Ketika kita mau mengambil keputusan, tetapi ada sesuatu yang menggelisahkan, itu bisa menjadi ukuran apakah keputusan itu sesuai kehendak Allah atau tidak. Tentu hal itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang biasa menikmati damai sejahtera Allah. Kalau orang biasa menikmati sukacita dunia—uang, sanjungan, harta, gelar—maka perasaannya tidak bisa jadi ukuran. Namun, kalau kita terbiasa menikmati damai sejahtera Allah dari karakter yang diubahkan terus, maka hal itu akan bisa menjadi indikator apakah yang kita mau lakukan sesuai dengan kehendak Allah atau tidak.
Banyak orang memiliki suasana sukacita yang “ditopang” oleh fasilitas dunia, bukan oleh damai sejahtera Allah. Sehingga, ia tidak bisa menjadikan perasaannya sebagai indikator. Kita harus lebih dari sekadar menjadi orang baik-baik yang tidak melanggar hukum, tetapi yang dalam segala hal yang kita lakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.
Salah satu rahasia mengapa kita bisa berdoa dengan fokus, adalah tenggelamkan diri kita dengan satu kasus; misalnya, “Apakah masih ada cacat karakterku?” Masalahnya, kita tertarik dengan hal ini atau tidak? Para wanita bisa melihat cermin lebih dari 30 menit, tetapi kalau bercermin rohani, artinya menghadap Tuhan, baru 3 menit pun sudah hilang fokus. Karena memang dasarnya ia tidak niat. Padahal, kecantikan rohani itu kekal. Lalu, dari kecantikan rohani, kita dapat menikmati damai. Dengan menikmati damai, kita membangun habitat. Jadi kalimat, “Datanglah Kerajaan-Mu,” itulah usaha yang kita harus lakukan; menghadirkan habitat Kerajaan Allah dalam hidup. Ayo, kita mau ratapi keadaan kita karena kita serius mau berubah.
Bangunlah habitat kehidupan yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Mari kita percantik wajah rohani kita karena itu adalah harta abadi. Kepastian masuk surga dimulai dari membangun habitat ini. Kita tidak bisa membangun habitat Kerajaan Allah tanpa menikmati damai sejahtera-Nya. Yang pertama, kita tidak bisa menikmati damai sejahtera Allah tanpa karakter yang baik. Segala kejadian dalam hidup ini dapat menjadi sarana Allah agar kita dilatih membangun karakter yang sesuai dengan kehendak Allah. Tentu Allah menghendaki kita memiliki respons yang sesuai dengan kehendak-Nya, dimulai dari perkara kecil. Kalau kita sudah mulai berkata, “Aku mau cantik di hadapan-Mu, Tuhan. Aku mau hidup tak bercacat, tak bercela,” maka Roh Kudus akan menuntun hidup kita.
Yang kedua, kita tidak bisa menikmati damai sejahtera Allah kalau terikat dengan dunia. Firman Tuhan berkata, “Aku Allah yang cemburu;” “Bukan tanpa alasan kalau Kitab Suci berkata: roh yang ditempatkan dalam diri kita diingini-Nya dengan cemburu.” Mengapa demikian? Karena roh kita berasal dari Allah dan Allah ingin roh itu kembali kepada-Nya. Diingini-Nya dengan cemburu, karena apa? Karena Dia sayang kita.
Maka, jangan menggantungkan suasana sukacita kita pada barang-barang dunia. Sukacita kita harus berasal hanya dari Tuhan saja. Kalau kita bisa tutup mata dan telinga terhadap keadaan sekitar yang toxic dan berkata, “Engkau kebahagiaanku, Tuhan”—dan memang kita akan pulang sendiri tanpa suami, anak, atau siapa pun—maka kita menjadi kekasih Tuhan, menjadi hubungan yang eksklusif dengan-Nya. Walaupun kita tidak punya siapa-siapa, tidak punya apa-apa, tetapi kita punya Tuhan sebagai kekasih. Buatlah hubungan yang eksklusif dengan Tuhan, maka Tuhan tidak mungkin tidak membagi sukacita-Nya kepada kita. Namun, kalau kita terbiasa menikmati sukacita dunia, maka Tuhan tidak akan dapat membagi damai sejahtera-Nya.
Ketika kita menjadikan Tuhan kebahagiaan kita, bukan karena fasilitas yang lain, pasti Tuhan membagi sukacita-Nya untuk kita. Sebagaimana kalau kita mencintai seseorang dan dicintai seseorang, maka kita akan membagi apa yang kita miliki untuk orang itu, demi kebahagiaan dan sukacitanya. Allah lebih dari itu. Ingat kalimat ini: kalau kita menjadikan Tuhan kebahagiaan, Tuhan akan membagi damai sejahtera-Nya kepada kita. Hal inilah yang akan membuat hubungan kita dengan Tuhan menjadi benar-benar eksklusif. Bukan hanya kita yang merindukan kedatangan-Nya, tetapi Tuhan pun merindukan perjumpaan dengan kita.
Kita harus berkomitmen dan serius untuk mengosongkan bejana hati kita dari berbagai kegemaran, sampai kita bisa berkata, “Aku hanya ingin menikmati Engkau, Tuhan.” Tuhan tidak akan membiarkan sukacita, damai sejahtera-Nya atau diri-Nya dikecap oleh orang yang mengecap banyak kesenangan. Ingat Alkitab berkata, “Kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Kalau kita tetap mengeraskan hati dan berkata “tidak” lewat sikap kita yang tidak kooperatif dengan Tuhan, maka Tuhan tidak akan memaksa.
Kalau kita menjadikan Tuhan kebahagiaan, Tuhan akan membagi damai sejahtera-Nya kepada kita.