Skip to content

Membangun Kualitas Diri

Sebagai manusia yang bersosialisasi, kita pasti memiliki dan mengalami berbagai dinamika. Dinamika hidup sebagai anak dalam interaksi dengan orangtua; dinamika sebagai suami/istri dengan pasangan hidup; dinamika sebagai orangtua yang berinteraksi dengan anak dan mertua, dinamika sebagai pelajar saat SD, SMP, atau SMA, lalu mengalami dinamika sebagai mahasiswa, bagi yang sedang atau pernah kuliah. Ada orang yang merasa beruntung bisa kuliah dan bersemangat untuk menyelesaikan suatu strata gelar, lalu nantinya mau meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kita juga mengalami dinamika dalam keluarga. Memang, tidak sedikit keluarga yang berantakan, sehingga dinamika hidupnya menyisakan goresan pedih. Misalnya tidak menikmati dinamika yang indah sebagai anak. Dinamika hidup sebagai Ibu, Bapak, atau pasangan, juga kita alami. Dinamika saat mengalami indahnya berpacaran, jatuh cinta, dan membangun hubungan dengan lawan jenis, terutama dinamika cinta pertama. 

Kalau kita disuruh menyaksikan atau menulis pengalaman atas dinamika hidup sebagai anak-anak Allah, kira-kira apa yang kita saksikan? Apa yang kita kenal mengenai Allah, apa yang kita rasakan tentang Dia, dan apa yang kita kenali di dalam diri kita dalam berinteraksi dengan Allah? Kalau seseorang benar-benar berinteraksi dengan Allah, maka dia akan mengenal dirinya; dari kacamata Allah, dari pandangan Allah, dari perspektif Allah. Kita pasti juga mengenal Allah dalam pengalaman, bukan sekadar dari buku bacaan atau ilmu pengetahuan. Kita harus bisa merasakan, karena Allah kita hidup. Ia berjanji menyertai kita sampai kesudahan zaman. Di dalam Alkitab, kita menemukan bermacam-macam tipe manusia yang sudah berinteraksi dengan Allah, sehingga kita menemukan dinamika hidup dari umat yang berinteraksi dengan Allah yang hidup. 

Inilah jalan berkat, jalan rahmat yang tidak ternilai. Karena melalui pengalaman-pengalaman tersebut, kita diberi bimbingan dan tuntunan bagaimana kita juga memiliki dinamika hidup dalam berinteraksi dengan Allah. Dinamika hidup dalam berinteraksi dengan Allah ini merupakan proses yang terus bertahap, makin berkualitas tinggi. Sama seperti anak yang masih umur di bawah 10 tahun berinteraksi dengan orangtua, ada dinamikanya. Tapi ketika anak itu bertumbuh dewasa, menjadi anak yang baik, dengar-dengaran, bertanggung jawab, maka dinamika hidup dengan orangtuanya makin berkualitas. Orangtua bisa menikmati anak, anak juga bisa menikmati orangtua. Tapi kalau anak tidak tumbuh dewasa, maka dinamika hidup dalam berinteraksi antara anak dan orangtua jadi tidak berkualitas.

Berbagai dinamika dalam hidup ini—disadari atau tidak disadari—membentuk, membangun keberadaan kita; keberadaan batin kita, bahkan juga keberadaan fisik. Karena, batin tidak bisa dipisahkan dari fisik. Jadi, keberadaan kita ini sangat dipengaruhi oleh dinamika hidup yang kita jalani. Misalnya kalau berteman dengan orang yang suka begadang, pasti kita memiliki tubuh tidak atau kurang baik, artinya hubungan tersebut memberi pengaruh buruk. Ada satu dinamika hidup yang terindah, yang Allah tawarkan dan berperan dalam menentukan nasib kekal kita, yaitu dinamika bergaul dengan Allah. 

Seperti agama Yahudi yang memiliki seremonial sehingga kehidupan umatnya dikondisi untuk menghayati Allah, misalnya doa sekian kali dalam satu hari dan berkiblat ke Yerusalem; Hukum Taurat pun mengatur bagaimana cara berpakaian, mengatur apa yang dimakan (halal atau haram), dan lain-lain, apakah kita memiliki dinamika dalam bergaul dengan Allah sampai membentuk hidup kita? Yaitu sesuai dengan maksud keselamatan diberikan, sampai mengalami apa yang dikatakan dalam Yohanes 17, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku.” Maka Yesus mengatakan di dalam Injil Yohanes 15, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah jikalau kamu tidak tinggal dalam Aku.” Hidup kita bisa berbuah dengan membangun kualitas diri. Tentu “buah” di sini harus buah yang sesuai standar Allah. Dinamika hidup kita sebagai orang Kristen juga harus sesuai dengan dinamika yang Allah kehendaki. Pernahkah kita mempersoalkan, “Tuhan, dinamika hidupku ini sudah benar, belum?” Jangan hidup dalam kewajaran, karena itu “musuh dalam selimut.” 

Fakta di sekitar kita, banyak orang yang beragama, tetapi tidak menjalankan agamanya. Coba kita memperkarakan “Seandainya aku berdiri di hadapan pengadilan Tuhan, seberapa rasa takutku?” Harus kita pahami bahwa takut akan Allah tidak bisa dibangun dalam satu hari. Orang bisa kaya mendadak, tetapi tidak bisa takut akan Allah secara mendadak. Takut akan Tuhan itu harus dibangun dari penghayatan akan Allah, sehingga bisa menghayati bahwa Allah itu hidup. Dan itu dampaknya cukup signifikan, yaitu bagaimana kita membangun hidup bergaul dengan Allah, menjadi dinamika hidup kita. 

Berbagai dinamika dalam hidup—disadari atau tidak disadari—membangun kualitas diri.