Skip to content

Meliciki Tuhan

Allah itu benar-benar hidup dan nyata. Tetapi, tidak banyak orang yang sungguh-sungguh telah mengalami keberadaan Allah. Pada umumnya, orang hanya berteori tentang Allah dari pengetahuannya semata. Dan Allah seperti membiarkan hal ini. Sama dengan banyak orang yang percaya tidak percaya adanya setan atau kuasa kegelapan. Dan kuasa gelap—setan dan roh-roh jahat—itu juga tidak selalu terang-terangan tampil. Apalagi di negara-negara Barat yang semua harus dilogikakan. Segala sesuatu yang tidak terverifikasi atau tidak terbukti ala sains dianggap nonsense, sehingga manusia menjadi rasionalistis. Di sinilah terbangun filsafat nihilistis atau nihilisme. Nihilisme adalah filsafat yang menyatakan bahwa Allah atau dewa-dewa itu tidak ada atau tidak perlu ada. Sehingga tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mau ekstrem untuk mengalami Tuhan. Biasanya terbentur pada satu titik, dan tidak mau meneruskan perjuangan untuk mengalami Tuhan. 

Sebab ketika seseorang berjuang untuk mau mengalami Tuhan, dia melihat bahwa orang yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan, sepertinya sama saja dengan dirinya. Dan Allah sepertinya sukar diraih, sukar dicapai. Padahal kalau kita melihat dunia kegelapan, orang yang mencari ilmu kesaktian, kekebalan tubuh, kedigdayaan, mereka mencari kuasa gelap, itu pun tidak mudah. Namun ada orang yang betul-betul nekat. Puasa, tidur di kuburan, pergi ke tempat keramat masuk hutan berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan, makan dedaunan. Dan kenyataannya, mereka bisa bertemu dengan kuasa-kuasa tertentu. Tidak mudah juga ternyata untuk mendapatkan kanuragan; ilmu kesaktian atau apa pun namanya. Jadi, ada orang yang setengah-setengah; kesaktiannya setengah-setengah atau tidak mendapatkan sama sekali. Tapi ada yang nekat, gila-gilaan, sungguh-sungguh, maka dia juga bisa mendapatkan kesaktian yang sungguh-sungguh juga. 

Allah kita bukan Allah yang murahan. Allah melihat seberapa kita memiliki kesungguhan untuk mencari Dia. Dan harga untuk menemukan Allah adalah segenap hidup kita. Sejatinya, “segenap hidup” kita kalau dihargai, itu pun belum cukup untuk membayar harga menemukan Allah. Tetapi di dalam kemurahan-Nya, Allah mau ditemukan. Walaupun harga yang dipersembahkan itu belumlah memadai, belumlah cukup. Di Lukas 14 Tuhan Yesus berkata, “hitung dulu anggarannya kalau kamu mau ikut Aku,” artinya hitung dulu anggarannya, berapa harga yang kita harus bayar untuk menemukan Allah. “Sebab Akulah jalan;” hodosh. “Akulah kebenaran;” truth; alitheia, “dan Akulah hidup;” zoe; hidup yang berkualitas. “Tidak seorangpun sampai kepada Bapa, kecuali melalui Aku.” Harus melalui Yesus. Berapa harganya? Paulus mengatakan dalam Filipi 3:7-9, “aku melepaskan semuanya dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” Segenap hidup. Ini terkait dengan Matius 19, ketika orang kaya berkata, “Tuhan, aku mau memperoleh hidup yang kekal.” Tuhan berkata, “kamu tahu berapa harganya? Segenap hidupmu.” “Jual segala milikmu, bagikan kepada orang miskin, datanglah ke mari, ikutlah Aku.” Tapi orang itu tidak sanggup karena hatinya sudah terpasung, terbelenggu oleh kekayaan.  Tetapi Tuhan kemudian berkata, “Bagi manusia, mustahil. Bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Kalau kamu mau saja, bersedia saja, maka belenggu-belenggu dalam jiwamu tahap demi tahap akan dilepaskan.” 

Bersyukur, Tuhan mengerti kita tidak bisa langsung membayar dengan seluruh hidup. Kita perlu proses belajar kebenaran, mengalami Tuhan lewat doa. Sampai akhirnya kita berkata, “segenap hidupku Engkau ambil, Tuhan,” “Engkau gairah hidupku.” Sekarang gairah kita masih macam-macam. Gairah karier, studi, berumah tangga dan lain sebagainya. Bukan tidak boleh studi, karier atau berumah tangga, tapi semua kita lakukan untuk Tuhan. Bayangkan seandainya kita sekarang berada di ujung maut, sekarat, dan pasti mati, jangan-jangan saat itu kita baru berani berkata, “Tuhan, kuserahkan hidupku kepada-Mu.” Tapi itu tidak bisa diterima, karena kita tidak menyerahkan secara natural. Itu licik. Kepepet, baru menyerahkan hidup. Mestinya sejak kita tidak kepepet ini, ketika banyak kompetitor, pesaing, opsi, kita berkata, “Aku memilih-Mu, Tuhan.” Baru itu namanya serius. 

Jangan meliciki Tuhan dengan berkata, “Nanti, Tuhan. Sekarang sepertinya belum,” “Sekarang aku belum sanggup, Tuhan. Aku manusia yang penuh kelemahan, kekurangan.” Yang penting, kita mau dulu; ada tekad dulu untuk menyerahkan segenap hidup bagi Tuhan. Maka Allah bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi. Mengasihi dulu. Nanti Tuhan akan menggarap kita. Tapi mengasihi Tuhan itu bisa kita lakukan sejak sekarang, sedini mungkin kita bisa mengasihi Tuhan. Jangan menunda. Orang-orang muda jangan merasa terlalu dini untuk mengambil keputusan gila-gilaan, nekat mencintai Tuhan. Tidak ada kata “terlalu dini.” Dan bagi orang tua jangan berkata, “saya sudah terlambat.” Tidak ada kata “terlambat” kalau kita masih punya kesempatan berubah. 

Allah melihat seberapa kita memiliki kesungguhan untuk mencari Dia. Jangan meliciki Tuhan.