Dalam kehidupan di masyarakat, kita kadang-kadang bahkan sering mendengar orang berkata, “Orang tuaku cerewet.” Lalu itu dipahami oleh orang-orang muda sebagai suatu hal yang negatif. Padahal mereka belum pernah menjadi orang tua. Suatu hari, ketika mereka menjadi orang tua, barulah mereka dapat mengerti alasan perasaan cemas dan khawatir orang tua. Orang tua yang cerewet harus dimengerti sebagai orang tua yang bertanggung jawab, yang peduli, yang sungguh-sungguh menginginkan anaknya dapat terhindar dari berbagai malapetaka, baik dalam pergaulan, maupun dalam hal-hal lain, serta memiliki masa depan yang baik.
Demikian pula dengan gereja yang berfungsi sebagai sarana Tuhan. Gereja harus terus mengganggu ketenangan hidup duniawi kita, sebab hal ini bukan hanya menyangkut keadaan kita sementara di bumi, melainkan juga di kekekalan. Kalau kita masih hidup secara duniawi padahal Tuhan sudah tegur beberapa kali, namun kita mengeraskan hati, maka kita akan dibiarkan. Tanpa kita sadari, sejatinya kita sudah menjual diri kepada kuasa kegelapan. Kita dimeteraikan menjadi milik Iblis, dan pasti terbuang dari hadirat Allah. Tetapi kalau kita mau belajar hidup di dalam kebenaran Tuhan, kita mungkin menghadapi beberapa masalah hidup, tapi sebenarnya hal itu membuat kita mengangkat hati, mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan.
Kalau seseorang terbiasa mengangkat hati ke Tuhan, maka keyakinannya akan keberadaan Allah semakin hari semakin kuat atau makin besar. Jika tidak, maka Tuhan itu menjadi fantasi. Dan ini yang terjadi selama berabad-abad. Bahkan di lingkungan kita juga, bukan hanya belasan tahun, tetapi puluhan tahun, gereja hanya menyediakan jasa liturgi, jasa berdoa untuk orang sakit atau orang yang bermasalah karena gereja dipandang sebagai dealer dari kuasa Tuhan atau tangan Tuhan untuk terulur dan menjamah jemaat yang membutuhkan pertolongan. Kegiatan keagamaan ini bergulir terus dari waktu ke waktu sampai menjadi profesi bagi pendeta. Akhirnya, kebiasaan ini menjadi tempat berlabuh bagi jemaat yang mau beragama dan merasa ber-Tuhan.
Hal itu bergulir terus. Terjadi penyesatan yang luar biasa hebat, tanpa disadari. Sementara di pihak lain, gereja juga mengadakan pendidikan sekolah tinggi teologi untuk mempersiapkan kader-kader pemimpin, kader-kader SDM yang akan berkhotbah dan melakukan kegiatan di dalam keagamaan atau di dalam gereja. Tentu nuansa dan atmosfernya sama dengan para pendahulu. Semua berjalan baik-baik saja. Tetapi yang menjadi kegelisahan kita, apakah jemaat benar-benar memiliki masa depan yang baik, masa depan kekekalan? Gereja harus mempersoalkan, lalu menjadi cerewet untuk hal ini.
Sejujurnya, kalau kita meninggal dunia hari ini, apakah kita semua yakin masuk surga? Jangan-jangan sebagian besar ditolak oleh Tuhan. Sebab, standar kekristenan yang kita pahami masih sangat rendah. Kita sudah terlalu lama dininabobokkan dengan kehidupan kristiani palsu. Khotbah-khotbah yang kita dengar tidak mengisyaratkan sesuatu yang membahayakan. Lagu-lagu yang kita nyanyikan, tidak mengisyaratkan sesuatu yang mengancam kita. Semua sepertinya baik-baik saja. Tetapi kalau jujur, kita belum melakukan kehendak Bapa. Kita memang orang Kristen yang baik dalam standar umum, tetapi kita tidak akan pernah menemukan dalam Alkitab bahwa orang Kristen itu boleh seperti anak-anak dunia di sekitar kita.
Dalam Roma 12:2 jelas dikatakan bahwa kita harus berbeda. Kita harus mengerti kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Kita semua sibuk dan bisa tenggelam di dalam masalah kita. Tetapi, bukan soal kita di mana, sedang mengerjakan apa, sakit atau sehat, kaya atau miskin, tetapi apakah kita ada di dalam kehendak Allah dan rencana-Nya. Jadi, sadarlah; bangun, jangan tertidur. Jangan sampai kita meninggal dunia, kita tidak dipandang, tidak dinilai oleh Allah sudah melakukan kehendak Allah dan memenuhi rencana-Nya. Masalahnya, kehidupan keagamaan yang tidak disertai perjumpaan dengan Allah bisa membuat gereja tetap eksis, tetapi semua itu hanya fantasi.Kalau pendetanya saja berfantasi tentang Tuhan, bagaimana jemaatnya? Ciri dari orang yang berfantasi itu sederhana, namun presisi, yaitu takut mati.
Waktu kita berkata, “Aku mengasihi-Mu, Tuhan” kita harus punya akar. Memang kita belum sempurna, tetapi terus di dalam proses. Setiap hari kita berkata, “Tuhan, buat aku lebih baik dari kemarin. Tuhan, aku hanya ingin menyenangkan Engkau. Tolong aku mengasihi Engkau, sebagaimana seharusnya manusia mengasihi Engkau.” Jangan kita tidak peduli seberapa dalam hati kita mengasihi Tuhan. Nanti kalau ditelanjangi di depan pengadilan Tuhan, baru kita menyesal betapa agungnya Tuhan. Dan kita tidak pernah memiliki hati yang diangkat kecuali pada waktu kepepet, dalam kesulitan, dalam kebutuhan mendesak, dalam penderitaan.
Walau ancaman itu belum ada, bahaya seperti tidak ada, tetapi kita seakan-akan menghadapi ancaman. Dan memang sebenarnya ada, jadi setiap hari kita selalu mengangkat hati. Sebab perjumpaan dengan Allah adalah sumber pengenalan akan Allah. Karena di dalam perjumpaan itu ada spirit, ada gairah. Spirit kekudusan, gairah belas kasihan terhadap orang; gairah yang dari Tuhan. Setiap perjumpaan dengan Allah membangun keintiman yang semakin dalam.
Setiap perjumpaan dengan Allah membangun keintiman yang semakin dalam.