Ada kata penting dalam kehidupan manusia yang juga dalam kehidupan manusia pertama, Adam dan Hawa. Kata itu adalah “tanggung jawab.” Tuhan jelas tegas berkata, “Jangan makan buah yang ada di tengah taman ini, yaitu buah pengetahuan tentang yang baik dan jahat. Kamu boleh makan, atau mestinya harus makan semua buah yang ada di taman ini, termasuk buah dari pohon kehidupan. Tetapi buah dari pohon yang satu ini, yaitu buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, kamu jangan makan. Karena pada hari kamu makan buah ini, kamu mati.” Pelajaran rohani yang sangat mahal dapat kita peroleh dari fragmen nyata mengenai kejatuhan manusia ke dalam dosa ini. Tanggung jawab. Tanggung jawab untuk tidak mengonsumsi apa yang Allah larang untuk dikonsumsi. Suara Tuhan kepada manusia pertama, juga suara Tuhan untuk kita. Itulah sebabnya di dalam Roma 12:2, firman Tuhan mengatakan, “Janganlah kamu serupa dengan dunia ini,” artinya jangan mengonsumsi apa yang dari dunia, sehingga kita menjadi serupa dengan dunia.
Sebab apa yang kita konsumsi, yang masuk dalam pikiran dan yang mewarnai jiwa, itulah yang menjadikan kita sebagai apa. Kalau kita mengonsumsi apa yang dunia sediakan, kita menjadi serupa dengan dunia. Selanjutnya, “… berubahlah oleh pembaharuan budimu,” artinya konsumsilah apa yang mestinya kita konsumsi untuk atau supaya kita mengalami perubahan. Dan dari perubahan itu, kita bisa mengerti kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Sebab, apa yang kita konsumsi itu yang mewarnai jiwa kita, membangun dan membentuk diri kita. Tentu yang Allah kehendaki, kita menjadi anak-anak Allah yang mampu membedakan apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Ringkasnya, supaya kita bisa melakukan segala sesuatu selalu sesuai dengan kehendak Allah. Jika kita melatih terus hal ini dari hal kecil sampai hal besar, maka terbangunlah kodrat ilahi di dalam diri kita. Kesucian harus berangkat dari hati. Jika bicara mengenai kesucian, jangan kita berpikir secara mistik.
Sebab, pada umumnya bicara mengenai hal-hal yang bersifat sakral, bersifat suci atau kudus, selalu dikaitkan dengan hal yang bersifat mistik, bersifat adikodrati, yang supranatural. Ini keliru. Kesucian adalah hal yang praktis dan bisa teknis. Tetapi ingat, harus didorong dari batin yang benar. Ketika kita mendapat kesempatan untuk membicarakan orang yang tidak ada di situ tapi kita tidak menggunakan kesempatan tersebut; kita menutup mulut untuk tidak ikut membicarakan mengenai keadaan seseorang yang tidak ada di situ, sejatinya kita sedang membangun kesucian. Ketika kita memiliki kesempatan untuk marah dan balas dendam, kita menolak melakukan hal itu, itulah kesucian. Kesucian kita terbangun ketika kita mendapat kesempatan untuk korupsi, kita menolak. Kita membangun kesucian. Prinsip dunia: mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi kalau bagi orang percaya: ditampar pipi kanan, beri pipi kiri; mendoakan orang yang menyakiti, melukai kita, dan lain sebagainya. Itu menjadi tanggung jawab kita.
Tetapi tanpa disadari oleh sebagian besar orang—dalam konteks ini sebagian besar orang Kristen—setiap hari mereka mengonsumsi apa yang tidak patut dikonsumsi. Dan dunia ini sekarang telah ditaburi banyak racun dari suasana pergaulan; dari lagu-lagu, dari tontonan, dari apa yang disajikan di gadget. Dan kita menganggap sah-sah saja, tidak mengganggu, tidak merusak, tidak membuat kita berdosa. Itu salah. Tanpa kita sadari, kita telah meracuni diri kita dengan apa yang tidak perlu kita konsumsi. Kita bertanggung jawab membangun rupa Allah di dalam diri kita. Allah menciptakan; (Ibr.) bara; gambar; (Yun.) tselem di dalam diri kita. Kita memiliki apa yang juga ada pada Allah, yaitu pikiran dan perasaan. Tetapi bagaimana kualitas pikiran dan perasaan kita yang bisa membuahkan, melahirkan, memproduksi kehendak yang sesuai dengan Allah, itu tergantung kita.
Ketika Tuhan Yesus berkata di Matius 5:48, “kamu harus sempurna seperti Bapa,” artinya kamu harus mengusahakan. Kamu harus berjuang untuk mencapai kesempurnaan itu. “Sempurna” di sini artinya manusia dimungkinkan dapat memiliki kemampuan berpikir, berperasaan seperti Allah. Tentu dalam konteks manusia. Supaya kehendak yang dihasilkan, dibuahkan, atau diproduksi sesuai dengan kehendak Allah. Dan masing-masing orang punya kasus-kasus yang berbeda. Ada orang yang kasusnya lebih rumit, masalahnya lebih kompleks. Yang lain, lebih ringan, lebih sederhana. Tapi apa pun kasus yang dihadapi seseorang, itu harus selalu sesuai dengan kehendak Allah. Output-nya harus selalu sesuai dengan kehendak Allah. Itu namanya sempurna seperti Bapa. Sempurna seperti Bapa bukan berarti kita bisa menyamai Allah, karena sampai kapan pun kita tidak akan pernah menjadi Allah dan menyamai Allah. Tetapi sebagai anak-anak Bapa di surga, harus memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan Allah.
Kesucian kita terbangun, ketika kita mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, namun kita menolak.