Proses menjadi tua berlangsung secara otomatis, tetapi menjadi dewasa rohani atau menjadi sempurna adalah tanggung jawab yang harus diperjuangkan. Hal ini berlaku bagi semua manusia keturunan Adam dan Hawa. Kalau Adam dan Hawa sukses menjadi dewasa, sempurna, segambar, serupa dengan Allah, maka keturunannya tidak akan mengalami proses penuaan dan kematian. Tetapi, ternyata Adam dan Hawa gagal. Sebagai akibatnya, ia harus mengalami proses penuaan dan kematian. Juga semua manusia keturunannya, mengalami proses yang sama; penuaan, kematian, bahkan kebinasaan; artinya terpisah dari Allah. Manusia ada di bawah bayang-bayang maut atau kebinasaan. Manusia hidup di luar persekutuan dengan Allah. Manusia hidup dikuasai kodrat dosa, dan semua keturunannya telah menjadi manusia yang tidak sesuai dengan maksud manusia itu diciptakan. Semua manusia terjual di bawah kuasa dosa. Di dalam tanggung jawab, Allah memberikan manusia kemampuan untuk membangun dirinya. Yang dimaksud dengan “diri” bukan hanya fisik, melainkan moral karakter, kualitas batiniahnya. Hal ini dimaksudkan agar manusia dapat menjadi makhluk yang dapat bersekutu dengan Allah.
Di balik pernyataan Allah di dalam Kejadian 2:16-17, ada sesuatu yang harus ditangkap secara implisit. Allah bermaksud agar manusia tidak gagal menjadi manusia sesuai rancangan Allah semula. Jadi, terwujudnya realisasi rancangan Allah di dalam kehidupan manusia juga ditentukan oleh peran manusia itu sendiri. Allah memiliki bagian, manusianya juga memiliki bagian. Manusia dirancang Allah bukan membangun dirinya di atas dasar apa yang baik dan jahat, tetapi harus dibangun di atas dasar apa yang diinginkan atau dikehendaki oleh Allah. Bukan pengetahuan yang baik dan jahat, tetapi kehidupan. Dalam hal ini, hukumnya bukan tatanan baik dan jahat dari sumber lain, tetapi tatanan-Nya Allah sendiri. Dengan kalimat lain, apa yang baik dan jahat tidak boleh berdasarkan perspektif mana pun, tetapi harus dari Allah yang adalah sumber kehidupan. Jadi, pohon kehidupan adalah simbol dari kebenaran Allah. Sedangkan pohon pengetahuan yang baik dan jahat adalah simbol dari ukuran baik dan jahat bukan berdasarkan Allah. Adanya pohon pengetahuan yang baik dan jahat menunjukkan bahwa Allah mengizinkan Iblis ada di dalam taman. Allah membiarkan setan mencobai manusia.
Menjadi pertanyaan yang lama berkumandang: “Mengapa Allah mengizinkan oknum itu ada di dalam taman sehingga menggoda Adam dan Hawa?” Jawabnya adalah karena Allah menghendaki makhluk yang diciptakan—yang disebut manusia—menghormati Allah dengan rela tanpa paksaan, secara natural, dan bisa berjalan seiring dengan Allah berdasarkan kodratnya. Dengan demikian, jelas ditunjukkan bahwa memang sejak semula Allah tidak menentukan segala sesuatu secara sepihak, artinya Allah tidak membuat Adam dan Hawa itu seperti robot yang diatur remote control atau dibuat programnya. Jadi, sejak semula, manusia pertama sudah menghadapi dua suara, dimana manusia harus memilih, apakah menuruti suara Allah atau suara yang lain? Apakah manusia bertumbuh ke arah Allah agar menjadi segambar dan serupa dengan Allah atau ke arah yang lain? Makna yang terkandung di dalamnya, kalau orang mendengar suara yang bukan dari Allah, menerima apa yang bukan dari perspektif atau sudut pandang Allah, ia tidak akan mencapai menjadi manusia segambar, serupa dengan Allah. Di zaman anugerah, umat pilihan memiliki kesempatan mencapai tataran atau tahap sempurna seperti Bapa. Sebab, manusia yang menjadi umat pilihan—yang ditebus oleh darah Yesus—mendapat pembenaran, bisa berinteraksi dengan Allah, diberi Roh Kudus, dan memiliki Injil kebenaran.
Hukum diberikan kepada manusia agar manusia menjadi tertib. Tertib dalam ukuran kebaikan manusia yang relatif. Relatif sesuai dengan hukum yang dipahami. Di tempat A, berbuat ini salah; di tempat B, bisa tidak salah. Tapi kesediaan menaati hukum itu tetap dinilai baik. Jadi, manusia bisa mencapai kebaikan yang relatif. Artinya, tergantung dari sudut pandang hukum yang dipahami. Tetapi kalau Tuhan menjadi hukum bagi kita, tidak relatif. Sebab, Allah itu Allah yang berdaulat. Kehendak Allah tidak relatif; mutlak, berdasarkan apa yang Dia ingini. Maka, umat pilihan harus mengerti panggilannya untuk membangun dirinya dengan pola yang Allah kehendaki. Jadi, menjadi Kristen berarti menjadi murid, menjadi anak yang mau dididik. Pada dasarnya, tujuan membangun diri itu adalah membuat diri kita ini mampu membuat, menciptakan, memproduksi, membuahkan keinginan atau kehendak yang selalu sesuai dengan kehendak Allah. Allah memiliki pikiran dan perasaan, pasti juga membuahkan kehendak; demikian juga kita. Allah, melalui Roh Kudus, menuntun umat pilihan untuk mampu mencapai target ini.
Namun, syarat untuk bisa dididik adalah kalau seseorang berani melepaskan segala sesuatu (Luk. 14:33). “Melepaskan segala sesuatu” artinya menganggap segala sesuatu tidak penting, atau hanya digunakan sebagai sarana untuk membangun diri supaya sesuai dengan gambar dan rupa Allah, atau sesuai dengan rancangan Allah semula. Dalam tahapan inilah kita sering meleset dalam bergumul. Kita memang bukan orang jahat, tetapi kita meleset; karena kita tidak berambisi dengan sepenuhnya untuk sempurna seperti Bapa, atau serupa dengan Yesus. Sekarang kita mau berubah, walau tentu berat. Tapi puji Tuhan, lewat didikan, hajaran, dan pukulan, mau tidak mau kita diarahkan ke situ. Jadi kalau kita studi, kita kerja, menikah, apa pun, itu demi membangun diri semakin serupa dengan-Nya.
Lewat didikan, hajaran, dan pukulan, kita diarahkan untuk membangun diri sesuai rancangan Allah semula.