhan setia. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Mari kita belajar memercayai Tuhan dalam keadaan terjepit. Kalau sekarang kita diizinkan Tuhan ada di dalam pergumulan atau persoalan berat, ayo kita belajar percaya Dia. Dia akan menolong kita pada waktunya. Dan kita akhirnya tahu bahwa kita tidak bisa hidup tanpa Tuhan.

Seseorang yang menghormati Dia dengan benar, tidak menuntut Tuhan menunjukkan tanda-tanda lahiriah-Nya.