Setiap kita pasti ingin menjadi orang Kristen yang baik, orang percaya yang berkenan di hadapan Allah. Dan itu juga telah menjadi doa kita selama ini. Juga lagu-lagu yang kita nyanyikan mengandung syair itu. Intinya, kita tidak mau menjadi orang rusak, yang duniawi. Pertanyaannya sekarang, ‘Apakah kita sudah menjadi orang yang berkenan kepada Allah?’ Pada umumnya kita menjawab ‘belum.’ Maka pertanyaan berikutnya: ‘Kapan kita mau menjadi orang Kristen yang berkenan di hadapan Tuhan?’ Pasti jawabnya, ‘nanti’ atau ‘tidak tahu.’ Kenapa nanti? Dunia ini telah merusak karakter kita. Kondisi kita sebagai manusia berdosa dengan kodrat dosa yang kecenderungannya melakukan apa yang tidak tepat seperti yang Allah kehendaki. Kita harus selalu mengingat bahwa tujuan keselamatan itu adalah perubahan hidup; yaitu perubahan karakter, watak, perilaku, manusia batiniah.
Soal kesehatan, pemenuhan kebutuhan jasmani itu bukan hal utama. Itu bisa menjadi tambahan yang Allah akan berikan, kalau kita memang benar-benar mengalami perubahan yang benar. Kalau dulu kita adalah anak-anak dunia yang berkodrat dosa, maka sekarang kita mau diproses supaya menjadi anak-anak Allah yang berkodrat ilahi. Sehingga kita bisa berperasaan dan berpikir seperti Tuhan, sehingga seluruh kehendak kita selalu sesuai dengan kehendak Allah. Sampai pada tingkat ini, seseorang baru sah disebut atau berstatus sebagai anak-anak Allah atau anggota keluarga Kerajaan Allah; yaitu seseorang yang secara otomatis berpikir dan berperasaan seperti Allah, dan seluruh kehendaknya selalu sesuai dengan kehendak Allah. Ini memang proses. Tetapi harus dimulai dari memaksa diri dulu.
Di dalam Lukas 13:23-24 tercatat, “Dan ada seorang yang berkata kepada-Nya: “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” Jawab Yesus kepada orang-orang di situ: “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu! Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha untuk masuk, tetapi tidak akan dapat.” Perhatikan: “Berjuanglah …” orang yang berjuang berarti orang yang menggerakkan dirinya untuk melakukan suatu tindakan. Ada unsur memaksa diri. Kita ingat bagaimana waktu masih sekolah kita harus bangun pagi, belajar, mengerjakan tugas dan lain-lain. Jadi kita harus memaksa diri untuk berubah. Ini kalimat penting. Ini pesan Tuhan untuk kita saat ini: memaksa diri untuk berubah. Kalau kita tidak memaksa diri untuk berubah, maka kita tidak akan berubah sampai selama-lamanya. Pernahkah kita melihat baut yang sudah melekat pada besi dan berkarat? Sulit sekali untuk dibuka, bukan? Makanya harus dipaksa sampai akhirnya baut itu bisa berputar.
Demikian pula kita dalam mengubah diri harus ada usaha yang sungguh-sungguh, supaya manusia lama kita atau kodrat dosa kita dapat dilumpuhkan, dilemahkan, dicabut dan dimatikan, dan diganti dengan kodrat ilahi. Dan ini sangat sulit, seperti pepatah yang mengatakan: menghancurkan batu lebih mudah daripada menghancurkan watak. Batu bisa dihancurkan dengan palu. Tapi watak tidak bisa dipukul dengan palu, harus lewat proses, dan juga harus melalui pemaksaan diri individu. Tapi di Matius 11:28-29 Tuhan Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Seperti seekor sapi supaya dapat didayagunakan, maka ia diberi kuk. Alat ini untuk membatasi gerak, juga agar sapi dapat berjalan sesuai dengan arahan atau keinginan si pemilik sapi, sehingga sapi itu bisa dikendalikan. Kuk itu lambang pendidikan, lambang penjinakan.
Manusia juga begitu. Kita adalah orang-orang yang “liar.” Tetapi Allah mau memakai kita untuk menjadi alat di dalam tangan-Nya. Lalu bagaimana? Maka kita harus mau memberi diri untuk dididik. Maka Tuhan Yesus berkata, “Belajar pada-Ku.” Dan Tuhan Yesus berjanji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman.” Ia mendidik kita, namun itu juga tergantung respons kita. Tuhan sudah menyediakan tangan-Nya untuk mendidik kita, lalu apakah kita bersedia dididik oleh-Nya? Tuhan Yesus mati di kayu salib seperti memberi uang pangkal. Itu jalan supaya orang yang percaya kepada Yesus dimuridkan, dididik. Kalau Yesus tidak mati di kayu salib, maka tidak ada pendidikan dan proses perubahan untuk menjadi serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa.
Tuhan sering memberikan situasi sulit dimana kita diajar untuk tidak bergantung pada manusia, tapi bergantung pada Tuhan. Tuhan izinkan kita dikhianati, dilukai, dibenci, difitnah, diperlakukan tidak adil. Dan Tuhan mau kita menyenangkan Dia melalui peristiwa-peristiwa itu. Bagaimana caranya? Jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Tetapi itu bisa terjadi kalau kita memaksa diri. Kalau kita berhasil mengampuni si A, maka Tuhan izinkan kita mengalami lagi perlakuan tidak adil dari si B. Kita bisa melewati si A, kita bisa melewati si B, nanti karakter kita terbentuk; yaitu memiliki hati pengampun. Makanya, Tuhan izinkan pengalaman-pengalaman seperti itu. Jadi, kalau kita punya pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan, itu adalah proses untuk menyempurnakan kita. Di situ kita belajar menyangkal diri; yang artinya bukan hanya menunjuk satu perbuatan salah yang kita hindari, melainkan juga mengubah cara berpikir dan gaya hidup kita agar semua tindakan salah yang kita lakukan di waktu-waktu yang telah lalu tidak kita lakukan lagi.
Jadi kehidupan Kristen adalah perjuangan untuk mengalami perubahan. Perubahan dalam hal ekonomi, kesehatan, itu menjadi urutan kesekian. Perubahan yang Allah kehendaki adalah perubahan dalam moral, karakter, etika, dan kodrat kita (dari kodrat dosa menjadi seorang yang berkodrat ilahi). Dan ini lebih berat dari perjuangan yang lain. Maka jangan berpikir bahwa mencari uang itu lebih sulit dari mencari Tuhan dan bertumbuh dewasa. Itulah sebabnya, kepada orang-orang yang mengikut Yesus di Lukas 14:25-35 Yesus berkata, “Hitung dulu anggarannya. Kalau kamu membangun gubuk kecil tidak perlu pakai perhitungan anggaran. Tapi kalau kamu membangun rumah apalagi menara jaga.” Ini berat, tetapi ini seimbang dengan kemuliaan yang akan kita peroleh nanti. Ironis, banyak orang Kristen yang tidak mengalami perubahan secara signifikan, karena tidak memiliki tekad yang sepatutnya.
Kalau kita tidak memaksa diri untuk berubah, maka tidak akan berubah sampai selama-lamanya.